Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Begawan Ekonomi Bertangan Dingin

Karier J.B. Sumarlin melejit saat menjabat Menteri Keuangan di era Presiden Soeharto. Gebrakannya berperan besar dalam membangkitkan pasar modal Indonesia.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • J.B. Sumarlin salah satu ekonom yang kariernya cemerlang di era pemerintahan Presiden Soeharto.

  • Sebagai Menteri Ekonomi, J.B. Sumarlin berperan besar dalam membangkitkan pasar modal Indonesia yang lama lesu.

  • Menurut bekas asisten dan anak didiknya, Marzuki Usman, J.B. Sumarlin cerdik dalam menyiasati persoalan statistik dengan

PERISTIWANYA bermula pada Juni 1968. Ketika itu, saya diterima sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Posisi ini ditawarkan Dekan Fakultas Ekonomi UGM Sukadji Ranumihardjo sebagai pelipur lara karena saya tidak jadi dikirim untuk melanjutkan kuliah mengambil gelar master of arts di University of the Philippines di Kota Quezon, Manila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diterima sebagai dosen tak lantas membuat puas karena saya merasa mudah sekali memperoleh pekerjaan. Karena itu, di sela waktu sebelum mulai memberi kuliah pada September 1968, saya memutuskan untuk merasakan susahnya mendapatkan pekerjaan. Maka pergilah saya mengadu nasib ke Jakarta. Tak butuh waktu lama bagi saya diterima bekerja di Departemen Keuangan, yang saat itu dipimpin Ali Wardhana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah beberapa bulan bekerja di sana, saya diberi kepercayaan sebagai asisten staf pribadi Menteri Keuangan Profesor Dr Johannes Baptista Sumarlin. Pak Marlin--demikian panggilan akrab beliau--adalah begawan ekonomi kelahiran Nglegok, Blitar, Jawa Timur, 7 Desember 1932, yang saat itu juga menjabat Deputi Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Itulah persinggungan pertama saya dengan beliau.

Saya bekerja sebagai asisten Pak Marlin ketika Presiden Soeharto akan memulai tradisi melaporkan kinerja tahunan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, yang diawali pada 16 Agustus 1969. Bappenas mendapat tugas menyiapkan pidato Presiden beserta buku sebagai pelengkapnya.

Penulisan buku ini diketuai Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro dan dikomandoi Pak Marlin. Sebelum draf atau rencana penulisan buku itu dibaca, disimak, dan diperiksa Ketua Bappenas, semua pejabat deputi Bappenas mengirimkan draf laporan tersebut kepada Pak Marlin. Dengan bantuan saya dan Dono Iskandar selaku asistennya, beliau membaca dan menyempurnakan laporan itu. Setiap hari sepulang bekerja dari Departemen Keuangan pukul 16.00, saya dan Dono pergi ke Bappenas dan melanjutkan bekerja dengan Pak Marlin sampai pukul 04.00. Beliau mengajari kami menyempurnakan kalimat dan mengecek angka-angka statistik dalam draf buku pelengkap pidato Presiden itu.

Pada suatu malam, saya membaca bab I draf buku pelengkap pidato Presiden tersebut. Di situ ditulis angka inflasi tahun 1965 sebesar 650 persen, yang diukur dari angka indeks 62 macam barang kebutuhan hidup rakyat di Jakarta. Saat itu, Jakarta dianggap sebagai kota yang mewakili seluruh Indonesia. Saya menemukan angka inflasi bukanlah 650 persen, melainkan 613 persen. Saya bertanya kepada Pak Marlin mengenai hal itu. “Ini adalah faktanya. Bapak dapat angka dari mana?” kata saya. Beliau menjawab dengan mengisap jempol. Dari situ, saya mengerti, kalau belum tersedia angka, ciptakanlah angka. Saya belajar “membuat” angka sebagai angka perkiraan sementara. Masak, untuk sidang kabinet kok tidak ada angka?

Sejak itu, saya berguru kepada Pak Marlin untuk menciptakan angka laporan. Sepulang menuntut ilmu ekonomi di Duke University, Amerika Serikat, pada 1975, saya diberi kepercayaan oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana mengkoordinasi laporan 33 tabel tentang keadaan ekonomi Indonesia. Saat itu, pada Selasa setiap pekan, Presiden rajin menggelar sidang kabinet untuk memonitor stabilisasi ekonomi dan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi.

Karena sudah berguru kepada Pak Marlin sejak 1969, saya mengetahui apa yang harus dilakukan kalau belum tersedia angka statistik, misalnya tentang angka inflasi pada pekan sebelumnya. Jika Biro Pusat Statistik belum menemukan angka inflasi, karena dikerjakan secara manual dan belum terkomputerisasi, saya menggunakan ajaran Pak Marlin, yaitu “menciptakan” angka. Lalu saya beri catatan kaki “angka perkiraan sangat sementara!”.

Ketika Pak Marlin menjabat Menteri Keuangan pada 1988, saya diberi kepercayaan menjadi Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Padahal waktu itu beliau sudah berencana menunjuk saya sebagai Direktur Jenderal Moneter mulai Juni 1989. Tapi, karena Barli Halim pensiun pada September 1988, saya ditunjuk menggantikannya sebagai Ketua Bapepam. Pak Marlin meminta saya bekerja bersama Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura menyiapkan keputusan presiden untuk memajukan pasar modal Indonesia. Dikomandoi Pak Marlin, kami bekerja keras selama dua hari dua malam. Setelah itu, keluarlah keputusan presiden, yang lalu membuat pasar modal Indonesia bergairah dan menjadi seperti pasar modal lain di dunia. Pasar modal Indonesia bahkan pernah lebih bagus daripada Pasar Modal Shanghai, Republik Rakyat Cina.


 

Menurut Pak Marlin, Departemen Keuangan adalah “jantung dari NKRI”. Karena itu, departemen tersebut perlu memiliki sumber daya manusia yang terampil dan cerdas.

 


 

Bergeliatnya lagi pasar modal Indonesia pada 1988 dan 1989 itu sebagai puncak keberhasilan pemerintah membuat lembaga ekonomi Tanah Air seperti lembaga ekonomi di negara maju, misalnya Amerika Serikat. Peristiwa itu dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin. Suatu hari pada 1989, lalu lintas Jalan Jenderal Sudirman pernah macet total karena perusahaan Lippo Finance sedang menawarkan sahamnya untuk dibeli para investor. Kemacetan terjadi lantaran para investor membuat barisan antrean untuk memperoleh formula pemesanan saham Lippo Finance. Mengetahui hal itu, saya mendapat ilham dan melapor kepada Pak Marlin. Saya berujar, “Pak Marlin, fotokopi surat pemesanan saham boleh berlaku seperti formulir pesanan asli.” Dan, atas restu Pak Marlin, masalah antre saham itu terpecahkan.

Kenangan selama saya berguru kepada Pak Marlin seakan-akan tidak ada habisnya. Sewaktu kebangkitan pasar modal Indonesia menjadi pemberitaan utama di dalam negeri dan luar negeri, seperti di koran Herald Tribune di Inggris, majalah Time di Amerika Serikat, dan surat kabar Asahi Shimbun di Jepang, foto saya sebagai Ketua Bapepam muncul di berbagai surat kabar dan televisi.

Pernah pada suatu sore, ketika baru pulang dari menghadiri sidang kabinet yang waktu itu selalu diadakan setiap Selasa bakda zuhur, Pak Marlin memanggil saya. “Juk (panggilan akrab Pak Marlin kepada saya), tadi itu, di sidang kabinet, Bapak Presiden menegur saya sebagai berikut, ‘Saudara Sumarlin, kenapa itu si Marzuki selalu muncul di TVRI dan di Radio Republik Indonesia?’,” katanya. “Saya jawab, Juk, sebagai berikut, ‘Mereka itu, Pak, merasa senang sekali pasar modal kita sudah mendunia!’ Oh, begitu ya, ujar Bapak Presiden sambil tersenyum.” Dan Pak Marlin berucap lagi dalam bahasa Jawa, karena beliau mengetahui saya bisa berbahasa Jawa, “Matur nuwun (Terima kasih), Juk!” Itulah pribadi Pak Marlin. Beliau tidak segan berterima kasih kepada siapa saja yang telah berbuat baik.

Saya terus mengabdi dan berbakti bersama J.B. Sumarlin sampai kami berdua pensiun. Kapan saja Pak Marlin meminta bantuan, saya selalu senang hati mengerjakannya. Ketika Pak Marlin menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Bapeka--kini BPK) dan perlu tanah untuk tempat pelatihan dan pendidikan pegawai Bapeka, saya membantunya. Ketika itu, sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (BPLK) Departemen Keuangan, saya memberikan tanah BPLK yang tidak jadi dibangun kepada beliau untuk keperluan Bapeka.

Kepindahan saya dari Ketua Bapepam menjadi Kepala BPLK mengusung misi membuat karyawan Departemen Keuangan terampil dan terdidik. Sebab, menurut Pak Marlin, Departemen Keuangan adalah “jantung dari NKRI”. Karena itu, departemen tersebut perlu memiliki sumber daya manusia yang terampil dan cerdas. Saya melaksanakan amanat itu, antara lain, dengan mengirim karyawan Departemen Keuangan mengambil kuliah S-2 dan S-3 di universitas terkenal di dunia, seperti Duke University, Harvard University, dan Stanford. Hasilnya, Departemen Keuangan dilayani oleh tenaga-tenaga terampil dan terdidik berkelas dunia.

Ketika saya mendapat kepercayaan dari Presiden B.J. Habibie untuk menjadi Menteri Pariwisata Seni dan Budaya, Pak Marlin mampir ke kantor saya. Beliau memberikan nasihat tentang bagaimana menjadi manusia yang berguna bagi Tanah Air. Selamat jalan, Bapak J.B. Sumarlin. Rakyat Indonesia tidak akan melupakan darma baktimu untuk bangsa dan negara.

MARZUKI USMAN, KETUA BADAN PELAKSANA PASAR MODAL 1988-1992
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus