SEBAGAI bekas orang LEKRA, Hendra Gunawan (lahir 1918) baru
bebas 15 Mei 1978 dari tahanan di Bandung. Sekitar 13 tahun ia
mendekam. Apa kerjanya?
Paling sedikit empat lukisan diselesaikannya dalam seminggu,
begitu ceritanya. Sebagian dibuatnya berdasar ingatannya yang
dulu sebagian lagi melukiskan suasana tahanan. Malah pernah
mendapat pesanan dengan tema Lebaran di Tahanan dari Ali
Moertopo. Karena itu ia bisa menghidupi keluarganya di luar:
seorang isteri dan tiga anak -- bahkan sejak 1972 tanggungan
Hendra bertambah: ada isteri baru dan seorang anak. Isteri
barunya dikenalnya dalam tahanan juga, dan mengikuti kursus
melukis yang diadakan Hendra (di sana sempat diadakan kursus
melukis sampai enam angkatan).
Dua hal yang menyolok dalam lukisan Hendra ialah bentuk figur
dan komposisi yang menggambarkan gerak, dan warna yang bebas
merangsang. Itu ada ceritanya.
Hendra yang suka turba (turun ke bawah, ini istilah dulu) ke
pasar atau jalan-jalan, tentu saja mendapat kenyataan bahwa
orang di pasar atau di jalan selalu bergerak. Kemudian ia sangat
senang wayang kulit, yang lalu mempengaruhi bentuk figur dalam
lukisannya terutama profil wajah dan ornamen kaki. Lalu ia
tertarik sebuah kelenteng Samkok di Bandung. Dari kelenteng itu
ia belajar "garis-garis yang hidup" dan warna-warna meriah.
"Garis dalam lukisan klasik Tiongkok sangat hidup," katanya,
mengenang masa pembentuknya sebagai pelukis 1936 dulu.
Tahun 1946, di Yogya, suatu hari Affandi melihat-lihat karyanya.
Sebuah lukisan dikatakan Affandi: warnanya seperti "kebun
kembang." Justru karena "kritik" itulah ia lalu mempertahankan
"kebun kembang"nya, karena ingin lain dari yang disenangi
Affandi.
Sebagai orang LEKRA ternyata Hendra banyak ditentang
kawan-kawannya sekubu. Kata mereka, lukisan Hendra tidak
mencerminkan "realisme sosial". Hendra sendiri menganggap
"realisme sosial" adalah masalah memihak, bukan masalah seni. Ia
menilai karya LEKRA waktu itu sebagian besar sebagai poster dan
bukan lukisan. Sebenarnya ia heran, kenapa kawan-kawannya dulu
tidak melihat faktor kerakyatan dalam lukisan Hendra. "Lukisan
kaki selalu saya buat berjari renggang-renggang. Kaki rakyat kan
berjari renggang. Nggak pernah pakai sepatu," katanya di TIM.
Tapi kenapa harga lukisannya sampai jutaan (pameran ini ia
pasang harga dari RP 400 ribu sampai Rp 6 juta), kalau ia memang
kerakyatan? Jawab: kalau dulu ia pernah memberi gratis lukisan
kepada orang yang menyenangi lukisannya tapi tak mampu beli,
lalu selama 40 tahun melukis ia telah memberi kursus kepada
sekian banyak orang dengan gratis, "berapa harga itu semua kalau
dinilai dengan uang? Jadi saya merasa berhak memberi harga itu.
Tidak mahal," begitu pembelaannya. Lagi pula kalau ia harus
melukis kecil-kecil, yang murah sehingga seluruh rakyat bisa
beli, "itu tidak rasionil. Tangan saya nggak bisa melukis
sedemikian banyak."
Apa dia menyesal sampai ditahan? Ternyata tidak. "Kenapa saya
tidak marah, tidak dendam? Karena saya lalu mendapatkan bahwa
saya ini ternyata cuma seorang seniman saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini