PERTUNJUKAN Topeng Cirebon di Taman Ismail Marzuki baru-baru
ini, terhitung salah satu acara yang menarik. Bukan saja karena
jenis ini tidak sepopuler Topeng Bali misalnya. Tapi juga karena
Topeng Cirebon terbukti dapat mempertahankan mutu,
setidak-tidaknya keaslian, dibanding daerah-daerah lain di Jawa
vang terbuka. Berikut ini tulisan dari dua orang dosen Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta, Akademi Tari, yang banyak memberi
introduksi dan perbandingan - Red.
KALI ini bukan Topeng Bali yang kesohor itu. Tanggal 13 dan 14
Juli 1977, TIM menampilkan Topeng Cirebon. Tiga orang dalang
(penari) topeng ditampilkan sekaligus, dan bergantian membawakan
5 tokoh, Panji, Pamindo Rumyang, Tumenggung dan Klana. Ditambah
tokoh Jinggananom, yang ditarikan oleh seorang 'bodor' atau
pelawak.
Ibu Sudji, dalang topeng dari Desa Cileuweung, Palimanan, adalah
yang tertua dari ketiga penari -- sekitar 60 tahun.
Pengalamannya yang matang terlihat dalam menarikan topeng Panji.
Bukan dari kecepatan dan ketrampilan geraknya. tetapi justru
dari kontrol dan konsentrasinya yang penuh. Gerakannya yang
halus pelahan, dan dilakukan hanya sekali-dua, nampak mengandung
kekuatan dalam. Tarian ini, menurut dia, yang tersukar dari
keempat tarian lain.
Pak Djana, penari yang kedua (42 tahun), berasal dari Desa
Slangit. Berbeda dengan Bu Sudji yang gerakannya mengalir
bersambungan dari sendi yang satu ke sendi yang lain tanpa
ketegangan otot-otot, gerakan Pak Djana lehih lisikal.
Barangkali karena ia seorang laki-laki yang bertubuh atletis.
Malam pertama, sebagai Pamindo, ia benarbenar cemerlang. Di
balik topeng putihnya ia berubah menjadi seorang muda yang
pesolek, ramah, lincah dan bergairah, sedang sebagai Tumenggung
penampilannya tak juga mengecewakan.
Keni, adik Djana. adalah yang termuda. Peranannya sebagai
Rumyang tak memberinya kesempatan untuk memamerkan
ketrampilannya. Tetapi ketika dalam lokakarya dengan mahasiswa
tari LPKJ ia menarikan Klana, nampaklah kebolehannya.
Semangatnya menyala, kadang-kadang bergerak lemah gemulai,
sesaat berubah keras dan bertenaga, membuat topeng Khana yang
dibawakannya benar-benar hidup. Tak mengherankan bahwa saat ini
rombongan topengnyalah yang paling laris. Di musim panen yang
baik ia bisa menari 23 kali sebulan.
Adapun tokoh tambahan tadi, 'bodor,' ditarikan oleh Pak Bulus.
Lawakannya, yang memadukan dengan baik unsur-unsur tari, gending
dan tembang, sangat hidup. Bodor ditampilkan sebagai selingan
sementara sang dalang sedang beristiraht. Dengan mengemukakan
hal-hal aktuil lawakan. Bulus terasa akrab dan santai. Laku
biasa dan laku pentas ia pertukarkan dengan enak, sehingga
merangsang tawa.
Sebagai wayang (aktor) -- yang seharusnya tunduk kepada dalang
atau sutradara ia protes, sebab yang terakhir ini terlalu
menindas kebebasannya. Sebagai Jinggananom ia terbunuh oleh
Tumenggung, tetapi hidup kembali sebagai Bulus -- dan kembali
menunaikan tugasnya sebagai nayaga. Tak mengherankan bahwa
penonton yang terpikat, dalam pertunjukan di desa-desa di
Cirebon, sering kali membiarkan uang atau apa saja ke pentas.
Gamelan topeng bernada keras dan dinamik. Gagal Panji, yang
selalu dimainkan sebagai pembukaan, diawali dengan pukulan keras
dan serempak dari seluruh instrumen seperti yang biasa kita
lihat di Bali.
Di samping memainkan gamelan para nayaga bertugas pula sebagai
paduan suara. Pada setiap akhir ucapan pembawa cerita, mereka
menirukan beberapa patah kata terakhir. Di lain saat mereka
bersahut-sahutan meneriakkan senggak (seruan kata tak mengandung
arti) untuk menambah gairah. Di Cirebon tak jarang secara
spontan para penonton ikut meneriakkan senggak ini - sehingga
timbul suasana yang benar-benar hangat.
Gerakan topeng Panji yang halus dan dilakukan sekali-dua dengan
sangat pelahan ini, mengingatkan kita kepada tarian klasik
Jepang dalam Noh. Dalam keduanya kita temui: tempo gerak yang
sangat pelahan, konsentrasi yang kuat, serta gerakan kaki yang
tak pernah terangkat dari lantai.
Almarhum guru saya - R.T. Kusumokesowo dari Kraton Surakarta
pernah bercerita tentang Panji Sepuh (tua), tarian yang hanya
ditarikan oleh seorang putera mahkota yang 'hendak dinobatkan
menjadi raja, dilakukan di kamar pusaka dan hanya ditunggui sang
raja. Lebih merupakan sebuah upacara dari pada sebuah
pertunjukan di mana batin jauh lebih penting dari kebagusan
lahir.
Kesan inilah yang saya peroleh dari Panji Cirebon. Di Sala
sendiri, Panji Sepuh tak pernah ada yang melihatnya. Yang masih
dapat dilihat adalah Panji Inem (muda), turunannya, yang
ditarikan oleh dua penari yang berpakaian sama.
Mengenai Panji ini ibu Sudji menjelaskan: menurut ayahnya (Pak
Wentar, yang menurunkan tarian topeng kepadanya), gerakan Panji
menggambarkan gerakan-gerakan bayl semenJak masih dalam
kandungan. "Itulah makanya sangat halus, perlahan, dan sarat
dengan rasa," sambungnya.
Sunan Kalijaga
Sebelum memulai pertunjukan, dalang selalu terlihat duduk
tepekur menghadap kotak topeng, membelakangi penonton seakan tak
peduli bunyi gamelan riuh rendah. Ia sesungguhnya sedang berdoa.
Yang juga disebut dalam doa adalah 'Pangeran Panggung,' orang
yang menurut keyakinan mereka si pembuat topeng dan pencipta
tariannya.
Pangeran Panggung ini ternyata sebutan Sunan Kalijaga sebagai
seniman pentas - yang sekaligus menurunkan para dalang topeng.
Dalang turunan ini punya tuah, dan untuk melijaganya ia harus
kawin dengan turunan pula.
Kalau di Jakarta sering ada lomba atau festival tari, di Cirebon
ada kebiasaan sejenis yang unik. Dapat terjadi dua orang dalang
topeng dengan sengaja ditanggap menari berbarengan di sebuah
arena. Kedua penari saling berhadapan dengan jarak kurang dari
10 meter. Keduanya menarikan tarian yang sama, dengan iringan
gamelan masing-masing dan penonton bebas memilih penari mana
yang disenangi. Yang dikerumuni lebih banyak penonton, itulah
yang menang.
Lebih demokratis, langsung dinilai oleh penonton. Akibat
buruknya memang ada: yang dikalahkan sering juga menjadi dendam,
meskipun ini bukan hasil yang diharap.
Kebiasaan ini masih berlaku hingga sekarang. Tanggal 7 Agustus
1977 mendatang misalnya, adu topeng akan terjadi di Desa
Kalianyar dekat Harjawinangun, Cirebon. Dalangnya: Pak Djana
dari Slangit dan Ibu Sutini penari setempat. Boleh nonton.
Sal Muriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini