MELUKIS tempat-tempat yang dikunjungi dalam suatu perjalanan, itu biasa. Tapi memungut benda-benda yang dianggap khas di suatu tempat, dan kemudian menempelkannya sebagai bagian suatu karya seni rupa, mungkin sejauh ini baru dilakukan oleh perupa Peter Atkins. Setidaknya, Atkinslah yang sampai bisa memamerkan karya-karya seperti itu dalam sebuah pameran tunggal. Dan perjalanan yang ditempuhnya untuk menghasilkan 40 karya tersebut cukup panjang: ke kota-kota di Australia, Asia, dan Amerika selama 40 minggu. Karya-karya berukuran 30 x 30 cm itu kini dipamerkan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sampai Rabu pekan depan. Kesan pertama melihat karya-karya kolase yang menampilkan bros, cermin, uang kertas, kartu pos, metal, plastik, perak, beludru, kayu, kertas, kanvas dan masih banyak lagi benda yang dipungut Atkins dalam perjalanannya, perupanya sangat intens dalam menggarap suatu tema. Maksudnya, dalam karya-karya mungil yang kadang dibuat dengan simpel itu tercermin suatu pencarian yang tak sederhana. Itulah semacam "hakikat hidup dan kehidupan". Ada terasa elemen-elemen kolase pada karyanya tidak hanya sekadar menunjukkan tempat dan waktu. Juga benda-benda itu tak hanya sekadar dipakai untuk mendapatkan cerapan raba, warna, barik. Dari benda-benda itulah Atkins memulai dan menggarap karyanya. "Saya tak menempelkan benda-benda itu melejit dari konteksnya," katanya dalam sebuah wawancara yang dikutip di buku katalog. Kolase dalam karya Atkins memang sudah jauh dari lazimnya karya kolase dalam seni rupa, yang dimulai secara ramai-ramai di Eropa dalam pameran yang melahirkan dadaisme. Kolase Atkins bukan suatu upaya menawarkan kebaruan, atau sindiran. Terasa sulit kini untuk menyatakan sesuatu sebagai hal yang baru, dan mengapa harus menyindir bila dialog mungkin dilakukan. Juga bukan untuk mendapatkan kejutan. Sebab, apa yang bisa membuat kita terkejut ketika tak ada lagi tempat atau benda yang "asing" bagi kita. Atkins memungut benda untuk dikolasekan dengan maksud yang lebih "serius". Dalam pertemuan dengan benda-benda itulah terjadi dialog, bukan tentang benda itu saja, tapi terlebih penting tentang diri sang perupanya. Dengan menemukan benda itulah Atkins menemukan dirinya. Dalam kata-kata si perupa itu sendiri: "Makin panjang perjalanan makin berkurang kompleksitas hidup ini. Saya masuk ke dalam batin.... Saya menjadi sepenuhnya mandiri. Saya mencoba mengetahui tentang diri sendiri." Karena itu, meski benda-benda itu punya ciri tempat asal- usulnya, tak lagi penting dikenal apakah itu dari New York, Bangkok, Kalkuta, atau Rio de Janeiro. Dan justru karena itu ke-40 karya Atkins ini lalu terasa sebagai kesatuan: sebuah dialog untuk menemukan diri. Sejauh ini, yang dicoba dipaparkan adalah sudut pandang perupanya sendiri. Lalu bagaimana hal-hal yang pribadi itu bisa ditangkap pengunjung pameran lewat karya-karya itu? Adalah berbagai karya dengan berbagai kesan yang pertama-tama tertangkap. Umpamanya, sebuah karya merupakan dialog dengan Yang Mahakuasa. Pada karya yang lain menunjukkan suatu renungan tentang lingkungan hidup. Karya yang lain lagi merupakan rekaman tentang ketakutan, kematian, kebencian, dan banyak lagi. Dan kesan-kesan itu terutama dipancing oleh kata atau teks yang memang sengaja ditulis pada karyanya oleh Atkins, yang bila kebetulan menyatu dengan benda yang ditempelkannya, kesan itu makin kuat. Ini merupakan ciri Atkins yang lain: selalu ada kata atau teks pada karyanya. Tak heran, Annete Larkin, editor katalog pameran, menyatakan bahwa karya Atkins tertarik-tarik antara bidang-bidang yang merupakan bidang "pelukis abstrak" dan perupa yang banyak menggunaan kolase. Di samping itu, karya Atkins pun mengganggu penonton dengan menawarkan narasi (ada kata-kata tadi) dan suatu pengalaman batin. Pada mulanya Atkins memang seorang pelukis abstrak ekspresionisme. Tapi kemudian, dalam perjalanannya, ia yakin bahwa ini zaman pluralisme. Ia pun mulai memperhatikan masalah lokal Asia-Pasifik. Tapi ini bukan berarti Atkins lalu mengibarkan "nasionalisme" dalam karya-karyanya. Itu lebih berarti merupakan pencibiran terhadap arus besar dan konsep seni yang memuja-muja "seni murni". Itulah mengapa ia mulai menempelkan benda-benda yang dipungutnya di tengah jalan, di pantai, di mana saja, benda- benda yang oleh orang lain "dibuang". Bagi Atkins "seni rupa ada di mana-mana, dan bisa dipengaruhi oleh apa saja". Batasan yang diberikan seni rupa arus besar telah "mencekik kreativitas," kata Atkins, yang lahir pada tahun 1963 di Murrurundi, New South Wales. Perlu dicatat tampaknya, dalam hal narasi, ada napas yang sama antara karya-karya Atkins dan karya Aborigin. Bedanya, kisah di balik karya Aborigin sudah menjadi milik kelompok, setidaknya milik keluarga, dan milik sosial. Sedangkan kisah dalam karya Atkins adalah milik pribadinya. Tak berarti lalu karya Atkins tidak komunikatif. Adanya teks dalam karyanya, seperti sudah disebutkan, merupakan jembatan antara "kisah di balik karya" dan penonton. Memang, tetap saja tak akan terbentuk sebuah cerita milik sosial seperti halnya pada karya Aborigin. Kisah yang muncul di kepala penonton dari pertemuan dengan karya Atkins akan tetap berbeda- beda pada penonton satu dan yang lain. Bagaimanapun, pameran di Jakarta ini, setelah Atkins termasuk satu dari sembilan perupa yang mendapat hadiah di pameran internasional tiga tahunan di New Delhi (ada juga perupa Indonesia yang mendapat hadiah dari pameran itu, Sukamto dari Institut Kesenian Jakarta, lihat Album, 26 Maret), memang terasa sebagai alternatif. Memang terasa bahwa seni rupa bukan cuma milik seniman dan museum, tapi juga bisa datang dari siapa saja. S. Malela Mahargasarie dan Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini