Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bermain dengan Efek Digital

Sutradara baru Kerry Conran menggarap para aktor di studio, di hadapan layar kosong dan mengisi seting dengan efek digital sepenuhnya. Berhasilkah?

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SKY CAPTAIN AND THE WORLD OF TOMORROW Sutradara: Kerry Conran Skenario: Kerry Conran Pemain: Jude Law, Gwyneth Paltrow, Angelina Jolie

Inilah aturan main untuk menyaksikan film ini. Satu, film ini berupaya membangun sebuah dramaturgi komik. Seperti film Dick Tracy karya Warren Beatty yang menghidupkan sebuah komik ke layar lebar dengan visualisasi yang mengawinkan unsur sinematik dan seni rupa komik dengan luar biasa. Kedua, dengan demikian harap ingat para aktor dalam film ini menyelenggarakan seluruh perannya di sebuah studio yang kosong, plong, dengan latar belakang layar berwarna (yang kemudian akan diisi dengan sistem digital sepenuh-penuhnya). Artinya, Jude Law sebagai Sky Captain, Gwyneth Paltrow sebagai Polly Perkins, berakting dengan benda-benda imajinatif. Mereka harus membayangkan dirinya di hutan, di tepi jurang, melayang di atas pesawat, dan seterusnya.

Maka aturan main untuk menyaksikan film ini terdengar seperti sebuah "pembelaan" untuk seorang computer geek alias kutu komputer seperti Kerry Conran, yang mengabdikan dirinya di muka komputer bertahun-tahun untuk memuncratkan ide Sky Captain ini. Ide ini tertangkap sutradara Jon Avnet, yang kemudian mengusulkan agar "orat-oret" Conran diangkat sebagai sebuah film layar lebar. Ide dahsyat. Dan terbayanglah warna-warni dan dramaturgi komik yang hidup. Namun tidak semua sutradara memiliki visi seperti Steven Spielberg atau Warren Beatty dalam mengangkat sebuah dramaturgi komik.

Jalan ceritanya cukup klise. Dunia tengah diserang oleh seorang ilmuwan Jerman terkemuka, Dr. Totenkopf (tampil wajah almarhum aktor/sutradara Laurence Olivier yang "dihidupkan kembali" melalui bantuan komputer digital). Bumi akan hangus jika tak segera diselamatkan. Dex Dearborn, ilmuwan yang membela kebenaran itu, diculik oleh Totenkopf. Maka tampil Joe Sullivan alias Sky Captain (Jude Law)—yang tampaknya seorang penerbang yang luar biasa kaya raya mengingat betapa mewahnya harta yang dimilikinya. Sky Captain berniat mengambil Dex kembali dari sarang Totenkopf, sementara Polly Perkins (wartawan yang penampilannya lebih mirip peragawati dengan hak tinggi) ngintil bersamanya untuk mendapat berita hebat.

Selebihnya adalah perjalanan menuju "sarang" Totenkopf dengan segala rintangannya dan romansa di antara kedua tokoh. Oups, dan jangan lupa, ada tokoh Captain Franky Cook, seorang pilot seksi yang tentu saja diperankan oleh Angelina Jolie. Dengan anak buah yang sigap dan aksen Inggris yang agak mengganggu telinga, Jolie lumayan menjadi penyegar dari adegan-adegan romansa klise antara Sky Captain dan Polly.

Problem utama film ini adalah jalan cerita yang terlalu klise; kurang kental dan kurang menggerogoti hati dibanding kisah drama komik lain yang sudah melekat di hati penonton seperti Batman, Superman, Spider-Man dan Dick Tracy. Kemudian Jude Law dan Gwyneth Paltrow tampil buruk karena tak mampu membayangkan mereka berdiri di sebuah seting imajinatif. Sosok wartawati Polly Perkins, yang lebih mirip sosok Brenda Starr (tokoh wartawan yang selalu mementingkan penampilan tapi toh sangat berprestasi), tidak bernyawa dan lebih mirip seorang perempuan berhak tinggi yang menjadi embel-embel yang merepotkan. Sebaliknya Angelina Jolie, yang sudah biasa berperan di studio dengan spirit imajinatif dalam kedua sekuel Lara Croft, tampaknya sudah nyaman untuk berakting dalam kevakuman. Problem lain, yang lebih filosofis, adalah apakah cukup etis menampilkan aktor yang sudah meninggal dengan memberikan peran post-humous. Laurence Olivier meninggal pada 1989, dan penampilannya dimainkan melalui komputer digital. Ini memang pernah terjadi beberapa kali, namun masih selalu menjadi perdebatan etika. Hal terakhir, dialog film ini supergawat; tak ada yang paling membosankan dari sebuah film daripada sebuah film yang menyajikan dialog yang klise dan membosankan. Ini sudah mendekati "kriminal".

Bagaimanapun, ide mengangkat kisah Conran ke layar lebar sesungguhnya suatu langkah yang layak dipujikan. Namun pemilik ide tak harus menjadi seniman yang mengeksekusi. Tak semua "kutu komputer" memiliki bakat menjadi eksekutor, apalagi sutradara.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus