Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jazz si baju kuning

Sadao watanabe, tokoh jazz, 48, dari jepang untuk kedua kalinya main di indonesia (balai sidang senayan). permainannya lebih besar, apik dan manis.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALUNG emas yang bundar tipis dan tergantung di lehernya bertuliskan call me. Dan tokoh jazz kebanggaan Jepang berusia 48 tahun itu gemar tertawa. Ia memang lincah, riang dan sanggup ngakak di panggung. Pada saat ia melepaskan moncong altosax dari mulutnya atau berhenti menyebut flute, serentak, seluruh giginya muncul berderet dari bawah kumisnya yang tak terurus. Beramah-tamah dengan entah siapa -- yang memadati Balai Sidang, Senayan, 21 Februari. Malam itu, ia didukung Hiromasa Suzuki, 41 tahun, pada keyboards, Tsunehide Matsuki, 33 tahun (gitar), Akira Okozawa, 30 tahun (bas), Yichi Togashiki, 26 tahun (drum) dan Mikio Masuda, 32 tahun, piano. Begitu mereka naik pentas, musik menghambur, memecah, bersatu kembali dan berderap seperti serdadu terlatih. Terkadang meninggalkan jejak tipis tiupan flute. Atau hentakan serentak untuk diam Lalu disambar nomor berikutnya. Up Country, lalu Mzuri, All About love, babak pertama yang satu jam diakhiri Tsumagoi yang dililit melodi gaya Jepang. Tapi kejepangan di sana, sebagaimana dikatakan Watanabe kepada TEMPO, "hanya bentuk fisik saja." Dengan jujur ia mengaku tidak tertarik pada musik tradisional negerinya. "Saya musikus jazz. Saya tidak punya waktu memikirkan musik Jepang," katanya. Setidaknya, ia tak ingin menjerumuskan diri pada ketakaburan para chauvinis. Tapi ia bisa tergila-gila pada Afrika dan Brazilia. Dan sampai hari ini tak ingin meninggalkan samba atau bossanova, "yang sangat saya cintai." Ia pun, pada perlawatannya kemari 6 tahun lalu, menyerap musik Bali dan menuliskannya dalam lagu yang diberinya judul Matahari Terbenam dan Burung-burung. Sadao Watanabe, yang malam itu berbaju kuning, bercelana putih, bagaimana pun memang dibesarkan tidak di negerinya sendiri. Ia memasuki The Barklee School of Music di Boston, AS, 1962-1965, dan banyak berguru pada Gary McFarland dan Chico Hamilton. Ia mudik untuk mendirikan sekolah dan mengembangkan jazz di kampungnya, lantas rajin mengikuti berbagai festival jazz dunia sampai memperoleh penghargaan. Tapi kehadirannya baru kukuh sesudah ia bekerja sama dengan Dave Grusin, jagoan flute New York yang diakui Watanabe sebagai penasihatnya yang terbaik -- yang kemudian jadi penulis aransemen seluruh komposisinya. Si Jepang -- yang rambut gondrongnya disisir melekat ke belakang dan agak botak -- itu pun bekerja sama dengan gitaris jazz, terkenal Lee Ritenour. Tahun 1977 keluar rekaman bersama mereka, Ay Dear Life -- lagu yang sangat disukai dan selalu dimainkannya di mana saja. Tahun-tahun berikutnya lahir California Shower, Morning Island, dan yang terbaru How's Everything. Semuanya sudah lama beredar di sini. Dan nomor-nomor yang dimainkan kemarin, termasuk Nice Shot, Seeing You, No Problem, Boa Noite M&M Studio, ada di sana. Kepada penontonnya, Watanabe hampir tak memberikan sesuatu yang baru -- yang lebih bebas, yang memberi kesan lain dari yang muncul dari gesekan pita kaset. Memang, ada permainan solo pada gitar, bas dan drum di samping tiupan sax Watanabe yang meringkik, melengking, merebut porsi besar. Tapi seluruh bunyi seakan begitu melekat pada satu bentuk dan tak boleh melejit menjadi ungkapan baru yang spontan. Tak banyak atraksi -- juga pada bunyi. Watanabe memang ingin tetap pada cirinya kini: sedikit kuno. Meski mengaku telah memadukan banyak unsur dalam suatu fusion, toh melodinya tak sekaya dan tak seberani musisi jazz lain yang kini sangat berpengaruh. Misalnya Chick Corea atau Billy Cobham. Punya Watanabe begitu apik dan, ya, manis. Selesai. Ditambah senyuman lebar yang terus terpampang di wajahnya, pementasan malam itu memang menyenangkan untuk ditonton sambil berpegangan tangan dengan pacar. Karena itu, sebelas nomor yang dimainkan terasa terlalu sedikit -- kurang dari 2 jam. Tapi ketika sebagian penonton minta nambah, Jepang-jepang itu hanya menyeringai, lalu meninggalkan pentas. Haik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus