TIDAK dibuat-buat, kalau mereka yang masuk Ruang Pameran TIM
(24 - 29 Oktober lalu) seolah ditarik langsung ke bagian
lukisan Hendra. Padahal di depan tergantung lukisan-lukisan
Barli (57 tahun) yang warna-warnanya cukup merangsang. Lalu
lukisan Affandi (71 tahun) yang menggeliat-geliat. Kemudian
Wahdi (61 tahun) yang tampil dengan pemandangan alamnya yang
sunyi dan subur. Dan Sudarso dengan wanita-wanita cantiknya.
Hendra, karena menyandung aral dalam perjalanan hidupnya (lihat
box) memang tak setenar Affandi. Tapi mungkin juga karena hal
itu orang tibatiba menyorotkan mata pada karyanya -- di samping
karyanya memang sudah menarik. Dengan ukuran besar (terbesar
kira-kira 2 X 3,5 m), dengan warna garang dan dengan komposisi
gerak yang nyaris ribut, teoritis lukisan Hendra memang lebih
mampu menjadi pusat perhatian.
Ia tampil dengan delapan karya. Yang tujuh dibuatnya berdasar
ingatannya, dari seringnya membuat sketsa di pinggir jalan, di
pasar dan tempat-tempat lain dulu. Sebuah dibuatnya dengan tema
baru: Urbanis. Dan dengan itu Hendra agak merasa lega: menemukan
tema yang senilai dengan tema-tema lamanya -- tetap bersumber
pada kehidupan jelata.
Mengambil perbandingan dengan lukisan lamanya, antara lain
Pengantei Revolusi (akhir 1940-an), Mencari Kutu (1954) atau
Pedagang Ayam (1956), karya tahun 1978 memang berlebihan.
Seperti Hendra kurang membatasi diri -- terutama pada Jaran
Kepang 1947. Di situ semua orang bergerak, warna-warna menyolok
dan seolah saling bersaing. Jadinya justru terasa datar. Mana
yang harus ditonjolkan, mana yang harus dikurangi kekuatannya,
tak ada. Dan kedelapan lukisannya sekarang berada dalam satu
gaya dengan Pedagang Ayamnya. Sementara gaya yang lembut macam
Mencari Kutu atau Menggambari Keramik tak dijumpai.
Mungkin untuk menyambut pembebasannya dari tahanan, emosi Hendra
masih meledak -- dan belum terseleksi. Tapi toh karyanya masih
menunjukkan memang ia pelukis besar dari angkatannya -- bersama
Affandi dan Sudjojono. Ia masih asyik bercerita dengan gambar.
Dan rupanya memandang dunia dengan optimis. Potret Diri dengan
Anak menunjukkan ini: Hendra yang tua, berkumis panjang,
menimang anaknya. Kelangsungan memang di tangan generasi muda,
tanpa usah diatur atau dipaksakan, begitu lukisan itu seolah
bercerita.
Setidak-tidaknya dalam melukiskan para "urbanis" masih terasa
sentuhan harapan dalam kehidupan yang kelam: di antara para'
urbanisyang duduk bersolek siap menjajakan diri, seorang anak
sedang berpegang pada kaki ibunya untuk meraih boneka. Satu lagi
sebagian besar lukisan Hendra selalu menampilkan figur wanita --
dan konon ia memang suka dirubung wanita. Dalam Nelayan, nelayan
itu dikelilingi dan dikagumi wanita. Juga dalam Becak para
wanita itu rasanya sangat simpati kepada si abang.
Dua Ka'abah
Affandi menarik dengan dua lukisan Ka'abahnya. Satu berwarna
merah, hitam, biru dan putih, menunjukkan suasana panas
menyengat dan hiruk. Satunya dikuasai warna putih. Terasa
tenang. Dilihat soal kesenilukisannya sendiri, terasa goresan
dan pelototan cat dalam kedua Ka'bah itu lebih hidup dari yang
lain-lain. Mungkin Ka'abah merupakan obyek baru yang menggugah
semangat Affandi. Tapi memang benar jika timbul pertanyaan:
kotak hitam itu, memang itukah Ka'abah?
Wahdi, murid Abdullah (ayah Basuki Abdullah), masih setia kepada
gurunya -- paling tidak dalam soal tema. Ia memotret alam tanpa
membebaninya dengan pretensi. Dibiarkannya alam tetap liar,
subur, sunyi, tenteram, tanpa manusia atau makhluk lain. Teknis
mungkin Wahdi bisa dikatakan kurang cermat, atau memang tergesa.
Daun-daun, tanah, tidak dibuat sehalus kalau ia membikin air
--sebagian besarnya masih terasa sebagai cat.
Adapun Sudarso memang telah memilih wanita desa yang cantik
sebagai pokok lukisan. Dan pokok lukisan itu diberi latar
belakang sedemikian rupa hingga terasa janggal. Seorang wanita
duduk di dipan bambu, dengan latar belakang pemandangan pasir
macam di tepi pantai yang sunyi. Tangan maupun kaki wanita licin
bagai lilin, sementara pose duduknya kaku bukan main. Yang
Jelas, andai saja ia mampu menggoyangkan kanvasnya hingga latar
belakang itu memberi gambaran mimpi -- sebutlah surealistis --
tentu hasilnya tidak se"aneh" karya-karyanya sekarang.
Tetapi Barli terasa yang paling lemah dari kelompok lima
ini--meski dialah pencipta harimau lambang Divisi Siliwangi
tahun 1946. Ia memang pernah sukses membuat ilustrasi ketika
masih muda. Tapi rupanya suksesnya justru menjadi halangan.
Lukisannya kira-kira bisa disebut ilustrasi: kurang mampu
berdiri sendiri sebagai subyek.
Juga sapuan kwasnya yang garang, plus warnanya yang berani
(merah, biru, hitam, coklat) tak begitu tampil sebagai cerminan
emosi -- seperti dicapkan saja. Obyek tak berhasil memberi
sesuatu kepada kita, kecuali kemudian kita tahu bahwa itu
wanita, kerbau, kapal dan seterusnya.
Kelima orang yang mulai melukis bersama tahun 1935 di Bandung
ini, memang kurang disebut sebagai kelompok pelopor kehidupan
seni lukis modern. Tidak sebagaimana PERSAGI (Persawan Ahli-ahli
Gambar Indonesia) di Jakarta yang memang berupa satu gerakan.
Tetapi sebagai perotangan, nama mereka -- terutama Affandi dan
Hendra -- kuat tercetak dalam sejarah seni lukis kita.
Menurut Hendra sendiri, baik PERSAGI ataupun kelompok lima
"sama-sama digerakkan oleh kesadaran nasional." Itu, katanya,
yang mendorong lahirnya seni lukis modern Indonesia, yang
memberi kebanggaan bagi orang Indonesia yang hendak menjadi
pelukis. Soalnya wakw itu Belanda memang kurang ajar. Kalau
memberi pelajaran melukis, ini cerita Hendra juga, kalau
menggambar inlander harus seperti monyet. Inlander itu olohok,
goblok. Nah, apa kemudian tak menggugah mereka yang punya harga
diri? Maka lahirlah pelukis-pelukis Indonesia.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini