KALUNG emas yang bundar tipis dan tergantung di lehernya
bertuliskan call me. Dan tokoh jazz kebanggaan Jepang berusia 48
tahun itu gemar tertawa. Ia memang lincah, riang dan sanggup
ngakak di panggung. Pada saat ia melepaskan moncong altosax dari
mulutnya atau berhenti menyebut flute, serentak, seluruh giginya
muncul berderet dari bawah kumisnya yang tak terurus.
Beramah-tamah dengan entah siapa -- yang memadati Balai Sidang,
Senayan, 21 Februari.
Malam itu, ia didukung Hiromasa Suzuki, 41 tahun, pada
keyboards, Tsunehide Matsuki, 33 tahun (gitar), Akira Okozawa,
30 tahun (bas), Yichi Togashiki, 26 tahun (drum) dan Mikio
Masuda, 32 tahun, piano. Begitu mereka naik pentas, musik
menghambur, memecah, bersatu kembali dan berderap seperti
serdadu terlatih. Terkadang meninggalkan jejak tipis tiupan
flute. Atau hentakan serentak untuk diam Lalu disambar nomor
berikutnya.
Up Country, lalu Mzuri, All About love, babak pertama yang satu
jam diakhiri Tsumagoi yang dililit melodi gaya Jepang. Tapi
kejepangan di sana, sebagaimana dikatakan Watanabe kepada
TEMPO, "hanya bentuk fisik saja." Dengan jujur ia mengaku tidak
tertarik pada musik tradisional negerinya. "Saya musikus jazz.
Saya tidak punya waktu memikirkan musik Jepang," katanya.
Setidaknya, ia tak ingin menjerumuskan diri pada ketakaburan
para chauvinis.
Tapi ia bisa tergila-gila pada Afrika dan Brazilia. Dan sampai
hari ini tak ingin meninggalkan samba atau bossanova, "yang
sangat saya cintai." Ia pun, pada perlawatannya kemari 6 tahun
lalu, menyerap musik Bali dan menuliskannya dalam lagu yang
diberinya judul Matahari Terbenam dan Burung-burung.
Sadao Watanabe, yang malam itu berbaju kuning, bercelana putih,
bagaimana pun memang dibesarkan tidak di negerinya sendiri. Ia
memasuki The Barklee School of Music di Boston, AS, 1962-1965,
dan banyak berguru pada Gary McFarland dan Chico Hamilton. Ia
mudik untuk mendirikan sekolah dan mengembangkan jazz di
kampungnya, lantas rajin mengikuti berbagai festival jazz dunia
sampai memperoleh penghargaan.
Tapi kehadirannya baru kukuh sesudah ia bekerja sama dengan Dave
Grusin, jagoan flute New York yang diakui Watanabe sebagai
penasihatnya yang terbaik -- yang kemudian jadi penulis
aransemen seluruh komposisinya. Si Jepang -- yang rambut
gondrongnya disisir melekat ke belakang dan agak botak -- itu
pun bekerja sama dengan gitaris jazz, terkenal Lee Ritenour.
Tahun 1977 keluar rekaman bersama mereka, Ay Dear Life -- lagu
yang sangat disukai dan selalu dimainkannya di mana saja.
Tahun-tahun berikutnya lahir California Shower, Morning Island,
dan yang terbaru How's Everything. Semuanya sudah lama beredar
di sini. Dan nomor-nomor yang dimainkan kemarin, termasuk Nice
Shot, Seeing You, No Problem, Boa Noite M&M Studio, ada di
sana.
Kepada penontonnya, Watanabe hampir tak memberikan sesuatu yang
baru -- yang lebih bebas, yang memberi kesan lain dari yang
muncul dari gesekan pita kaset. Memang, ada permainan solo pada
gitar, bas dan drum di samping tiupan sax Watanabe yang
meringkik, melengking, merebut porsi besar. Tapi seluruh bunyi
seakan begitu melekat pada satu bentuk dan tak boleh melejit
menjadi ungkapan baru yang spontan.
Tak banyak atraksi -- juga pada bunyi. Watanabe memang ingin
tetap pada cirinya kini: sedikit kuno. Meski mengaku telah
memadukan banyak unsur dalam suatu fusion, toh melodinya tak
sekaya dan tak seberani musisi jazz lain yang kini sangat
berpengaruh. Misalnya Chick Corea atau Billy Cobham. Punya
Watanabe begitu apik dan, ya, manis. Selesai.
Ditambah senyuman lebar yang terus terpampang di wajahnya,
pementasan malam itu memang menyenangkan untuk ditonton sambil
berpegangan tangan dengan pacar. Karena itu, sebelas nomor yang
dimainkan terasa terlalu sedikit -- kurang dari 2 jam. Tapi
ketika sebagian penonton minta nambah, Jepang-jepang itu hanya
menyeringai, lalu meninggalkan pentas. Haik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini