INFORMASI tentang film Jepang - lebih lengkap lagi dengan adanya
pekan film negeri itu, yang diselenggarakan oleh Kine Klub
Jakarta 12 s/d 19 Maret di Taman Ismail Marzuki. Delapan film
cerita, dibuat sejak 1943 (Penarik Rksha) sarnpai 1977
(Saputangan Kuning) dirangkai sehingga hampir terasa seperti
sebuah sejarah singkat layar perak negeri timur itu.
Seperti isi ceramah kritikus film Tadao Sato (48 tahun) untuk
pekan film Jepang sebelumnya, film Jepang memang merupakan
potret jiwa orang sana. Sebagaimana juga kesusastraannya, ia
tidak hanya sekedar hiburan atau usaha memanipular kemampuan
teknis. Ia bertolak dari pandangan hidup yang jelas
mengekspresikan sikap dengan idiom-idiom yang khas -- seperti
yang mengalir dalam teater tradisionil mereka.
I Love You
Tadao Sato bicara tentang figur 'samurai' misalnya, yang pernah
dikunyahkunyah film Jepang untuk menampung kerinduan mereka pada
sikap gagah-khususnya menghadapi pengaruh Barat. Kisah yang
digali dari zaman feodal abad ke 16 sampai ke-19 itu merupakan
separuh dari seluruh kegiatan film yang produksi pertamanya
bertahun 1899 itu.
Tokoh sarnurai memang unik. Mereka, misalnya, tidak boleh
bersikap ramah terhadap wanita. Karena kematian yang dicadangkan
untuk mereka -- dalam perang -- adalah kematian demi majikan,
mereka tidak boleh lebih cinta kepada isteri, anak atau
keluarga. Film jenis tersebut lantas tidak punya dialog I love
you. Ini sangat membingungkan, karena adegan yang laris di layar
putih biasanya adegan peluk-cipok. Tetapi setelah 1910, akibat
derasnya film I love you Barat, terjadilah perubahan sikap.
Orang Jepang sendiri agaknya juga sudah mulai belajar
mengungkapkan cinta dengan lebih verbal. Sudut pandangan
bergeser karenanya. Tokoh samural tetap digarap sebagai api yang
menghidupi jiwa insan Jepang, tapi sementara itu ia
dikembalikan kepada sosok manusianya.
Dalam Rashomon film pertama pada festival kali ini (dibuat oleh
sutradara tersohor kira Kurosawa, 1950), samurai bahkan tampil
sebagai pengecut. Cerita ini didasarkan pada karangan Ryunosuke
Akutagawa, seorangpenulis modern terkemuka. Mengisahkan
perjalanan seorang samurai bersama isterinya, yang di tengah
jalan dibegal oleh seorang bajingan. Isterinya dikerjain,
kemudian samurai itu sendiri terbunuh. Film dibangun dengan
rekonstruksi kejadian lewat mulut orangorang yang tersangkut,
yang hasilnya saling bertentangan. Bahkan roh samurai yang
dipanggil untuk membuat pengakuan juga diragukan kebenaran
kata-katanya.
Film yang mengutarakan kenisbian segala sesuatu ini memenangkan
Grand Prix 1951 dalam festival di Venice. Ia menjadi film klasik
Jepang yang sangat tersohor, walaupun Kurosawa kemudian masih
membuat film-film yang memang lebih bagus seperti Macbeth.
Rashomon yang hitam putih, berukuran standar, dilihat sekarang
jelas tidak sehebat yang terbayangkan. Tapi ia masih tetap
merupakan tonggak dilihat dari cara pengutaraannya serta bau
Jepangnya Adegan pemanggilan roh misalnya merupakan bagian yang
indah. Di sini pula kita melihat aktor Toshiro Mifune pada masa
remaja dengan semangat berlimpah-limpah.
Dalam Saputangan Kuning, muncul semangat samurai dalam diri
seorang tokoh masa kini. Film buatan 1977 ini disutradarai oleh
Yoji Yamada atas skenarionya sendiri -- dan merebut beberapa
hadiah sebagai film terbaik, pemain utama pria, pemain pembantu
pria dan sutradara terbaik 1978 di Jepan. Ia mengisahkan
bagaimana samurai masa kini (seorang lelaki yang baru keluar
dari penjara) dengan sikap yang keras menemukan berbagai
kesulitan karena tidak bisa atau tidak biasa mengungkapkan rasa
cinta kepada isterinya. Dua anak muda yang mewakili masyarakat
Jepang mutakhir memberinya dorongan. Akhirnya ia mengencerkan
dirinya sedikit, dan mungkin sekali percaya bahwa orang yang
kuat tidak harus orang yang kaku.
Saputangan Kunng juga kombinasi beberapa situasi Jepang modern.
Irama, tempo, suasana serta cara berekspresi sutradara tidak
lagi secara fisik berkiblat ke teater tradisionil. Lebih wajar,
lancar, tidak merupakan potret wadag. Warna lokal mulai mengabur
dari gambar, para pelaku bermain seadanya. Toh kita tetap dapat
melihat problematik khas manusia Jepang.
Sebuah Sikap
Dalam Dendam Remaja (18 Maret), yang dibuat oleh sutradara
Katsumi Nishikawa 1977, kita juga melihat film yang dibuat untuk
sebuah sikap. Diceritakan bagaimana seorang gadis remaja menjadi
penuh dendam gara-gara pengacara menolak membela kakaknya yang
kemudian dihukum mati. Secara kebetulan kemudian gadis tersebut
menjadi saksi utama dalam sebuah pembunuhan -- di mana
tersangkut kekasih pengacara. Namun ia menolak memberi
kesaksian, mesti ia tahu kekasih pengacara itu tidak bersalah.
Bahkan kemudian ia sempat memancing pengacara itu untuk melalap
dirinya, untuk pada akhirnya ia laporkan sebagai perkosaan dan
usaha memaksa orang menjadi saksi.
Memang terasa sebagai melodrama -- dan rada ngepop dibanding
film seperti Rashomon. Tapi akhirnya ia toh memberi hadiah
tentang sikap nekad seorang gadis dengan latar belakang
kebudayaan yang begitu -- di mana bunuh diri, misalnya, juga
merupakan penyelesaian.
Betapapun Kami Hidup (15 Maret) dibuat 1951 oleh sutradara
Tadashi Imai, juga sebuah drama dengan ujung sebuah sikap
spesifik. Satu keluarga buruh harian yang tergusur dari
rumahnya, mengalami tekanan ekonomi sehingga hampir berantakan.
Di puncak penderitaan, kepala keluarga berusaha menyenangkan
kedua anak dan isterinya -- karena ia sudah memutuskan
mengakhiri semua itu dengan bunuh diri.
Saat-saat terakhir menjadi sangat puitis -- karena kematian
tidak dianggap pelarian, tetapi sikap. Namun, yang menarik, film
ini justru menggoda keinginan mengakhiri hidup tersebut. Sesudah
keputusan diambil, misalnya, terlihat salah seorang anak hampir
tenggelam. Sang tokoh tiba-tiba tersadar -- seperti merasakan
betapa sulitnya hidup dan betapa sebenarnya ia mencintai
hidupnya sendiri dan anggota keluarganya. Di akhir cerita ia
tampak kembali antri mencari pekerjaan di tengah ribuan orang di
depan loket yang membagikan kartu kerja.
Film ukuran standar hitam putih ini juga telah menyusun
gambar-gambar yang artistik. Mengangkat potret sosial,
pemandangan Jepang sehabis perang yang serba miskin. Tak heran
kalau ia sempat merebut hadiah kelima tahun 1951 di Jepang.
Bahwa kemampuan teknis sudah sejak lama mendukung produksi film
Jepang, dijelaskan oleh film Penarik Rikisha. Rikisha adalah
semacam becak yang ditarik sambil berlari. Film ini disutradarai
oleh Hiroshi Inaki -- yang kemudian membuat Penarik Rikisha
yang kedua yang memenangkan Grand Prix 1978 di Venice.
Ia secara ambisius ingin menggambarkan ketulusan seorang penarik
rikisha bernama Matsu. Ia menolong seorang janda membesarkan
anaknya yang lemah. Ia ikut mendidik anak itu untuk menjadi pria
yang kuat. Dibumbui adegan-adegan komis yang mengingatkan akting
Chaplin (tokoh yang juga amat digemari di Jepang), film ini
juga mencoba berbicara dengan gamban gambar puitis. Banyak
suasana dilukiskan dengan close up roda rikisha. Sedang di
bagian akhir film menjadi sedikit abstrak karena suasana
kematian dan perjalanan terakhir Matsu diekspresikan dengan
gambar -- dengan mengandalkan kemampuan teknis kamera, hal yang
belakangan ini amat digemari para sutradara muda Jepang.
Kemenangan Besar
Tetapi film yang paling berusaha merekam kehidupan tradisionil
negeri itu dalam pekan ini adalah Seribu Bangau atau Sembazuru
-- dibuat oleh sutradara Yasuzo Masumura, atas karya pemenang
hadiah Nobel Yasunari Kawabata. Meski bagi orang yang membaca
novel Kawabata film ini terasa lebih mengeksploitir hal-hal
erotis, inilah film yang menampilkan orang Jepang lewat upacara
minum teh yang tersohor -- dan mungkin memang hanya bisa
betul-betul dinikmati oleh mereka yang sedikit faham dunia
upacara tradisionil itu.
Di sana dikisahkan cinta seorang anak kepada bekas kekasih
bapaknya. Di sana kita juga melihat lambang wanita, yang
lamat-lamat muncul dari renungan Kawabata yang tersohor amat
halus. Bagaimana naluri wanita Jepang, yang dibayangkan atau
diharapkan oleh lelaki Jepang, membersit lewat tokoh sentral
wanita dalam film ini -- yang entah kenapa lebih terasa sebagai
seorang pelacur. Film ini juga menunjukkan bagaimana
kesusastraan merupakan faktor pendukung yang diperhitungkan.
Akhirnya harus disebut juga Buku Harian Sekolah Cabang, yang
dibuat oleh sutradara Isao Kumagi, 1950. Film yang menyenangkan
ini menceritakan dua suami-isteri yang menjadi guru dengan
tenteram di sebuah dusun terpencil -- ketika tiba-tiba sekolah
cabang itu harus digusur untuk digabungkan dengan sekolah di
kota.
Film Jepang, sebagaimana juga barang-barang Jepang, telah
berhasil menggoda penonton untuk berusaha secara tidak langsung
mempelajari latar belakang Jepang. Inilah kemenangan yang paling
besar sebenarnya.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini