Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Agar tak terlena ninabobo

Jakarta: infobank, 1994

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI negara penganut sistem ekonomi terbuka, Indonesia sedikit banyakakan dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian yang terjadi di duniainternasional. Di antara tiga macam krisis global -- krisis minyak (dankomoditi primer lain), krisis peran negara, dan krisis utang luar negeri, yangmenjadi trend pada dasawarsa 1980 -- tampaknya krisis minyaklah yang palingmemukul perekonomian Indonesia. Tentu, tak terhindarkan lagi bahwa iniberkaitan dengan struktur penerimaan negara yang didominasi oleh penerimaandari sektor minyak dan gas. Begitu harga minyak anjlok, misalnya tahun 1982dan 1986, penerimaan dari migas pada tahun anggaran itu menurun drastis.Untung, Pemerintah cepat tanggap menghadapi kejutan eksternal ini. Dimulaidengan penjadwalan proyek-proyek besar, devaluasi, dan deregulasi perbankantahun 1983, tahun-tahun selanjutnya kita menyaksikan deretan panjang paketderegulasi di bidang moneter (dan keuangan), fiskal, perdagangan (danpengapalan), dan investasi. Secara garis besar, deregulasi merupakan kombinasidari kebijakan expenditure-reducing policy dan expenditure-switching policy.Terasa juga adanya niat Pemerintah untuk melakukan restrukturisasi ekonomi,yaitu mengubah ketergantungan pada satu komoditi (minyak) menjadi banyakkomoditi (diversifikasi ekspor nonmigas), mobilisasi dana dalam negeri (pajakdan tabungan), serta mengurangi campur tangan Pemerintah (debirokratisasi danprivatisasi) di banyak sektor yang menghambat kemajuan dunia usaha. Yangterakhir ini populer dengan sebutan penyesuaian struktural atau reformasiekonomi. Buku yang ditulis Wakil Direktur Bidang Riset LP3ES ini secara khususmenyoroti deregulasi dari dimensi politik dan implikasinya bagi agendakebijakan ekonomi mendatang. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritistentang deregulasi: apakah deregulasi dapat menyelesaikan persoalan klasikseperti keterbelakangan, dualisme sektor modern dan tradisional, pengangguran,dan kesenjangan pendapatan? Siapakah yang paling diuntungkan dengan kebijakanderegulasi?Didik J. Rachbini menuduh adanya kesenjangan antara dasar- dasar teoretisdari kebijakan deregulasi dan kondisi sosial masyarakat di Indonesia.Argumentasinya, kebijakan deregulasi adalah "kreasi ilmuwan dan teknokratyang dibawa masuk ke alam ekonomi Indonesia tanpa treatment dan prosespenyesuaian lebih dahulu". Tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru. GunnarMyrdal, penerima hadiah Nobel ekonomi, sudah memperingatkan teknokrat danintelektual di negara berkembang agar tak menyontek begitu saja ilmu atauformat kebijakan Barat tanpa memperhitungkan konstelasi sosial-politik negaraitu.Lebih lanjut, Didik mengkritik kebijakan deregulasi yang terlalu berat kesektor moneter-keuangan. Kendati Pemerintah selama ini telah mencobamenerapkan suatu kombinasi kebijakan moneter-fiskal (policy mix), Didikmenangkap kesan kuat bahwa instrumen kebijakan moneterlah yang seringditerapkan. Secara politis, memang harus diakui, lebih mudah mengutak-atiksektor moneter dibanding sektor riil. Deregulasi sektor riil lebih sulitdilakukan karena banyak kepentingan yang bercokol dan dipenuhi para pembururente. Deregulasi yang ogah-ogahan di sektor riil namun relatif tanpa kontroldi sektor perbankan jelas berakibat tersendatnya perkembangan sektor riil --titik awal dinamika ekonomi.Bisa dimaklumi apabila terjadi dua konsekuensi logis berikut ini. Pertama,sektor moneter menjadi sebuah sistem yang eksklusif dan tak punya kaitandengan sektor riil. Gejala uncoupling ini pernah diungkapkan Peter F. Druckerpada dasawarsa 1980. Kedua, sektor riil dipaksa membiayai perbankan denganbunga yang tinggi.Harus diakui, buku ini cukup menggugah perhatian pembaca untuk ikutmemikirkan berbagai permasalahan dasar ekonomi Indonesia selama 10 tahunterakhir. Sangat disayangkan, buku ini boleh dikata miskin data pendukungsekalipun kaya dengan argumentasi kualitatif.Maka, saya sependapat dengan Dr. Soedradjat Djiwandono, penulis katapengantar. "Bagi kalangan akademisi, buku ini dapat menjadi tambahanreferensi dalam mengevaluasi deregulasi. Sedangkan bagi perumus kebijakan,buku ini bermanfaat sebagai bahan untuk mengkaji kebijakan yang telah ditempuhagar tak terlena oleh tolok ukur yang meninabobokan". Mudrajad Kuncoro*) *)S.E., M.Soc.Sc., staf pengajar dan peneliti FE UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus