PENYINGKAP KEGAIBAN Oleh: Abdul Qadir Jailani Penerbit: Mizan, Bandung, 1985, 216 halaman SAYID Abu Muhammad Abdul Qadir dari Jailan, Irak, adalah wali yang begitu termasyhur. Orang cemerlang yang sederhana ini terkenal dengan petuah-petuah berharga, yang disampaikannya dengan kata-kata sehari-hari. Salah satu karyanya yang besar adalah Futuh al-Ghaib - diterjemahkan oleh Syamsu Basarudin dan Ilyas Hasan menjadi Penyingkap Kegaiban - sebuah uraian panjang - terdiri dari 80 wacana, tentang kekuasaan Allah. Sebagaimana nasihat-nasihat, uraian Abdul Qadir pun sarat dengan kalimat perintah. Bila kalimat-kalimat itu kemudian tak terasa menyuruh, adalah karena didukung alasan-alasan yang, sejauh orang meyakini Quran, sangat masuk akal. Memang bukan sembarang orang, yang telah menyuratkan puisi panjang itu. Abdul Qadir (1077-1166) dari Jailan ini sejak kecil, konon, sudah menyukai pengalaman mistik. Sejak kanak-kanak ia adalah seorang yang selalu bersyukur atas semua yang dimiliki, dialami, dan dipikirkannya. Pada usia 18, ia pergi ke Baghdad untuk memperdalam ilmunya. Dan kemudian tercatatlah sejumlah anekdot tentang wali ini. Misalnya, dalam perjalanan dari Jailan ke Baghdad, kafilah yang disertainya dirampok. Abdul Qadir, yang tampak compang-camping, pada mulanya tak diapa-apakan. Tapi seorang perampok iseng, menanyakan apakah ia punya uang. Ketika ia berangkat, ibu Abdul Qadir yang sudah janda memang membekali anaknya dengan 80 keping emas yang disimpan dalam jahitan baju. Dan, ibu itu pun menasihati anaknya agar tak bicara bohong kepada siapa pun. Abdul Qadir memang tak berbohong, juga kepada perampok itu. Sudah tentu si perampok heran, lalu menanyakan mengapa ia berterus terang. Berkisahlah si pemuda. Diceritakan, kemudian, justru perampok itulah yang kemudian bertobat, dan menjadi murid pertamanya. Bila para sufi dituduh antisosial, memang tak begitu meleset. Juga, untuk Abdul Qadir ini. Sampai pada usia 50, ia asyik sendiri dengan peribadatannya, terus-menerus meningkatkan rohaninya. Tapi kemudian ia tergerak mengajarkan ilmunya kepada orang-orang. Dan madrasahnya kemudian bertambah besar. Juga, baru sewaktu ia bermasyarakat itulah Abdul Qadir bersedia menikah - sekaligus dengan empat wanita yang memberinya 49 anak. Ajaran-ajaran sufi bisa ditafsirkan dekat sekali dengan sikap skeptis. Tapi tak begitu dengan Futuh al-Ghaib. Memang, boleh dikata semua wacana berisikan bahwa sesungguhnya manusia tak punya daya apapun kecuali bila dikehendaki oleh-Nya. Hingga, ajaran itu sekilas mengesankan, upaya manusia sebenarnya tak ada harganya - semuanya sudah diprogramkan-Nya. Tapi Abdul Qadir pun menyalahkan orang yang tak mau berdoa memohon sesuatu kepada-Nya. Sebab, dalam Quran dituliskan: Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan permintaanmu. "Doa", bukankah itu bisa ditafsirkan sebagai segala upaya manusia dalam bentuk apa pun yang halal? Dalam buku ini Abdul Qadir mengutip sabda Nabi Muhammad saw., bahwa takdir tak bisa dihindarkan selain dengan doa khusus. Kesibukan sehari-hari memang bisa melupakan manusia akan hakikatnya. Buku ini, bagi mereka yang dibukakan hatinya, mengingatkan kembali siapa sesungguhnya manusia. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini