Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kemenangan yang paling besar

Pekan film jepang di tim menampilkan 8 film yang dibuat sejak 1943-1977. samurai sebagai tokoh kesatria yang anti wanita. teknik kamera digemari sutradara jepang. berhasil melukiskan watak & sikap mereka.(fl)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFORMASI tentang film Jepang - lebih lengkap lagi dengan adanya pekan film negeri itu, yang diselenggarakan oleh Kine Klub Jakarta 12 s/d 19 Maret di Taman Ismail Marzuki. Delapan film cerita, dibuat sejak 1943 (Penarik Rksha) sarnpai 1977 (Saputangan Kuning) dirangkai sehingga hampir terasa seperti sebuah sejarah singkat layar perak negeri timur itu. Seperti isi ceramah kritikus film Tadao Sato (48 tahun) untuk pekan film Jepang sebelumnya, film Jepang memang merupakan potret jiwa orang sana. Sebagaimana juga kesusastraannya, ia tidak hanya sekedar hiburan atau usaha memanipular kemampuan teknis. Ia bertolak dari pandangan hidup yang jelas mengekspresikan sikap dengan idiom-idiom yang khas -- seperti yang mengalir dalam teater tradisionil mereka. I Love You Tadao Sato bicara tentang figur 'samurai' misalnya, yang pernah dikunyahkunyah film Jepang untuk menampung kerinduan mereka pada sikap gagah-khususnya menghadapi pengaruh Barat. Kisah yang digali dari zaman feodal abad ke 16 sampai ke-19 itu merupakan separuh dari seluruh kegiatan film yang produksi pertamanya bertahun 1899 itu. Tokoh sarnurai memang unik. Mereka, misalnya, tidak boleh bersikap ramah terhadap wanita. Karena kematian yang dicadangkan untuk mereka -- dalam perang -- adalah kematian demi majikan, mereka tidak boleh lebih cinta kepada isteri, anak atau keluarga. Film jenis tersebut lantas tidak punya dialog I love you. Ini sangat membingungkan, karena adegan yang laris di layar putih biasanya adegan peluk-cipok. Tetapi setelah 1910, akibat derasnya film I love you Barat, terjadilah perubahan sikap. Orang Jepang sendiri agaknya juga sudah mulai belajar mengungkapkan cinta dengan lebih verbal. Sudut pandangan bergeser karenanya. Tokoh samural tetap digarap sebagai api yang menghidupi jiwa insan Jepang, tapi sementara itu ia dikembalikan kepada sosok manusianya. Dalam Rashomon film pertama pada festival kali ini (dibuat oleh sutradara tersohor kira Kurosawa, 1950), samurai bahkan tampil sebagai pengecut. Cerita ini didasarkan pada karangan Ryunosuke Akutagawa, seorangpenulis modern terkemuka. Mengisahkan perjalanan seorang samurai bersama isterinya, yang di tengah jalan dibegal oleh seorang bajingan. Isterinya dikerjain, kemudian samurai itu sendiri terbunuh. Film dibangun dengan rekonstruksi kejadian lewat mulut orangorang yang tersangkut, yang hasilnya saling bertentangan. Bahkan roh samurai yang dipanggil untuk membuat pengakuan juga diragukan kebenaran kata-katanya. Film yang mengutarakan kenisbian segala sesuatu ini memenangkan Grand Prix 1951 dalam festival di Venice. Ia menjadi film klasik Jepang yang sangat tersohor, walaupun Kurosawa kemudian masih membuat film-film yang memang lebih bagus seperti Macbeth. Rashomon yang hitam putih, berukuran standar, dilihat sekarang jelas tidak sehebat yang terbayangkan. Tapi ia masih tetap merupakan tonggak dilihat dari cara pengutaraannya serta bau Jepangnya Adegan pemanggilan roh misalnya merupakan bagian yang indah. Di sini pula kita melihat aktor Toshiro Mifune pada masa remaja dengan semangat berlimpah-limpah. Dalam Saputangan Kuning, muncul semangat samurai dalam diri seorang tokoh masa kini. Film buatan 1977 ini disutradarai oleh Yoji Yamada atas skenarionya sendiri -- dan merebut beberapa hadiah sebagai film terbaik, pemain utama pria, pemain pembantu pria dan sutradara terbaik 1978 di Jepan. Ia mengisahkan bagaimana samurai masa kini (seorang lelaki yang baru keluar dari penjara) dengan sikap yang keras menemukan berbagai kesulitan karena tidak bisa atau tidak biasa mengungkapkan rasa cinta kepada isterinya. Dua anak muda yang mewakili masyarakat Jepang mutakhir memberinya dorongan. Akhirnya ia mengencerkan dirinya sedikit, dan mungkin sekali percaya bahwa orang yang kuat tidak harus orang yang kaku. Saputangan Kunng juga kombinasi beberapa situasi Jepang modern. Irama, tempo, suasana serta cara berekspresi sutradara tidak lagi secara fisik berkiblat ke teater tradisionil. Lebih wajar, lancar, tidak merupakan potret wadag. Warna lokal mulai mengabur dari gambar, para pelaku bermain seadanya. Toh kita tetap dapat melihat problematik khas manusia Jepang. Sebuah Sikap Dalam Dendam Remaja (18 Maret), yang dibuat oleh sutradara Katsumi Nishikawa 1977, kita juga melihat film yang dibuat untuk sebuah sikap. Diceritakan bagaimana seorang gadis remaja menjadi penuh dendam gara-gara pengacara menolak membela kakaknya yang kemudian dihukum mati. Secara kebetulan kemudian gadis tersebut menjadi saksi utama dalam sebuah pembunuhan -- di mana tersangkut kekasih pengacara. Namun ia menolak memberi kesaksian, mesti ia tahu kekasih pengacara itu tidak bersalah. Bahkan kemudian ia sempat memancing pengacara itu untuk melalap dirinya, untuk pada akhirnya ia laporkan sebagai perkosaan dan usaha memaksa orang menjadi saksi. Memang terasa sebagai melodrama -- dan rada ngepop dibanding film seperti Rashomon. Tapi akhirnya ia toh memberi hadiah tentang sikap nekad seorang gadis dengan latar belakang kebudayaan yang begitu -- di mana bunuh diri, misalnya, juga merupakan penyelesaian. Betapapun Kami Hidup (15 Maret) dibuat 1951 oleh sutradara Tadashi Imai, juga sebuah drama dengan ujung sebuah sikap spesifik. Satu keluarga buruh harian yang tergusur dari rumahnya, mengalami tekanan ekonomi sehingga hampir berantakan. Di puncak penderitaan, kepala keluarga berusaha menyenangkan kedua anak dan isterinya -- karena ia sudah memutuskan mengakhiri semua itu dengan bunuh diri. Saat-saat terakhir menjadi sangat puitis -- karena kematian tidak dianggap pelarian, tetapi sikap. Namun, yang menarik, film ini justru menggoda keinginan mengakhiri hidup tersebut. Sesudah keputusan diambil, misalnya, terlihat salah seorang anak hampir tenggelam. Sang tokoh tiba-tiba tersadar -- seperti merasakan betapa sulitnya hidup dan betapa sebenarnya ia mencintai hidupnya sendiri dan anggota keluarganya. Di akhir cerita ia tampak kembali antri mencari pekerjaan di tengah ribuan orang di depan loket yang membagikan kartu kerja. Film ukuran standar hitam putih ini juga telah menyusun gambar-gambar yang artistik. Mengangkat potret sosial, pemandangan Jepang sehabis perang yang serba miskin. Tak heran kalau ia sempat merebut hadiah kelima tahun 1951 di Jepang. Bahwa kemampuan teknis sudah sejak lama mendukung produksi film Jepang, dijelaskan oleh film Penarik Rikisha. Rikisha adalah semacam becak yang ditarik sambil berlari. Film ini disutradarai oleh Hiroshi Inaki -- yang kemudian membuat Penarik Rikisha yang kedua yang memenangkan Grand Prix 1978 di Venice. Ia secara ambisius ingin menggambarkan ketulusan seorang penarik rikisha bernama Matsu. Ia menolong seorang janda membesarkan anaknya yang lemah. Ia ikut mendidik anak itu untuk menjadi pria yang kuat. Dibumbui adegan-adegan komis yang mengingatkan akting Chaplin (tokoh yang juga amat digemari di Jepang), film ini juga mencoba berbicara dengan gamban gambar puitis. Banyak suasana dilukiskan dengan close up roda rikisha. Sedang di bagian akhir film menjadi sedikit abstrak karena suasana kematian dan perjalanan terakhir Matsu diekspresikan dengan gambar -- dengan mengandalkan kemampuan teknis kamera, hal yang belakangan ini amat digemari para sutradara muda Jepang. Kemenangan Besar Tetapi film yang paling berusaha merekam kehidupan tradisionil negeri itu dalam pekan ini adalah Seribu Bangau atau Sembazuru -- dibuat oleh sutradara Yasuzo Masumura, atas karya pemenang hadiah Nobel Yasunari Kawabata. Meski bagi orang yang membaca novel Kawabata film ini terasa lebih mengeksploitir hal-hal erotis, inilah film yang menampilkan orang Jepang lewat upacara minum teh yang tersohor -- dan mungkin memang hanya bisa betul-betul dinikmati oleh mereka yang sedikit faham dunia upacara tradisionil itu. Di sana dikisahkan cinta seorang anak kepada bekas kekasih bapaknya. Di sana kita juga melihat lambang wanita, yang lamat-lamat muncul dari renungan Kawabata yang tersohor amat halus. Bagaimana naluri wanita Jepang, yang dibayangkan atau diharapkan oleh lelaki Jepang, membersit lewat tokoh sentral wanita dalam film ini -- yang entah kenapa lebih terasa sebagai seorang pelacur. Film ini juga menunjukkan bagaimana kesusastraan merupakan faktor pendukung yang diperhitungkan. Akhirnya harus disebut juga Buku Harian Sekolah Cabang, yang dibuat oleh sutradara Isao Kumagi, 1950. Film yang menyenangkan ini menceritakan dua suami-isteri yang menjadi guru dengan tenteram di sebuah dusun terpencil -- ketika tiba-tiba sekolah cabang itu harus digusur untuk digabungkan dengan sekolah di kota. Film Jepang, sebagaimana juga barang-barang Jepang, telah berhasil menggoda penonton untuk berusaha secara tidak langsung mempelajari latar belakang Jepang. Inilah kemenangan yang paling besar sebenarnya. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus