MELALUI TEMPO yang tersedia di Memorial Library University of
Wisconsin-Madison, sedikit-sedikit saya mengikuti keadaan tanah
air. Yang sangat menggugah ialah rencana mencari suatu sistim
pendidikan yang sedang dilaksanakan Menteri Daoed Joesoef.
Sekarang panitia sudah ada, dan pada merekalah kita terutama
generasi muda melimpahkan harapan.
Generasi muda sedang diliputi frustrasi, disebabkan terutama
oleh prospek hidup yang tidak menentu -- karena rasanya masih
tetap dalam ketergantungan. Dari kehidupan ekonomi negara sampai
keadaan seorang individu murid dalam kelas, masih jelas
bentuk-bentuk ketergantungan. Teori ketergantungan ekonomi Johan
Galtung terang menyatakan negara berkembang sebagai negara
peripheral dan negara industri maju sebagai negara metropol, dan
kekekalan negara peripheral tergantung pada negara metropol.
Bagi Indonesia tidakkah lebih 10 milyar dolar AS utang negara
cukup menjadi bukti?
Belum lagi pertumbuhan penduduk, pembangunan pertanian yang oleh
survei ADB -- seperti diuraikan Far Eastern Economic Review --
dianggap dalam arah yang salah, urbanisasi, jurang sosial antara
anak kota dan desa, antara miskin dan kaya, menunjukkan suatu
krisis sikap karena kehidupan mental yang masih dalam
ketergantungan dan penjajahan. Apakah ini akibat sistim
pendidikan kita di masa lampau? Seperti kata ahli sosiologi
Perancis Pierre Bourdieu, sistim pendidikan itu melahirkan
sistim fikiran.
Inferioritas yang mencekam kebanyakan generasi muda ialah karena
kita ketinggalan di bidang teknologi, seperti halnya
inferioritas pelajar Sos-Bud karena ilmunya "tidak berorientasi
pada teknologi modern". Konsekwensinya bangsa yang paling tinggi
teknologinya menjadi tuan. Begitu cepat kita lari mengejar hasil
tuan itu, begitu cepat pula dia lari mencapai yang lebih tinggi.
Dalam mencari suatu sistim pendidikan, kita bertanya kembali:
mengapa kita harus mengejar di belakang mereka? Apa sebenarnya
yang kita kejar? Perlukah? Tidakkah kita bisa mencari yang lain?
Yang dikejar Kapitalis atau Komunis tidak sama seperti yang
harus kita capai. Di sinilah letak pentingnya faktor manusia,
dan pendidikanlah yang menentukan faktor ini.
Karena tujuan kapitalis mencari laba pendidikannya berorientasi
pada menciptakan kultur konsumen. Masyarakat setiap saat
disuguhkan berbagai barang komoditi yang terbagus, termodern,
termewah, kualitas tertinggi dan model terakhir. Kultur ini
sudah merembes ke seluruh pelosok dunia melalui modernisasi
(westernisasi?). Yang jelas, kultur konsumen bagi negara miskin
yang tidak dapat mengelak cengkeraman pasaran internasional
menjadi tantanan pembangunan. Untuk pembangunan kita memerlukan
simpanan, tapi dengan GNP per kapita yang $ 280.00 mustahil kita
bisa menyimpan bila kultur konsumen telah menutup mata dan hati.
Keperluan menyimpan mengharuskan kita menerima pola hidup
sederhana.
Sekolah pembangunan, yang diciptakan beberapa tahun lalu,
terlalu mahal dan terbatas karena diperlukan fasilitas yang
lengkap. Dengan GNP per kapita yang rendah sekolah ini tidak
bisa berkembang, karena pengembangannya untuk setiap lapisan
masyarakat yang lebih 130 juta itu akan menelan sebagian besar
pendapatan negara. Bayangkan kalau misalnya kita mau meniru
sistim pendidikan di AS. Di tahun 60-an saja biaya sekolah
seorang murid SD per tahun sudah melampaui jumlah GNP per kapita
kita. Kesimpulannya, sistim pendidikan kita belum dapat
diandalkan pada modal materiil.
Mengingat ini, kita berharap agar panitia bisa mencari suatu
sistim yang bisa melawan kultur konsumen. Yang membebaskan murid
dari penjajahan materi. Membebaskan sekolah dari dijadikan media
promosi kultur asing. Mengembalikan keyakinan generasi muda
bahwa kebaikan ilmu bukan terletak pada keuntungan materi yang
diperoleh dari ilmu itu untuk diri sendiri. Meyakinkan kembali
bahwa pengorbanan para pahlawan bukan untuk kepentingan pribadi
dan keluarga mereka. Mengajar kembali anak-anak Indonesia supaya
jangan seperti pungguk yang rindukan bulan, jangan besar pasak
dari tiang. Mengajar mereka supaya sanggup menciptakan sendiri
tiang yang lubangnya cukup untuk pasak. Atau menciptakan bulan
di bumi, atau menciptakan Apollo dulu. Jangan numpang di Apollo
orang atau memasukkan pasak ke tiang orang.
Semenjak kita merdeka kita sudah melihat, yang oleh Daniel
Lerner disebut sebagai generasi yang penuh harapan. Tapi karena
banyak harapan yang kandas timbullan generasi yang penuh
frustrasi (generation of rising frustration). Generasi inilah di
seluruh dunia pada tahun 60-an dan 70-an turun mengadakan protes
di jalan-jalan. Mereka telah sempat belajar dan tahu segala
kontradiksi dari sistim yang ada. Mereka perlu ditolong, bukan
ditekan, karena tekanan akan menambah frustrasi. Di mana saja
orang memikirkan sistim pendidikan, masalah ini tetap menjadi
pertimbangan utama di bagian kedua abad duapuluh ini. Menurut
riset-riset psikologi, ternyata kaum radikal yang suka protes
itu sebenarnya punya pertumbuhan moral yang lebih tinggi.
Mengenyampingkan moral ini adalah mengenyampingkan suatu unsur
termulia dalam kehidupan manusia.
Inilah harapan yang ingin disampaikan -- sebagai guru yang tiap
hari berdiri di muka kelas menghadapi wajah-wajah yang resah dan
menanti dengan tabah.
SAFWAN IDRIS
(Staf IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Graduate Student
University of Wisconsin-Madison) 116 N. Orchard St, Madison WI
53715, USA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini