SEORANG siswa SMA tiba-tiba protes. Ia ingin menjadi arsitek, dan karena itu apa perlunya ia mengikuti pelajaran Kimia secara mendalam. Bukankah "saya lebih baik mengikuti pelajaran menggambar?" tanyanya. Ini kisah 20 tahun lalu di sebuah SMA Negeri di Solo. Lalu 1986, di sebuah biro arsitek di Semarang, Jawa Tengah. Si siswa yang protes telah jadi pimpinan di situ. Ia, sampai hari ini, tak habis mengerti mengapa ia dulu mesti belajar Kimia sejauh mereka yang ingin menjadi apoteker, misalnya. Pekan lalu, di Bina Graha, Menteri P & K Fuad Hassan terus terang menyatakan sebab mengapa hasil Ebtanas atau ujian akhir SMA buruk. "Karena beratnya beban, tidak semua pelajaran masuk dengan baik, sehingga mutu siswa juga kurang," kata Menteri kepada wartawan. Untuk pertama kalinya, seorang Menteri P & K secara lugas menunjuk pada masalah yang sudah 20 tahun dikeluhkan seorang siswa SMA, yang di awal 1980 jadi pembicaraan ramai para orangtua murid. Memang, Almarhum Nugroho Notosusanto, begitu dilantik menjadi Menteri P & K, 1983, ia pun menyebut nyebut kurikulum SD, SMP, dan SMP terlalu berat. Nugroholah kemudian yang melemparkan gagasan Kurikulum 1984, yang merupakan kurikulum inti dan pilihan, guna meringankan beban. Pada kenyataannya, kurikulum 1984 tak berbeda dengan kurikulum yang sebelumnya dipakai, yakni Kurikulum 1975. Harapan masyarakat, bahwa Menteri akan berani menyederhanakan mata-mata pelajaran, ternyata meleset. Justru, Nugroho menciptakan mata pelajaran baru: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, yang populer disebut PSPB. "Kurikulum SMA 1984 tak berbeda dengan yang lama, bahkan pengelompokan mata pelajaran mengingatkan Kurikulum 1964," kata Pater Drost, Kepala SMA Kanisius, Jakarta, kepada TEMPO beberapa lama lalu. Di tingkat SMP, seorang kepala sekolah yang keberatan disebutkan namanya mengakui, pelajaran SMP memang "berat dan simpang siur." Disebutnya umpamanya, pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP itu tak jelas ilmu apa sebenarnya yang diberikan. "Ilmu Pengetahuan Sosial terdiri dari Sejarah, Ilmu Bumi, dan Ekonomi & Koperasi," tutur Pak Guru yang tampak serius ini. "Di tiap pelajaran itu, misalnya, diberikan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi di Ekonomi & Koperasi ditinjau dari sudut ekonomi, dari Sejarah dipandang dari sejarah dunia. Untuk murid SMP ini membingungkan, menyulitkan guru menjelaskan, apalagi guru Sejarah dan Ekonominya berbeda," katanya. Lebih dari itu, perlukah ketiganya dipelajari siswa sekaligus, tanyanya. "Diperlukan keberanian memberikan pelajaran yang praktis bagi siswa," tutur kepala sekolah berkaca mata ini. Harsja W. Bachtiar, Kepala BP3K atau Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K, yang ditugasi memimpin penelitian beban kurikulum, mengakui itu semua. Yang menarik, kini ia tak segan-segan mengatakan bahwa pelajaran yang Isinya hampir sama "apakah tak mungkin dilebur jadi satu saja," kata Harsja. Yang dimaksud adalah pelajaran PSPB, Pendidikan Moral Pancasila, dan P4. Selain itu ada hal, yang dulu hanya dikeluhkan diam-diam, kini dibuka oleh Harsja. Yakni adanya beberapa departemen yang menitipkan pelajaran tertentu. "Misalnya pelajaran Koperasi, itu sebenarnya titipan dari Departemen Koperasi," katanya. Karena titipan itulah, mestinya pelajaran itu bisa dimasukkan ke mata pelajaran lain terpaksa berdiri sendiri. Kini semua itu mesti ditinjau kembali. Kelompok PSPB, PMP, dan lain-lain itu diserahkan kepada BP7, guna mencari kemungkinan penyederhanaannya, lalu pelajaran titipan oleh tim peneliti kurikulum segera akan dicarikan pemecahannya. Bukti bahwa jumlah mata pelajaran bisa disederhanakan, di Indonesia memang belum ada. Tapi setidaknya, masa belajar telah dibuktikan oleh Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di 8 IKIP Negeri, bisa disederhanakan, tanpa merugikan siswa. Di PPSP, yang merupakan sekolah terpadu, jenjang pendidikan ditetapkan dari SD hingga lulus SMA hanya 11 tahun - lebih cepat setahun dari sekolah biasa. Tapi bagi siswa yang cepat belajar, jangka waktu itu masih bisa diperpendek satu atau setengah tahun lagi. Bahkan di PPSP IKIP Malang, dibuka SMA dua tahun (lihat SMA Ekspres). Tapi, seperti pernah dilaporkan TEMPO, sekolah-sekolah menengah di banyak negeri ternyata jangka pendidikannya pendek. Kecuali itu, materi pelaiarannya pun sederhana. Poughkeepsie High School di New York, AS, umpamanya (ini sekolah tingkat SMA), hanya mengharuskan empat pelajaran wajib. Yakni Bahasa Inggris, Sejarah Amerika, Olah Raga, dan Matematika. Ditambah dua pilihan, dari 15 mata pelajaran yang ditawarkan, antara lain Fotografi, Pertukangan, Musik. Total, hanya 6 mata pelajaran yang harus diikuti. Juga SMA di Jepang hanya menyajikan tujuh mata pelajaran wajib, beserta beberapa pilihan. Bahkan di negara tetangga, Malaysia, sekolah menengah cuma mewajibkan 9 mata pelajaran, dan yang menentukan prestasi siswa hanya 6. Menimbulkan pertanyaan, tentu, bagaimana dengan sedikit mata pelajaran mereka bisa melahirkan ilmuwan dan teknologiwan piawai? Adalah Almarhum Nugroho Notosusanto, ketika diwawancarai TEMPO mengapa jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum 1984 masih tetap sama dengan kurikulum lama. "Sekarang saja saya sudah dituduh mau membuat bodoh anak Indonesia, bagaimana kalau kurikulum saya jadikan hanya dengan empat atau lima mata pelajaran?" Ada satu hal yang tampaknya dilupakan meskipun berada di depan mata. PPSP, dengan sistem modul, membentuk satu karakter yang tak dibentuk oleh sekolah umumnya. Yakni semangat siswa untuk belajar secara mandiri. Dan semangat mandiri inilah rupanya yang ditekankan di sekolah-sekolah Amerika, Jepang, dan negeri maju yang lain. Itu sebabnya hanya pelajaran dasar yang diwajibkan, sementara yang lain, siswa dididik agar mencarinya sendiri, menurut bakat dan minat mereka. Di Amerika, sekolah-sekolah dasar telah menyediakan lengkap ensiklopedi. Murid SD sejak kelas IV telah dibiasakan agar membuka-buka ensi bila ingin tahu sesuatu. Disadari benar tampaknya oleh para ahli pendidikan di sana, sekolah tak bakal mampu memberikan semuanya. Berapa jam, coba, siswa berada di sekolah? Dengan mendidik siswa mandiri, belajar tak terbatas hanya sebatas dinding kelas. Perpustakaan umum, museum, toko buku, media massa, kaset video, ladang dan sawah, sungai adalah juga tempat belajar. Sebenarnya bibit-bibit suasana menuntut ilmu seperti itu bukannya tak ada di Indonesia. Lihat, tiap tahun Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Remaja Departemen P & K atau yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mendapat peserta ratusan. Melihat karya mereka, mustahil bila mereka cuma mengharapkan ilmu dari dalam kelas. Siswa-siswa peserta lomba itu, mereka yang gembira dengan belajar sendiri, bertanya ke sana kemari, dan membaca di sana-sini. Fuad Hassan, Menteri P & K itu, tak percaya, bahkan, seumpama guru-guru di sini berkualitas tinggi, lalu menghasilkan siswa berkualitas pula. Yakni, bila beban kurikulum tetap seperti sekarang beratnya. Mungkin Fuad, ia pun seorang guru, benar. Tapi seorang guru yang baik, guru di mana saja berada. Artinya, sebagaimana yang diceritakan Prakosa Sastrowardojo, siswa PPSP Jakarta yang menempuh SMP di Australia beberapa lama lalu, guru-gurunya di Australia seperti tak sengaja selalu mengecek pemahaman siswa-siswa. terhadap pelajaran yang diberikan. Mereka sungguh bersedih, bila muridnya tak memahami pelajaran yang menjadi tanggung jawab mereka. Kini, pernah dikatakan oleh seorang kepala SMA Negeri di Jakarta, berapa banyak guru yang menyesal bila ada siswanya tak naik kelas atau tak lulus ujian? Memang belum jelas benar, tim yang dipimpin Harsja akan mengusulkan kurikulum seperti apa. Tapi bila guru besar di Fakultas Sastra UI itu menyebut-nyebut penyederhanaan pelajaran, bahkan penggabungan dan pengurangan mata pelajaran, menjadi murid di Indonesia di hari esok mungkin lebih menyenangkan daripada sekarang. "Di Australia sekolah itu menyenangkan," kata Prakoso. "Di sini, rasanya belajar itu sulit." Tak cuma sulit, tapi mencapekkan. Kata Pak Kepala SMP yang tak mau disebut namanya itu, "Bila sudah jam pelajaran keempat, saya perhatikan murid-murid saya sudah loyo. Bambang Bujono, Laporan Indrayati (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini