JIKA Anda mengeluh bahwa belakangan cuaca terasa lebih panas, mungkin Anda betul. Bumi memang makin panas. Data meteorologi di Pusat Studi Angkasa NASA memperkuat dugaan ini. Penyebabnya: efek rumah kaca (greenhouse effect). Kendati tanpa atap, bumi ini bagai rumah kaca: mampu menyekap sebagian sinar surya. Partikel-partikel udaralah yang menangkap sebagian energi matahari itu. Pada tahun 80-an ini, ternyata makin banyak energi surya yang tertahan dibumi. Agaknya, atmosfer bumi kian pekat, dan hawa pun beranjak kian hangat. Data meteorologis menunjukkar, suhu rata-rata di seluruh dunia pada tahh 1980-an ini satu derajat Fahrenheit lebih tinggi dibanding rata-rata suhu global 1950-1980 yang 59 derajat Fahrenheit tingginya. Peningkatan suhu satu derajat itu cukup menarik perhatian. Sebab, kenaikan yang sama pada urun sebelumnya memerlukan tempo sekitar 70 tahun, antara 1880 dan 1950. Seri data meteorologi di Lembaga Studi Angkasa, milik NASA di Manhattan, New York, pun menunjukkan bahwa tahun-tahun paling panas terjadi pula pada dekade ini. Selama lebih dari seabad ini,1987 tercatat sebagai tahun dengan hari-hari yang paling hangat. Peringkat kedua dan ketiga diduduki tahun 1983 dan 1981. Peningkatan suhu itu pada tahun 80-an ini, menurut Dr. James E. Hansen, seorang ahli cuaca Lembaga Studi Angkasa Manhattan, bukan lantaran radiasi ekstra dari langit. Justru pada tahun panas 1987 lalu, misalnya, radiasi netto yang diterima di permukaan bumi menciut karena banyaknya awan dan debu dari letusan gunung berapi yang bisa menjadi penghalang bagi sinar surya yang melalu ke arah bumi. "Efek rumah kaca di bumi kita ini memang tak sebesar dugaan orang, tapi itu gejala ini agaknya benar-benar tengah terjadi," kata Hansen. Di kemudian hari, menurut Hansen efek ini akan lebih terasakan. Bahkan kelompok ahli cuaca dari Manhattan itu membuat proyeksi, berdasarkan model matematik yang mengkuantifikasikan efek rumah kaca di muka bumi ini, bahwa sampai tahun 2030 nanti, suhu lobal akan mengalami kenaikan 3-9 derajat Fahrenheit. Efek rumah kaca ini memang makin hari makin serius, lantaran atmosfer bumi yang kian padat. Gas asam arang (C02) adalah salah satu unsur atmosfer yang pintar mengikat radiasi. Keberadaan gas ini di atmosfer dari hari ke hari selalu meningkat, terutama sebagai hasil pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, atau kayu. Di sisi lain, cadangan hutan sebagai area peredam "inflasi" C02 makin tipis saja. Unsur-unsur lain - seperti oksida nitrogen, gas metan (yang merupakan limbah industri), atau partikel klorofluorokarbon (yang jamak digunakan dalam industri kosmetik) - termasuk gas yang mampu menyekap panas radiasi. Ada kekhawatiran, kendati masih terlalu dini, naiknya suhu global itu itu akan mengakibatkan sebagian gunung es di sekitar kutub mencair. Akibatnya, permukaan laut pun bergerak naik. Perubahan suhu itu tak sama di semua tempat. Kenaikan suhu di daerah lintang tinggi, sekitar kutub, lebih besar ketimbang kawasan khatulistiwa. Ini sebuah gejala yang masih dicari penjelasannya oleh para ahli. Daerah utara khatulistiwa, menurut peta cuaca yang dibuat kelompok Manhattan itu, mengalami kenaikan temperatur yang relatif lebih tinggi dibanding selatan. Latar belakangnya mudah ditebak: daerah utara ditempati negara-negara industri, yang setiap hari membakar Jutaan ton minyak dan batu bara. Soalnya, di situlah tempat bertumpuknya polutan atmosfer. Tak semua orang setuju dengan kesimpulan ini. Kendati tak menolak adanya gejala efek rumah kaca itu, Michael E. Schlesinger, ahli fisika atmosfer dari Universitas Oregon, Amerika, menganggap tim Manhattan itu terlalu pesimistis. Pada hematnya, energi panas yang tersekap di atmosfer itu akan sebagian akan mengalir ke samudra, melalui proses alamiah. "Kita tak boleh melupakan bahwa laut sesungguhnya merupakan tempat tertimbunnya energi panas yang diterima bumi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini