Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kampanye di ruang pameran

Pameran seni rupa lingkungan proses 85 menampilkan karya lima senirupawan yang secara intensif menggeluti masalah ekologi. masih ada kekakuan menggali bahan rujukan. (sr)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITILIK dari judulnya, tak segera tergambar pameran seni rupa macam apa. Nama yang ditawarkan - "pemeran seni rupa lingkungan" - segera membangun persangkaan tentang sajian barang-barang seni dengan idiom yang khas yang belum pernah digarap. Tapi ada pula subjudul "Proses 85" - yang mengesankan, jangan-jangan, diselenggarakannya semacam demonstrasi melukis, menggambar, atau proses yang lain. Walhasil, Pameran Seni Rupa Lingkungan Proses 85, yang dibuka di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta, Jumat pekan lalu dan berlangsung sampai 27 Oktober, baru jelas hubungannya dengan lingkungan dalam pengertiannya yang paling populer - ekologi - setelah dilihat karya-karya yang ditampilkan. Barang-barang itu dengan tegas menggambarkan keprihatinan akan rusaknya sistem perputaran alam. Ada nada kampanye - yang terasa menggigit. Lebih dari sekadar mengungkapkan data - seperti pada pameran lingkungan yang biasa - karya-karya yang disajikan betapapun tak bisa menghindar dari opini. Hanya, opini ini bukan jenis yang bisa diberikan sembarang orang. Lima senirupawan di baliknya (Moelyono, Harsono, Gendut Riyanto, Harris Purnama, dan B. Munni Ardhi) menggauli dengan intensif masalah ekologi untuk kepentingan gubahan mereka. Harsono, dengan bantuan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), badan yang ikut mensponsori pameran, mengunjungi berbagai lingkungan yang dikotori limbah industri. Gendut Riyanto mencoba mendalami soal pencemaran air laut di Teluk Jakarta. Moelyono bahkan tinggal beberapa lama di Kabupaten Tulungagung, mengamati aliran Kali Ngrowo dan menyimak masalah banjir akibat penggundulan hutan. Semua mereka, tak tanggung-tanggung, juga mengunyah data. Observasi serius seperti itu membuat opini mereka bukan kesimpulan gampangan. Itulah barangkali kekhasannya - khususnya di kalangan sebagian seniman kita yang cenderung menggampangkan semua masalah, berambisi membuat karya seni kontekstual, tanpa latar belakang pengetahuan sosial politik, dengan hasil nada protes yang dihasrat-hasratkan dan klise. Proses 85 menandakan bahwa pendalaman latar belakang memang perlu. Dan penggalian itu segera tampak pada gagasan-gagasan yang diwujudkan, yang - kendati sulit diuraikan secara pasti - memberi semacam bobot pada isi. Di ruang pameran terhampar barang-barang dengan kadar seperti itu. Karya B. Munni Ardhi, berukuran sekitar 3 x 3 meter, sangat sugestif. Di tengah bilahan papan yang tersusun bagai kotak dengan sanggaan konstruksi bambu, sebatang pohon kering - dengan ukuran sungguhan - tumbang merana. Tubuhnya menimpa onggokan tanah mereka - tanah sesungguhnya - dan terjerat di lingkaran pagar papan yang sempit. Karya Harsono sama puitisnya. Kotak-kotak putih. disusun ritmis ke sebuah tabir, mendukung ranting-ranting kerontang yang disugestikan kian lama kian tipis. Lalu sejumlah daun kering bagai buyar pecah menabrak tabir. Daun-daun yang digantungkan dengan benang itu senantiasa bergerak liris tertiup angin. Karya Harris Purnama adalah jenis yang provokatif. Ini drama pencemaran melalui gambaran anak-anak, makhluk paling lemah dan paling tercinta. Seonggok boneka plastik, dibungkus pembalut, menghentikan semua kesimpulan formal. Onggokan itu bisa tergambar sebagai sampah, bisa mencerminkan limbah plastik, juga dapat menyugestikan - kendati kita menolak membayangkannya - anak-anak korban polusi. Harris, dengan taktis, memainkan imaji yang tumpang tindih dan menyebut onggokan itu "boneka yang terluka". Dan tumpukan itu memang cuma boneka. Namun, Proses 85 bukan cuma itu. Menguatkan gambaran kampanye, para senirupawan juga membuat poster-poster ekologi dan menjualnya, di samping mempublikasikannya melalui beberapa media massa sebagai iklan pelayanan umum. Gendut Riyanto membuat desain poster yang sangat menyentuh. Dengan tema "selamatkan hutan dari kehancuran" ia melampirkan tulisan besar: Indonesia Molek. Di baliknya terpampang gambar ranting-ranting yang kering, bercampur - dengan cetakan foto negatif - seorang gadis menunggang kerbau. Lalu sebuah sajak dilampirkan di bagian bawah, disusun dengan tata grafis yang rapi. Akan Moelyono, kendati kontak langsung dengan lingkungan menyugestikan betapa ia intensif menghayati masalah, karya-karyanya tampak kurang menyentuh. Ungkapannya tak menyugestikan suatu opini, juga tak menggugah perasaan karena nyaris tak membangun imajinasi. Gagasannya tampak tak selesai. Tanggul tanah yang dibuatnya - dengan ukuran sesungguhnya - di sisi foto-foto hasil observasinya di Tulungagung, juga sebuah sumur, tak lebih dari obyek sesungguhnya - yang sekadar ia pindahkan ke ruang pameran tanpa sebuah sentuhan. BETAPAPUN, para senirupawan masih kaku memanfaatkan data dan hasil observasi mereka. Di sisi lain, seperti diutarakan Moelyono dan Harsono, ada kesengajaan pada mereka untuk "tidak terlampau jauh" menafsirkan hasil penggalian - hal yang justru berbahaya karena, seperti juga diucapkan Budayawan Umar Kayam, memungkinkan sajian mereka tidak berbeda dari si pameran pembangunan. Padahal, pameran penerangan seperti yang sering kita lihat adalah visualisasi sebuah konsep yang disusun verbal. Sementara Proses 85 adalah karya yang utuh: disusun senirupawannya sendiri, dari mulai konsepsi, gagasan, maupun desainnya. Justru inilah kekuatannya, karena bisa lebih kreatif dan barangkali jadi lebih menggugah. Mungkin baru pada pameran "proses" selanjutnya - seperti janji mereka - kekakuan menggauli bahan rujukan akan mencair. Bisa dimaklumi: inilah kali pertama mereka mencoba meraba idiom yang terikat pada semacam proyek. Sebuah langkah yang perlu juga diperhitungkan - setidak-tidaknya karena menunjukkan itikad senirupawan menekan opini individualistis dan dengan sungguh-sungguh memperhitungkan masalah bersama atau populer. Juga langkah penting bagi kampanye ekologis di Indonesia. Di mancanegara, para ahli ekologi memiliki himpunan data yang akurat dan aparat publikasi yang tangguh. Kita tidak. Tapi kita memiliki senirupawan. Asal mereka tetap utuh. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus