Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kelompok lima, affandi dan hendra

Lukisan karya hendra gunawan yang dipamerkan di tim bersama karya pelukis lainnya, ternyata menjadi pusat perhatian pengunjung. ia tampil dengan tema baru yang tetap bersumber pada kehidupan jelata.(sr)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK dibuat-buat, kalau mereka yang masuk Ruang Pameran TIM (24 - 29 Oktober lalu) seolah ditarik langsung ke bagian lukisan Hendra. Padahal di depan tergantung lukisan-lukisan Barli (57 tahun) yang warna-warnanya cukup merangsang. Lalu lukisan Affandi (71 tahun) yang menggeliat-geliat. Kemudian Wahdi (61 tahun) yang tampil dengan pemandangan alamnya yang sunyi dan subur. Dan Sudarso dengan wanita-wanita cantiknya. Hendra, karena menyandung aral dalam perjalanan hidupnya (lihat box) memang tak setenar Affandi. Tapi mungkin juga karena hal itu orang tibatiba menyorotkan mata pada karyanya -- di samping karyanya memang sudah menarik. Dengan ukuran besar (terbesar kira-kira 2 X 3,5 m), dengan warna garang dan dengan komposisi gerak yang nyaris ribut, teoritis lukisan Hendra memang lebih mampu menjadi pusat perhatian. Ia tampil dengan delapan karya. Yang tujuh dibuatnya berdasar ingatannya, dari seringnya membuat sketsa di pinggir jalan, di pasar dan tempat-tempat lain dulu. Sebuah dibuatnya dengan tema baru: Urbanis. Dan dengan itu Hendra agak merasa lega: menemukan tema yang senilai dengan tema-tema lamanya -- tetap bersumber pada kehidupan jelata. Mengambil perbandingan dengan lukisan lamanya, antara lain Pengantei Revolusi (akhir 1940-an), Mencari Kutu (1954) atau Pedagang Ayam (1956), karya tahun 1978 memang berlebihan. Seperti Hendra kurang membatasi diri -- terutama pada Jaran Kepang 1947. Di situ semua orang bergerak, warna-warna menyolok dan seolah saling bersaing. Jadinya justru terasa datar. Mana yang harus ditonjolkan, mana yang harus dikurangi kekuatannya, tak ada. Dan kedelapan lukisannya sekarang berada dalam satu gaya dengan Pedagang Ayamnya. Sementara gaya yang lembut macam Mencari Kutu atau Menggambari Keramik tak dijumpai. Mungkin untuk menyambut pembebasannya dari tahanan, emosi Hendra masih meledak -- dan belum terseleksi. Tapi toh karyanya masih menunjukkan memang ia pelukis besar dari angkatannya -- bersama Affandi dan Sudjojono. Ia masih asyik bercerita dengan gambar. Dan rupanya memandang dunia dengan optimis. Potret Diri dengan Anak menunjukkan ini: Hendra yang tua, berkumis panjang, menimang anaknya. Kelangsungan memang di tangan generasi muda, tanpa usah diatur atau dipaksakan, begitu lukisan itu seolah bercerita. Setidak-tidaknya dalam melukiskan para "urbanis" masih terasa sentuhan harapan dalam kehidupan yang kelam: di antara para' urbanisyang duduk bersolek siap menjajakan diri, seorang anak sedang berpegang pada kaki ibunya untuk meraih boneka. Satu lagi sebagian besar lukisan Hendra selalu menampilkan figur wanita -- dan konon ia memang suka dirubung wanita. Dalam Nelayan, nelayan itu dikelilingi dan dikagumi wanita. Juga dalam Becak para wanita itu rasanya sangat simpati kepada si abang. Dua Ka'abah Affandi menarik dengan dua lukisan Ka'abahnya. Satu berwarna merah, hitam, biru dan putih, menunjukkan suasana panas menyengat dan hiruk. Satunya dikuasai warna putih. Terasa tenang. Dilihat soal kesenilukisannya sendiri, terasa goresan dan pelototan cat dalam kedua Ka'bah itu lebih hidup dari yang lain-lain. Mungkin Ka'abah merupakan obyek baru yang menggugah semangat Affandi. Tapi memang benar jika timbul pertanyaan: kotak hitam itu, memang itukah Ka'abah? Wahdi, murid Abdullah (ayah Basuki Abdullah), masih setia kepada gurunya -- paling tidak dalam soal tema. Ia memotret alam tanpa membebaninya dengan pretensi. Dibiarkannya alam tetap liar, subur, sunyi, tenteram, tanpa manusia atau makhluk lain. Teknis mungkin Wahdi bisa dikatakan kurang cermat, atau memang tergesa. Daun-daun, tanah, tidak dibuat sehalus kalau ia membikin air --sebagian besarnya masih terasa sebagai cat. Adapun Sudarso memang telah memilih wanita desa yang cantik sebagai pokok lukisan. Dan pokok lukisan itu diberi latar belakang sedemikian rupa hingga terasa janggal. Seorang wanita duduk di dipan bambu, dengan latar belakang pemandangan pasir macam di tepi pantai yang sunyi. Tangan maupun kaki wanita licin bagai lilin, sementara pose duduknya kaku bukan main. Yang Jelas, andai saja ia mampu menggoyangkan kanvasnya hingga latar belakang itu memberi gambaran mimpi -- sebutlah surealistis -- tentu hasilnya tidak se"aneh" karya-karyanya sekarang. Tetapi Barli terasa yang paling lemah dari kelompok lima ini--meski dialah pencipta harimau lambang Divisi Siliwangi tahun 1946. Ia memang pernah sukses membuat ilustrasi ketika masih muda. Tapi rupanya suksesnya justru menjadi halangan. Lukisannya kira-kira bisa disebut ilustrasi: kurang mampu berdiri sendiri sebagai subyek. Juga sapuan kwasnya yang garang, plus warnanya yang berani (merah, biru, hitam, coklat) tak begitu tampil sebagai cerminan emosi -- seperti dicapkan saja. Obyek tak berhasil memberi sesuatu kepada kita, kecuali kemudian kita tahu bahwa itu wanita, kerbau, kapal dan seterusnya. Kelima orang yang mulai melukis bersama tahun 1935 di Bandung ini, memang kurang disebut sebagai kelompok pelopor kehidupan seni lukis modern. Tidak sebagaimana PERSAGI (Persawan Ahli-ahli Gambar Indonesia) di Jakarta yang memang berupa satu gerakan. Tetapi sebagai perotangan, nama mereka -- terutama Affandi dan Hendra -- kuat tercetak dalam sejarah seni lukis kita. Menurut Hendra sendiri, baik PERSAGI ataupun kelompok lima "sama-sama digerakkan oleh kesadaran nasional." Itu, katanya, yang mendorong lahirnya seni lukis modern Indonesia, yang memberi kebanggaan bagi orang Indonesia yang hendak menjadi pelukis. Soalnya wakw itu Belanda memang kurang ajar. Kalau memberi pelajaran melukis, ini cerita Hendra juga, kalau menggambar inlander harus seperti monyet. Inlander itu olohok, goblok. Nah, apa kemudian tak menggugah mereka yang punya harga diri? Maka lahirlah pelukis-pelukis Indonesia. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus