Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kera Diributkan

Beberapa negara menghentikan & membatasi ekspor primata (kera & monyet) ke AS, alasannya banyak yang digunakan untuk pengujian bom & eksperimen lain. Perdebatan antara IPPL dengan IPS belum selesai. (ling)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGLADESH, mengikuti jejak India, menghentikan ekspor primata (monyet dan kera) dari negerinya ke AS. Pasalnya adalah laporan IPPL (International Primate Protection League) tentang pemakaian 30 ekor monyet rhesus Bangladesh dalam pengujian bom neutron di laboratorium Riset Radiobiologi Angkatan Bersenjata AS. Malaysian World Wildlife Fund di Kuala Lumpur juga telah mendesak pemerintahnya agar membatasi ekspor monyet dari Malaysia. Sedang di Muangthai, pers dan kelompok pencinta alam semakin gencar menyoroti praktek penyelundupan satwa langka dari negeri itu. Bagaimana sikap Indonesia? Masalah ini sudah berbulan-bulan menjadi topik perdebatan antara IPPL dan IPS (International Primatological Society). Ketua IPPL Dr Shirley, Mc Greal telah memimpin demonstrasi 100 orang pencinta binatang yang menyerukan penghentian ekspor monyet Jawa ke AS (TEMPO, 16 Desember 1978). Sejak kejadian di AS itu diungkapkan oleh pers di Jakarta, sudah tiga ahli primatologi dari kubu IPS bertandang untuk berkampanye tentang manfaat ekspor primata Indonesia ke AS. Yakni Dr Orville A. Smith dan Dr Fred King yang mengadakan konperensi persnya di Jakarta, awal Januari. Kemudian Dr Peter S. Rodman dari Jurusan Antropologi Universitas California yang berceramah di depan guruguru ilmu hayat dan kelompok pencinta alam se-Jakarta di gedung Balai Kota DKI, pertengahan Maret. Ketiga tokoh IPS itu menjadi tamu Chuck Darsono, tokoh pengekspor monyet terkemuka di Jakarta. Tak bijaksana seandainya Indonesia menghentikan ekspor monyet ke AS, begitu dikemukakan Dr Rodman yang sudah 6 tahun lamanya meneliti perikehidupan primata di suaka margasatwa Kutai, Kalimantan Timur. Menurut Rodman, Mc Greal dkk tak melihat segi pentingnya monyet "untuk kepentingan medis." Kaum penentang ekspor monyet juga ada di Indonesia. Di antaranya, Ny. Birute Brindamore, ahli orang utan yang sudah 10 tahun lebih bermukim di pusat rehabilitasi orang utan Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, yang tahun lalu menggondol gelar Doktornya di AS. Menurut dia, penggunaan primata di Amerika memang sudah terlalu berlebih-lebihan. "Saya fikir Chuck Darsono salah kalau dia menganggap semua monyet itu mati terhormat, demi kemanusiaan di Amerika," kata Dr. Brindamore. Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam), organ Ditjen Kehutanan yang bertugas menjaga kelestarian hutan seisinya belum menunjukkan sikap mau melarang ekspor monyet. Indonesia kebetulan mempunyai populasi primata terbesar di Asia Tenggara, sedang jumlah ekspornya masih belum berarti. Ekspornya kata seorang pejabat PPA, "kan bisa menambah penghasilan Rp 1000 atau Rp 2000 bagi petani di pedalaman."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus