ADA mangkuk, teko, perlengkapan minuman, botol, vas, lampu minyak, nampan, dan sebagainya dalam satu gaya. Memang, tak semua nama barang pakai tadi bisa dipakai. Beberapa di antaranya hanya bentuk dasarnya yang teko atau botol, dan kemudian digarap menjadi karya seni yang mandiri. Itulah yang bisa disaksikan dalam Pameran Contemporary Australian Hollow Ware atau Pameran Barang-Barang Berongga Australia Kontemporer, pekan ini di Jakarta. Enam belas perupa kerajinan metal Australia menyuguhkan lebih dari 50 karya. Karya-karya ini umumnya didasari bentuk-bentuk geometris dengan berwarna natural, sesuai dengan warna dasar bahan yang dipakai, seperti perak, emas, titanium, aluminium, baja antikarat, nilon, atau batu granit. Dengan bentuk dan warna yang ''dingin'' seperti itu, serta penggarapan dengan teknologi dengan tingkat presisi yang tinggi, hasilnya adalah karya-karya yang berkesan jernih, rasional, dan simpel merupakan ciri gaya seni modern. Dalam pembentukan satu karya, tak jarang bahan-bahan itu dikombinasikan satu dan lainnya, malah terkadang dengan sengaja bahan-bahan tadi diberi warna tambahan. Misalnya pada Coffee Pot karya Johannes Kuhnen, dikombinasikan bahan perak warna hitam, aluminium ungu, baja antikarat, dan nilon. Hal yang sama dapat diamati pada karya Robert Foster, Coffee Pot dan Wine Jugs. Karya ini juga menggunakan beberapa bahan yang dipadukan, serta menambahkan warna-warna yang meriah seperti biru, kuning, hitam, putih, dengan bentuk-bentuk yang lebih elastis. Efek yang ingin dihasilkan dari perpaduan bahan yang ada tentunya menjadi perhitungan tersendiri. Misalnya, Black Kettel karya Frank Bauer, perpaduan bahan perak, lempengan emas, dan kayu ini selain mempunyai pencerapan raba yang berbeda, juga didapat perpaduan warna yang kaya dan menarik dari warna dasar bahan: antara kuning emas, hitam perak yang teroksidasi, dan kayu yang telah diwarnai merah. Karya Bauer ini salah satu karya yang berhasil dalam menampilkan diri sebagai karya dengan cita rasa modern, penggunaan bentuk-bentuk geometris seperti kerucut, silinder, segi empat, lingkaran, atau bentuk-bentuk simpel lainnya, yang dipadu warna kontras. Karya ini menjadi salah satu koleksi Art Gallery of Western Australia. Kebanyakan karya pada pameran ini memperlihatkan kecenderungan tersebut: dekorasi atau hiasan seperti yang lazim dijumpai pada karya kerajinan, praktis tak tampak. Soalnya, strukturnya sendiri sudah menjadi hiasan. Maka, vas karya Mark Edgoose yang anggun, gelas anggur yang meliuk elastis karya Robert Foster, seperangkat peralatan minum kopi yang punya bentuk menggelitik, cangkir minum berbentuk terompet karya Robert Baines, atau lampu minyak yang lucu karya Beatrice Schalbowsky, tampak sebagai benda yang menyatu satu sama lain dalam satu keluarga, karena keterikatan bentuk-bentuk dasar yang digunakan. Dan yang penting, semuanya saja menghidar dari simbolisme dan romantisisme dengan menjauhi ragam hias dekoratif yang melimpah ruah. Pameran yang diadakan di Museum Nasional di Jakarta Pusat ini menunjukkan bagaimana cita rasa seni modern merasuk ke segala macam barang. Inilah gaya yang berkembang pesat di Eropa sekitar permulaan hingga pertengahan abad ke-20: gaya yang lugas, geometris, minimalistis. Segalanya dikembalikan ke bentuk dasar, dihilangkan segala embel-embelnya. Dan masuknya gaya ini ke desain terutama diembuskan oleh sekolah Bauhaus di Jerman. Maka, bila benar yang dipamerkan di Jakarta ini adalah gaya kerajinan Australia masa kini, bisa dikatakan itu agak terlambat. Dan tampaknya memang demikian. Seperti ditulis oleh Daniel McOwan, kurator pameran ini, Australia tidak mempunyai tradisi yang kuat, dalam hal membuat karya barang berongga semacam ini. Baru pada tahun 1970-an mereka mendatangkan beberapa perupa kerajinan barang berongga dari Eropa, khususnya dari Skandinavia dan Jerman, untuk mengajar di sekolah-sekolah seni rupa di Australia. Nah, karya-karya yang dipamerkan ini adalah sebagian dari hasil pendidikan itu. Dan karena memang baru muncul, karya kerajinan dengan sentuhan seni modern itu kini sedang mendapat tempat di hati masyarakat kelas menengah. Tapi terlambat atau tidak, dari satu sisi pameran ini mendukung pendapat bahwa keindahan dan kreativitas bukanlah monopoli ''seni murni''. Dan sebaliknya, ''seni murni'' tidaklah hanya memasalahkan keindahan.S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini