Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Transaksi tunai merupakan biang segala persoalan yang kita hadapi, termasuk korupsi. Tidaklah aneh jika orang membawa uang tunai sekoper, menempatkannya di bagasi kendaraan, lalu memindahkannya ke bagasi kendaraan lain. Uang tunai sekoper itu bisa juga dibawa ke showroom untuk menebus mobil mewah. Apa pun bisa dilakukan dengan tunai.
Tentu tak semua transaksi tunai pertanda korupsi. Petani cengkeh atau kopi yang baru panen sering punya uang tunai miliaran rupiah. Ada juga petani yang baru menjual sawahnya. Karena mereka tak memiliki rekening bank, semua transaksi dilakukan tunai. Di sini kita dihadapkan kepada rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai lembaga perbankan, yang seharusnya menjadi lembaga tempat transaksi atau penyimpanan uang.
Menurut informasi yang beredar, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan dan perkotaan, yang hidupnya sederhana atau pas-pasan, tidak punya rekening di bank. Bagi mereka, bank merupakan tempat yang tak terbayangkan. Untuk hidup saja susah, apa yang harus disimpan di bank?
Persoalan kita sekarang adalah terjadinya transaksi tunai, terutama di kota-kota, yang dilakukan dengan sengaja karena tak mau terdeteksi, tak mau ada akuntabilitas, tak mau ada bukti. Transaksi tunai ini merupakan transaksi koruptif dan berbau pencucian uang. Biasanya transaksi ini meliputi transaksi suap, gratifikasi, atau pencucian uang. Jumlahnya sangat bervariasi, tergantung orang dan kasusnya. Setiap hari transaksi model ini berkeliaran di sekeliling kita.
Apakah di luar transaksi koruptif dan berbau pencucian uang itu tidak ada orang kota yang bertransaksi tunai? Tentu ada. Tapi jumlah mereka akan semakin berkurang kecuali kita berbicara tentang transaksi kecil seperti makan-minum di restoran, naik taksi, dan berbelanja di toko kecil. Transaksi tunai jenis ini tentu sulit dibatasi karena jumlahnya juga relatif kecil sekali.
Berbeda halnya ketika kita berbicara tentang transaksi besar, miliaran atau puluhan miliar rupiah, untuk mendapatkan izin usaha pertambangan, memenangi tender pembangunan jalan tol, membangun pelabuhan atau gedung perkantoran, dan sebagainya. Di sini ada suap (bribery), kickback, gratifikasi, dan berbagai bentuk ”ucapan terima kasih”. Dalam dunia hukum, transaksi tunai juga terjadi untuk membeli putusan pengadilan, dakwaan jaksa, atau ”surat penghentian penyidikan”.
Kalau kita membaca berbagai legislasi pemberantasan korupsi, kategori korupsi memang sangat banyak. Dulu orang melakukan korupsi dengan mengirimkan sejumlah uang ke rekening bank, tapi sekarang korupsi via transfer tak lagi dilakukan. Mata-mata Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, kepolisian, dan kejaksaan sudah sangat banyak memantau transaksi mencurigakan (suspicious transactions). Hanya orang bodoh yang masih melakukan transaksi koruptif melalui perbankan, karena transaksi itu pasti bisa dilacak. Sekarang semua perbuatan koruptif harus dilakukan dengan tunai, tanpa jejak, tanpa bekas, tanpa bukti. Karena itu, peredaran uang tunai pasti sangat banyak, dan dicurigai pula bahwa dalam peredaran uang tunai ini banyak uang palsu yang sering tak bisa dibedakan dengan yang asli.
Pemerintah sudah menyatakan perang terhadap korupsi dan, sebagai bentuk keseriusan pemerintah memerangi korupsi, sebuah lembaga yang kita kenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi telah dibentuk. Sudah banyak sekali bupati, gubernur, mantan menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim, jaksa, dan pejabat negara lainnya yang mendekam di penjara karena tindakan tegas Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum pernah dalam sejarah republik, sejak kita merdeka pada 1945, ada pemberantasan korupsi yang sangat serius.
Sayangnya, korupsi masih saja ”systemic, endemic, and widespread” dan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih pada kisaran 2,8, jauh di bawah jika dibandingkan dengan negara-negara yang bersih dari korupsi, seperti Denmark, Norwegia, Finlandia, Selandia Baru, dan Swedia. Di ASEAN, kita juga hanya bisa sedikit berbangga karena Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sedikit lebih baik daripada Myanmar, Laos, dan Kamboja. Pertanyaannya: mengapa?
Jawabannya sebetulnya sederhana. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika peluang korupsi itu dihilangkan, atau disempitkan. Percayalah, koruptor tak pernah takut kepada penjara kalau dia bisa juga ”mengkorupsi” penjara. Karena itu, pembangunan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel menjadi kunci keberhasilan pemberantasan korupsi. Dalam bahasa lain sering dikatakan pemberantasan korupsi itu berarti berhasil menjalankan good governance dan good corporate governance. Ada reformasi birokrasi di semua departemen, militer, dan sipil. Dan kalau kita berbicara mengenai reformasi birokrasi, kita berbicara mengenai reformasi birokrasi yang tidak setengah-setengah. Jangan hanya manis dalam pidato tapi munafik dalam pelaksanaan.
Karena korupsi yang terjadi sekarang banyak yang bersifat transaksi tunai, untuk memperkuat pelaksanaan good governance dan good corporate governance tersebut, pemerintah mesti membuat kebijakan yang membatasi transaksi tunai. Perlu ada kebijakan transaksi nontunai dengan perencanaan yang matang dan dilaksanakan secara bertahap. Kalau pembayaran tunai ini dikurangi secara signifikan, jumlah uang tunai akan pula berkurang, dan pada gilirannya korupsi juga akan semakin berkurang. Di negara maju, masyarakat tak lagi melakukan transaksi tunai. Kalaupun ada yang melakukan transaksi tunai, itu hanya untuk transaksi yang sifatnya kecil.
Transaksi nontunai itu dilakukan melalui pembayaran berbasis warkat/kertas, seperti cek, giro, dan nota debit, serta pembayaran berbasis kartu (card based instruments) dan elektronik (electronic based instruments), seperti kartu kredit, kartu ATM, dan kartu debit. Kalau ini terjadi, semua transaksi bisa dilacak, dan koruptor tentu akan sangat sulit bertransaksi. Secara otomatis, angka korupsi akan turun drastis, dan perang melawan korupsi bisa kita menangi.
Perlu pula dicatat bahwa peningkatan penerimaan pajak juga bisa dilakukan karena transaksi yang berbasis nontunai ini akan lebih mudah diakses oleh kantor pajak, sehingga patgulipat juga akan semakin sukar. Pengisian surat pemberitahuan pajak yang berbasis self-assessment mau tak mau harus dilakukan dengan lebih akurat karena mudah dilacak. Target penerimaan pajak yang sering tak terpenuhi kelihatannya akan terlampaui jika pemerintah sukses dalam menerapkan kebijakan nasional transaksi nontunai ini.
Persoalannya: apakah pemerintah bisa membuat kebijakan nasional transaksi nontunai? Kajian hukum, politik, dan ekonomi mengenai hal ini tentu penting karena jangan sampai kebijakan itu nanti akan dilawan secara hukum dan politik. Akan lebih afdal jika kebijakan itu dituangkan dalam bentuk undang-undang, tapi mengegolkan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah pekerjaan sederhana. Sementara itu, secara politik kebijakan nasional transaksi nontunai ini akan dilihat sebagai kebijakan yang tidak peka terhadap rakyat lapis bawah yang seumur hidup hanya bertransaksi secara tunai.
Menurut saya, kebijakan nasional transaksi nontunai merupakan resep yang jitu. Kalau kita mau menerapkan ”zero tolerance” terhadap korupsi, kebijakan nasional transaksi nontunai pasti akan mempersempit ruang gerak korupsi. Inilah tantangan pemerintah, partai politik, pengusaha, dan aktivis sosial. Tentu pemberlakuannya tak bisa drastis, dan tak bisa juga dihilangkan secara seratus persen. Harus ada penahapan. Tahun pertama, misalnya, transaksi tunai sampai Rp 50 juta masih boleh. Tahun kedua, transaksi tunai maksimal Rp 25 juta. Tahun ketiga, maksimal Rp 10 juta. Tahun keempat dan seterusnya hanya Rp 5 juta.
Semua ini akan membuat jumlah uang beredar semakin sedikit, dan semua transaksi nontunai akan lebih mudah dilacak. Di sini pemerintah, bank, dan rakyat akan mendapat keuntungan: pajak akan naik, korupsi akan turun, dan seyogianya kesejahteraan sosial bisa ditingkatkan.
Proyek ini adalah proyek politik. Dibutuhkan keberanian politik pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bank Indonesia. Tentu akan banyak perlawanan dari mafia, yang akan semakin sulit beroperasi. Tapi, apa pun ongkosnya, inilah pilihan kebijakan yang niscaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo