Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LADDER 49 Sutradara: Jay Russell Skenario: Lewis Colick Pemain: Joaquin Phoenix, John Travolta, Jacinda Barrett Produksi: Touchstone Pictures
RIBUAN lidah api yang menjilat-jilat di setiap sudut itu terdengar seperti kantata kematian dari zaman purbawi. Dalam sekejap, gedung setinggi 20 lantai itu berubah warna menjadi merah menyala, bersaing dengan warna saga yang memboreh cakrawala di atas Kota Baltimore.
Lalu puing-puing berhembalangan. Di lantai 12, seorang petugas pemadam kebakaran bernama Jack Morrison (Joaquin Phoenix) berusaha menyelamatkan seorang korban. Malang, saat ia berhasil mengevakuasi korban, lantai tempat berpijaknya jebol. Jack terempas puluhan meter ke bawah, seperti tapai basi yang dicampakkan ke lantai.
Sepuluh menit pertama Ladder 49 adalah pameran efek visual spektakuler. Penonton seperti diikutsertakan dalam sebuah game simulasi kebakaran yang begitu realistis. Api, asap, air hidran yang terus menyembur, dan rasa panik yang mencekik. Bahkan hawa panas seolah-olah meruap, merambat keluar dari layar, memupur wajah-wajah penonton dengan asap. Dan kita lantas berpikir, teman-teman Jack akan segera muncul menolongnya. Sebab, ini baru awal cerita, tak mungkin Jack dibiarkan merana.
Tapi pertolongan tak cepat datang. Dalam kondisi sekarat, pikiran Jack melayang ke hari pertama ia masuk sebagai petugas percobaan. Ia melapor kepada atasannya, Kapten Mike Kennedy (John Travolta), yang sedang mendengkur di meja tapi cepat terbangun dan spontan berkhotbah tentang perlu-nya ”disiplin kerja”.
Suasana serius dan nuansa action yang pekat di awal film mendadak lumer ketika Jack mendapati bahwa seniornya, para pemadam kebakaran yang selalu terlihat serius itu, ternyata sering berlaku usil dan seenaknya. Sebuah komunitas yang guyub. Di hari pertamanya itu juga, Jack mendapat ”pelajaran” di lapangan tentang cara menaklukkan api.
Usai bertugas, Jack dan seniornya Dennis (Billy Burke) bertemu dengan dua orang gadis. Seorang di antaranya bernama Linda (Jacinda Barrett), gadis cantik yang dengan kagum bertanya, ”Faktor apakah yang menyebabkan petugas pemadam kebakaran mau berlari ’ke dalam’, sementara semua orang berlari ’keluar’ dari api yang berkobar?” Dan Jack, di hari pertama yang sumringah, menjawab tanpa pretensi altruistik, ”It’s just a job.”
Gaya penyutradaraan Jay Russell yang bertutur seperti ”sandwich” ini (berselang-seling antara kilas balik dan situasi sekarang di sepanjang film) lumayan ampuh dalam menjaga proporsi antara kengerian saat menghadapi api dan perkembangan karakter Jack di du-nia kerja dan problem rumah tangganya. (Oh ya, Jack akhirnya menikahi Linda dan mereka memiliki sepasang anak.)
Tak bisa ditampik, film ini memang sarat dengan aura pemujaan terhadap profesi pemadam kebakaran, ”sang pahlawan” dalam tragedi 11 September 2001—bayangkan kondisi Jack yang bisa terpanggang hidup-hidup setiap saat, dengan petugas yang terperangkap di reruntuhan World Trade Center, yang pasti jauh lebih mengerikan kondisinya.
Tapi bukan semata kengerian itu yang ingin digambarkan penulis skenario Lewis Colick. Ia ingin menepuk bahu penonton, menyatakan: tak ada yang lebih penting selain persahabatan yang tulus, bahkan di dunia kerja. Bahwa rekan sekerja bukan sekadar kolega, melainkan sudah separuh nyawa. Dari sisi ini, Ladder 49 terasa lebih menyentuh dibandingkan dengan Backdraft (1991), juga film tentang pemadam kebakaran karya Ron Howard (dibintangi Robert de Niro dan Donald Sutherland) yang lebih mengutamakan sisi thriller dan action ketimbang drama kemanusiaan.
Ketika satu per satu sahabatnya tewas, atau terluka parah saat bertugas, Jack, yang mulai ngeri membayangkan masa depannya, hanya terdiam saat Kennedy bertanya, ”Masihkah cintamu pada pekerjaan ini seperti dulu, Jack?”
Pada saat itulah ribuan lidah api, yang terdengar seperti kantata kematian dari zaman purbawi, justru melecutnya untuk terus bertahan hidup. Melawan daya rusak api yang abadi.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo