Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penari-penari yang turunan wali

Tim menampilkan tari topeng cirebon. 3 dalang, ibu sudji, pak djana, keni tampil sekaligus menari secara bergantian. pembuat topeng dan pencipta tari ada sri panggung atau sunan kalijaga.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTUNJUKAN Topeng Cirebon di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini, terhitung salah satu acara yang menarik. Bukan saja karena jenis ini tidak sepopuler Topeng Bali misalnya. Tapi juga karena Topeng Cirebon terbukti dapat mempertahankan mutu, setidak-tidaknya keaslian, dibanding daerah-daerah lain di Jawa vang terbuka. Berikut ini tulisan dari dua orang dosen Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, Akademi Tari, yang banyak memberi introduksi dan perbandingan - Red. KALI ini bukan Topeng Bali yang kesohor itu. Tanggal 13 dan 14 Juli 1977, TIM menampilkan Topeng Cirebon. Tiga orang dalang (penari) topeng ditampilkan sekaligus, dan bergantian membawakan 5 tokoh, Panji, Pamindo Rumyang, Tumenggung dan Klana. Ditambah tokoh Jinggananom, yang ditarikan oleh seorang 'bodor' atau pelawak. Ibu Sudji, dalang topeng dari Desa Cileuweung, Palimanan, adalah yang tertua dari ketiga penari -- sekitar 60 tahun. Pengalamannya yang matang terlihat dalam menarikan topeng Panji. Bukan dari kecepatan dan ketrampilan geraknya. tetapi justru dari kontrol dan konsentrasinya yang penuh. Gerakannya yang halus pelahan, dan dilakukan hanya sekali-dua, nampak mengandung kekuatan dalam. Tarian ini, menurut dia, yang tersukar dari keempat tarian lain. Pak Djana, penari yang kedua (42 tahun), berasal dari Desa Slangit. Berbeda dengan Bu Sudji yang gerakannya mengalir bersambungan dari sendi yang satu ke sendi yang lain tanpa ketegangan otot-otot, gerakan Pak Djana lehih lisikal. Barangkali karena ia seorang laki-laki yang bertubuh atletis. Malam pertama, sebagai Pamindo, ia benarbenar cemerlang. Di balik topeng putihnya ia berubah menjadi seorang muda yang pesolek, ramah, lincah dan bergairah, sedang sebagai Tumenggung penampilannya tak juga mengecewakan. Keni, adik Djana. adalah yang termuda. Peranannya sebagai Rumyang tak memberinya kesempatan untuk memamerkan ketrampilannya. Tetapi ketika dalam lokakarya dengan mahasiswa tari LPKJ ia menarikan Klana, nampaklah kebolehannya. Semangatnya menyala, kadang-kadang bergerak lemah gemulai, sesaat berubah keras dan bertenaga, membuat topeng Khana yang dibawakannya benar-benar hidup. Tak mengherankan bahwa saat ini rombongan topengnyalah yang paling laris. Di musim panen yang baik ia bisa menari 23 kali sebulan. Adapun tokoh tambahan tadi, 'bodor,' ditarikan oleh Pak Bulus. Lawakannya, yang memadukan dengan baik unsur-unsur tari, gending dan tembang, sangat hidup. Bodor ditampilkan sebagai selingan sementara sang dalang sedang beristiraht. Dengan mengemukakan hal-hal aktuil lawakan. Bulus terasa akrab dan santai. Laku biasa dan laku pentas ia pertukarkan dengan enak, sehingga merangsang tawa. Sebagai wayang (aktor) -- yang seharusnya tunduk kepada dalang atau sutradara ia protes, sebab yang terakhir ini terlalu menindas kebebasannya. Sebagai Jinggananom ia terbunuh oleh Tumenggung, tetapi hidup kembali sebagai Bulus -- dan kembali menunaikan tugasnya sebagai nayaga. Tak mengherankan bahwa penonton yang terpikat, dalam pertunjukan di desa-desa di Cirebon, sering kali membiarkan uang atau apa saja ke pentas. Gamelan topeng bernada keras dan dinamik. Gagal Panji, yang selalu dimainkan sebagai pembukaan, diawali dengan pukulan keras dan serempak dari seluruh instrumen seperti yang biasa kita lihat di Bali. Di samping memainkan gamelan para nayaga bertugas pula sebagai paduan suara. Pada setiap akhir ucapan pembawa cerita, mereka menirukan beberapa patah kata terakhir. Di lain saat mereka bersahut-sahutan meneriakkan senggak (seruan kata tak mengandung arti) untuk menambah gairah. Di Cirebon tak jarang secara spontan para penonton ikut meneriakkan senggak ini - sehingga timbul suasana yang benar-benar hangat. Gerakan topeng Panji yang halus dan dilakukan sekali-dua dengan sangat pelahan ini, mengingatkan kita kepada tarian klasik Jepang dalam Noh. Dalam keduanya kita temui: tempo gerak yang sangat pelahan, konsentrasi yang kuat, serta gerakan kaki yang tak pernah terangkat dari lantai. Almarhum guru saya - R.T. Kusumokesowo dari Kraton Surakarta pernah bercerita tentang Panji Sepuh (tua), tarian yang hanya ditarikan oleh seorang putera mahkota yang 'hendak dinobatkan menjadi raja, dilakukan di kamar pusaka dan hanya ditunggui sang raja. Lebih merupakan sebuah upacara dari pada sebuah pertunjukan di mana batin jauh lebih penting dari kebagusan lahir. Kesan inilah yang saya peroleh dari Panji Cirebon. Di Sala sendiri, Panji Sepuh tak pernah ada yang melihatnya. Yang masih dapat dilihat adalah Panji Inem (muda), turunannya, yang ditarikan oleh dua penari yang berpakaian sama. Mengenai Panji ini ibu Sudji menjelaskan: menurut ayahnya (Pak Wentar, yang menurunkan tarian topeng kepadanya), gerakan Panji menggambarkan gerakan-gerakan bayl semenJak masih dalam kandungan. "Itulah makanya sangat halus, perlahan, dan sarat dengan rasa," sambungnya. Sunan Kalijaga Sebelum memulai pertunjukan, dalang selalu terlihat duduk tepekur menghadap kotak topeng, membelakangi penonton seakan tak peduli bunyi gamelan riuh rendah. Ia sesungguhnya sedang berdoa. Yang juga disebut dalam doa adalah 'Pangeran Panggung,' orang yang menurut keyakinan mereka si pembuat topeng dan pencipta tariannya. Pangeran Panggung ini ternyata sebutan Sunan Kalijaga sebagai seniman pentas - yang sekaligus menurunkan para dalang topeng. Dalang turunan ini punya tuah, dan untuk melijaganya ia harus kawin dengan turunan pula. Kalau di Jakarta sering ada lomba atau festival tari, di Cirebon ada kebiasaan sejenis yang unik. Dapat terjadi dua orang dalang topeng dengan sengaja ditanggap menari berbarengan di sebuah arena. Kedua penari saling berhadapan dengan jarak kurang dari 10 meter. Keduanya menarikan tarian yang sama, dengan iringan gamelan masing-masing dan penonton bebas memilih penari mana yang disenangi. Yang dikerumuni lebih banyak penonton, itulah yang menang. Lebih demokratis, langsung dinilai oleh penonton. Akibat buruknya memang ada: yang dikalahkan sering juga menjadi dendam, meskipun ini bukan hasil yang diharap. Kebiasaan ini masih berlaku hingga sekarang. Tanggal 7 Agustus 1977 mendatang misalnya, adu topeng akan terjadi di Desa Kalianyar dekat Harjawinangun, Cirebon. Dalangnya: Pak Djana dari Slangit dan Ibu Sutini penari setempat. Boleh nonton. Sal Muriyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus