Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cuma seorang seniman

13 thn mendekam di penjara, hendra gunawan menghidupi istri & anak-anaknya hanya dengan melukis. dalam seminggu dapat menyelesaikan 4 lukisan, salah satu dengan tema lebaran di tahanan adalah pesan ali moertopo. (sr)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI bekas orang LEKRA, Hendra Gunawan (lahir 1918) baru bebas 15 Mei 1978 dari tahanan di Bandung. Sekitar 13 tahun ia mendekam. Apa kerjanya? Paling sedikit empat lukisan diselesaikannya dalam seminggu, begitu ceritanya. Sebagian dibuatnya berdasar ingatannya yang dulu sebagian lagi melukiskan suasana tahanan. Malah pernah mendapat pesanan dengan tema Lebaran di Tahanan dari Ali Moertopo. Karena itu ia bisa menghidupi keluarganya di luar: seorang isteri dan tiga anak -- bahkan sejak 1972 tanggungan Hendra bertambah: ada isteri baru dan seorang anak. Isteri barunya dikenalnya dalam tahanan juga, dan mengikuti kursus melukis yang diadakan Hendra (di sana sempat diadakan kursus melukis sampai enam angkatan). Dua hal yang menyolok dalam lukisan Hendra ialah bentuk figur dan komposisi yang menggambarkan gerak, dan warna yang bebas merangsang. Itu ada ceritanya. Hendra yang suka turba (turun ke bawah, ini istilah dulu) ke pasar atau jalan-jalan, tentu saja mendapat kenyataan bahwa orang di pasar atau di jalan selalu bergerak. Kemudian ia sangat senang wayang kulit, yang lalu mempengaruhi bentuk figur dalam lukisannya terutama profil wajah dan ornamen kaki. Lalu ia tertarik sebuah kelenteng Samkok di Bandung. Dari kelenteng itu ia belajar "garis-garis yang hidup" dan warna-warna meriah. "Garis dalam lukisan klasik Tiongkok sangat hidup," katanya, mengenang masa pembentuknya sebagai pelukis 1936 dulu. Tahun 1946, di Yogya, suatu hari Affandi melihat-lihat karyanya. Sebuah lukisan dikatakan Affandi: warnanya seperti "kebun kembang." Justru karena "kritik" itulah ia lalu mempertahankan "kebun kembang"nya, karena ingin lain dari yang disenangi Affandi. Sebagai orang LEKRA ternyata Hendra banyak ditentang kawan-kawannya sekubu. Kata mereka, lukisan Hendra tidak mencerminkan "realisme sosial". Hendra sendiri menganggap "realisme sosial" adalah masalah memihak, bukan masalah seni. Ia menilai karya LEKRA waktu itu sebagian besar sebagai poster dan bukan lukisan. Sebenarnya ia heran, kenapa kawan-kawannya dulu tidak melihat faktor kerakyatan dalam lukisan Hendra. "Lukisan kaki selalu saya buat berjari renggang-renggang. Kaki rakyat kan berjari renggang. Nggak pernah pakai sepatu," katanya di TIM. Tapi kenapa harga lukisannya sampai jutaan (pameran ini ia pasang harga dari RP 400 ribu sampai Rp 6 juta), kalau ia memang kerakyatan? Jawab: kalau dulu ia pernah memberi gratis lukisan kepada orang yang menyenangi lukisannya tapi tak mampu beli, lalu selama 40 tahun melukis ia telah memberi kursus kepada sekian banyak orang dengan gratis, "berapa harga itu semua kalau dinilai dengan uang? Jadi saya merasa berhak memberi harga itu. Tidak mahal," begitu pembelaannya. Lagi pula kalau ia harus melukis kecil-kecil, yang murah sehingga seluruh rakyat bisa beli, "itu tidak rasionil. Tangan saya nggak bisa melukis sedemikian banyak." Apa dia menyesal sampai ditahan? Ternyata tidak. "Kenapa saya tidak marah, tidak dendam? Karena saya lalu mendapatkan bahwa saya ini ternyata cuma seorang seniman saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus