Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jiwa nampaknya hardi

Pameran lukisan hardi di taman ismail marzuki. karyanya yang sekarang tidak sejelas karya-karya sebelumnya. sapuannya mirip gaya sudjojono. idenya pun jadi kabur awal babak baru pelukis hardi.(sr)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA anak kecil berdiri di depan puing, dengan ekspresi tak jelas. Seorang pengunjung pameran melihat lukisan itu jadi terharu. "Coba, lihat, dua anak itu mewakili sekian juta anak Indonesia yang harus memilih, menempuh Jalan yang mana, sementara mereka dibiarkan sendiri," katanya. Saya, kebetulan kenal dengan orang itu, cuma terbengong-bengong. Tiba-tiba si pengagum kaget. Ia mendekati lukisan itu, dan gerutunya: "Saya kira berjudul Simpang. Ternyata, Simpruk. Singkat cerita, ia urung mengagumi salah satu dari 42 lukisan Hardi, yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 19-28 Mei ini. Tentu, kita tak bisa menilai pameran mutakhir pelukis yang banyak membuat berita ini dari peristiwa kecil itu. Saya hanya ingin mengatakan, karya-karya Hardi periode 1985-1986 memang tak lagi sejelas karya sebelumnya dalam hal cerita yang dibawakan. Identitas tokoh dalam kanvasnya mengabur. Kisah yang dibawakan tokoh itu pun lebih sebagai sapuan-sapuan warna. Bandingkan umpamanya dengan Yasser Arafat di Borobudur karya 1983 yang ikut dipajang. Tokohnya jelas, Borobudurnya jelas, hingga lukisan ini setidaknya memberikan materi yang jelas buat memancing imajinasi. Bila cerita mengabur, punbau komentar sosial pada Hardi terasa kini surut. Sebagai gantinya, muncul sapuan-sapuan warna, tak cuma di latar belakang obyek, tapi terkadang sapuan ltu pun menerjang figur-figur yang digambarkan. Dibandingkan dengan sebelum 1985, tampaknya ini memang babak baru bagi Hardi. Dulu, dengan warna kusam dan disapukan merata pada satu bidang, lukisan jebolan Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri, Yogyakarra, ini terasa menyajikan ruang yang pengap. Bukan cuma sumpek dengan protes-protes sosial yang klise - menyajikan perbedaan sosial dengan menggambarkan gelandangan tidur di trotoar, sementara pembangunan sebuah gedung megah sedang berlangsung di latar belakang, umpamanya. Tapi sebagai gambar, warna dan komposisi yang disajikannya tak terasa menggema keluar dari sebatas bidang kanvas. Kini, dengan sapuan yang saya kira dibuat dengan ekspresi bebas tanpa pretensi ini dan itu, kanvas-kanvasnya kini lebih terasa lega. Sapuan kuning, merah, terkadang ada lelehan warna emas, memang menyegarkan. Terus terang, ini mengingatkan saya pada almarhum pelukis S. Sudjojono, dengan jargonnya yang terkenal: "Sapuan kuas adalah jiwa nampak. " Dan, memang, tampaknya ada arah Hardi ke sana, ke gaya Sudjojono, terutama Sudjojono yang cenderung semi-abstrak. Yakni ketika obyek nyaris tak terkenali lagi itu apa, hingga yang muncul hanyalah kekuatan sapuan dan komposisi warna. Hardi pun dalam beberapa lukisan menggoreskan juga semacam kata-kata mutiara di sudut kanvasnya - sebagaimana Sudjojono hampir selalu melakukannya. Tapi mungkin ini memang baru awal sebuah babak baru Hardi. Bapak dua anak yang kini 35 tahun ini masih kurang lepas menghancurkan obyek. Terasa, obyek masih dipelihara. Permainan sapuan bebas, jadinya, hanya berlangsung di latar belakang. Sementara itu, apa boleh buat, Hardi bukanlah pelukis realistis yang boleh diandalkan. Jadinya, sebuah kanvas yang setengah matang. Ide dan figur tak lagi sejelas dulu, tapi sapuan kuas pun belum menjadi "jiwa nampak". Lihat saja Peragawati di Balik Kaca. Kemeriahan warna memang ada. Gerak sapuan kuas pun terasa. Tapi secara keseluruhan, kesatuan antara sapuan, warna, dan obyek, terasa susah saya tangkap. Maka, figur peragawati berdiri sendiri, sapuan warna pun begitu. Tampaknya, Hardi memang ingin menyurutkan protes sosialnya. Ia, dalam katalogus, mengaku terkesan akan nasihat seorang rekan yang lugas. "Kalau kamu melukis, spektrumnya usahakan tetap di kesenian, walaupun materinya masalah sosial." Tampaknya, Hardi sukses mengendalikan semangat protesnya, cuma apa gantinya, itu yang masih jadi persoalan. Dari keseluruhan suasana pameran, sesuatu yang samar-samar saya rasakan. Entah mengapa saya merasa memasuki pameran lukisan, dan bukan pameran poster. Mungkin Hardi di bawah sadar sebenarnya mengakui bahwa sebuah karya seni yang baik, apa pun temanya, adalah baik. Entah itu hanya sketsa hitam putih yang menggambarkan penjual tuak seperti misalnya karya I Gusti Nyoman Lempad, ataukah suatu tema besar tentang perdamaian dunia karya Pablo Picasso . Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus