Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sistem Pendidikan: Melawan Kultur...

Arah pendidikan untuk Indonesia hendaknya dicarikan suatu sistem yang melawan kultur asing & arahkan mereka untuk berdiri sendiri. (kom)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELALUI TEMPO yang tersedia di Memorial Library University of Wisconsin-Madison, sedikit-sedikit saya mengikuti keadaan tanah air. Yang sangat menggugah ialah rencana mencari suatu sistim pendidikan yang sedang dilaksanakan Menteri Daoed Joesoef. Sekarang panitia sudah ada, dan pada merekalah kita terutama generasi muda melimpahkan harapan. Generasi muda sedang diliputi frustrasi, disebabkan terutama oleh prospek hidup yang tidak menentu -- karena rasanya masih tetap dalam ketergantungan. Dari kehidupan ekonomi negara sampai keadaan seorang individu murid dalam kelas, masih jelas bentuk-bentuk ketergantungan. Teori ketergantungan ekonomi Johan Galtung terang menyatakan negara berkembang sebagai negara peripheral dan negara industri maju sebagai negara metropol, dan kekekalan negara peripheral tergantung pada negara metropol. Bagi Indonesia tidakkah lebih 10 milyar dolar AS utang negara cukup menjadi bukti? Belum lagi pertumbuhan penduduk, pembangunan pertanian yang oleh survei ADB -- seperti diuraikan Far Eastern Economic Review -- dianggap dalam arah yang salah, urbanisasi, jurang sosial antara anak kota dan desa, antara miskin dan kaya, menunjukkan suatu krisis sikap karena kehidupan mental yang masih dalam ketergantungan dan penjajahan. Apakah ini akibat sistim pendidikan kita di masa lampau? Seperti kata ahli sosiologi Perancis Pierre Bourdieu, sistim pendidikan itu melahirkan sistim fikiran. Inferioritas yang mencekam kebanyakan generasi muda ialah karena kita ketinggalan di bidang teknologi, seperti halnya inferioritas pelajar Sos-Bud karena ilmunya "tidak berorientasi pada teknologi modern". Konsekwensinya bangsa yang paling tinggi teknologinya menjadi tuan. Begitu cepat kita lari mengejar hasil tuan itu, begitu cepat pula dia lari mencapai yang lebih tinggi. Dalam mencari suatu sistim pendidikan, kita bertanya kembali: mengapa kita harus mengejar di belakang mereka? Apa sebenarnya yang kita kejar? Perlukah? Tidakkah kita bisa mencari yang lain? Yang dikejar Kapitalis atau Komunis tidak sama seperti yang harus kita capai. Di sinilah letak pentingnya faktor manusia, dan pendidikanlah yang menentukan faktor ini. Karena tujuan kapitalis mencari laba pendidikannya berorientasi pada menciptakan kultur konsumen. Masyarakat setiap saat disuguhkan berbagai barang komoditi yang terbagus, termodern, termewah, kualitas tertinggi dan model terakhir. Kultur ini sudah merembes ke seluruh pelosok dunia melalui modernisasi (westernisasi?). Yang jelas, kultur konsumen bagi negara miskin yang tidak dapat mengelak cengkeraman pasaran internasional menjadi tantanan pembangunan. Untuk pembangunan kita memerlukan simpanan, tapi dengan GNP per kapita yang $ 280.00 mustahil kita bisa menyimpan bila kultur konsumen telah menutup mata dan hati. Keperluan menyimpan mengharuskan kita menerima pola hidup sederhana. Sekolah pembangunan, yang diciptakan beberapa tahun lalu, terlalu mahal dan terbatas karena diperlukan fasilitas yang lengkap. Dengan GNP per kapita yang rendah sekolah ini tidak bisa berkembang, karena pengembangannya untuk setiap lapisan masyarakat yang lebih 130 juta itu akan menelan sebagian besar pendapatan negara. Bayangkan kalau misalnya kita mau meniru sistim pendidikan di AS. Di tahun 60-an saja biaya sekolah seorang murid SD per tahun sudah melampaui jumlah GNP per kapita kita. Kesimpulannya, sistim pendidikan kita belum dapat diandalkan pada modal materiil. Mengingat ini, kita berharap agar panitia bisa mencari suatu sistim yang bisa melawan kultur konsumen. Yang membebaskan murid dari penjajahan materi. Membebaskan sekolah dari dijadikan media promosi kultur asing. Mengembalikan keyakinan generasi muda bahwa kebaikan ilmu bukan terletak pada keuntungan materi yang diperoleh dari ilmu itu untuk diri sendiri. Meyakinkan kembali bahwa pengorbanan para pahlawan bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarga mereka. Mengajar kembali anak-anak Indonesia supaya jangan seperti pungguk yang rindukan bulan, jangan besar pasak dari tiang. Mengajar mereka supaya sanggup menciptakan sendiri tiang yang lubangnya cukup untuk pasak. Atau menciptakan bulan di bumi, atau menciptakan Apollo dulu. Jangan numpang di Apollo orang atau memasukkan pasak ke tiang orang. Semenjak kita merdeka kita sudah melihat, yang oleh Daniel Lerner disebut sebagai generasi yang penuh harapan. Tapi karena banyak harapan yang kandas timbullan generasi yang penuh frustrasi (generation of rising frustration). Generasi inilah di seluruh dunia pada tahun 60-an dan 70-an turun mengadakan protes di jalan-jalan. Mereka telah sempat belajar dan tahu segala kontradiksi dari sistim yang ada. Mereka perlu ditolong, bukan ditekan, karena tekanan akan menambah frustrasi. Di mana saja orang memikirkan sistim pendidikan, masalah ini tetap menjadi pertimbangan utama di bagian kedua abad duapuluh ini. Menurut riset-riset psikologi, ternyata kaum radikal yang suka protes itu sebenarnya punya pertumbuhan moral yang lebih tinggi. Mengenyampingkan moral ini adalah mengenyampingkan suatu unsur termulia dalam kehidupan manusia. Inilah harapan yang ingin disampaikan -- sebagai guru yang tiap hari berdiri di muka kelas menghadapi wajah-wajah yang resah dan menanti dengan tabah. SAFWAN IDRIS (Staf IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Graduate Student University of Wisconsin-Madison) 116 N. Orchard St, Madison WI 53715, USA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus