Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kiai Insinyur Penerus Tradisi Besar

Berbekal ilmu arsitektur dan manajemen, Gus Sholah meneruskan tradisi para kiai besar mengembangkan pesantren.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salahuddin Wahid, di Jakarta , 16 Januari 2018./TEMPO/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gus Sholah adalah seorang arsitek sekaligus manajer andal.

  • Setelah malang-melintang menjadi tokoh nasional dan merambah berbagai isu, Gus Sholah kembali memimpin pesantren Tebuireng.

  • Gus Sholah berpendapat bahwa cita-cita dan tujuan HTI bertentangan dengan eksistensi dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

SALAHUDDIN Al Ayyubi, begitu nama pemberian orang tuanya, KH Wachid Hasyim. Dikenal sebagai KH Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah, dia adalah seorang arsitek sekaligus manajer andal. Sejak menyelesaikan kuliah di Institut Teknologi Bandung pada 1970-an dengan gelar insinyur, Salahuddin berkiprah di bidang konstruksi. Dia baru muncul ke publik sebagai tokoh serta pemikir keagamaan Islam, kebangsaan, dan hak asasi manusia menjelang reformasi 1998. Kariernya di bidang konstruksi dan arsitek sempat membawanya menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Konsultan Indonesia pada 1991-1994 sekaligus menjadi Associate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional pada 1995-1996.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adik kandung presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ini pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2002. Suami dari Farida, tante mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, ini juga menjadi anggota tim gabungan pencari fakta kasus penembakan mahasiswa penuntut reformasi di akhir era Presiden Soeharto pada 1998, kasus Semanggi 1 dan 2, yang memunculkan dugaan pelanggaran HAM berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemikiran dan namanya yang mengkilap di publik sempat mengantarnya menjadi calon wakil presiden mendampingi Wiranto, yang bersaing dengan pasangan KH Hasyim Muzadi-Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden langsung pertama pada 2004. Ketika itu, Gus Sholah menjabat Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sedangkan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU. Kedudukan Gus Sholah sebagai wakil ketua membuat aksesnya ke pengurus tertinggi PBNU terbatas, sehingga ia meminta saya mengkomunikasikannya, meskipun tidak cukup berhasil.

Dalam tradisi pesantren dan NU, seorang kiai besar nan karismatik hampir selalu pernah berkiprah di Ibu Kota Jakarta atau setidaknya menjalin komunikasi intensif dengan para pengambil keputusan di tingkat nasional. Dalam waktu yang sama, mereka menjadi penuntun bagi masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa dan menjadi suluh bagi Islam ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, Islam toleran khas Indonesia.

KH As’ad Syamsul Arifin, kiai karismatik pengasuh pesantren Salafiyah di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur; penengah di saat konflik yang genting antara NU dan pemerintah Soeharto pada awal 1980-an; serta pencetus khitah 1926 NU, pernah berkiprah di Jakarta sebagai anggota Konstituante. Demikian pula KH Achmad Shiddiq, partner Gus Dur di periode pertama kepemimpinan PBNU yang legendaris pada 1984-1989 sebagai rais am. Kiai Achmad adalah asisten pribadi KH Wachid Hasyim ketika menjadi Menteri Agama sebelum kembali ke kampung untuk mengasuh pesantren Ash-Shiddiqiyyah di Jember, Jawa Timur.

KH Hasyim Asy’ari, kakek Gus Sholah, pendiri NU, seharusnya tinggal di Jakarta karena memimpin tiga organisasi besar tingkat nasional dan berpusat di Ibu Kota, yakni Rais Akbar NU, Ketua Badan Legislatif Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan pemimpin tertinggi Partai Masyumi. Namun kiai pencetus Resolusi Jihad itu tidak berkenan. Dia mewakilkannya kepada putra sulungnya, KH Wachid Hasyim, ayah Gus Sholah dan Gus Dur, yang pertama kali memimpin NU dan MIAI pada usia 30-an tahun.

Kiai Hasyim merintis pesantren Tebuireng--kemudian dilanjutkan Gus Sholah sejak 2006--pada awalnya bukan di desa biasa, melainkan di wilayah pedalaman tempat penjajah Belanda mendirikan pabrik gula di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, ketika itu. Pabrik gula adalah semacam koloni urban yang diciptakan Belanda sehingga orang berbondong-bondong datang mencari pekerjaan.

Lokasi seperti itu kemudian menumbuhkan masyarakat dengan label mo limo. Lima pertanda masyarakat nirmoral adalah kebiasaan mabuk (mabok), berjudi (main), seks bebas (madon), menjadi pecandu (madat), dan mencuri (maling). Pabrik gula itu masih berdiri hingga kini, tapi komunitasnya menjadi bagian dari pesantren tersebut.

Gus Wachid, meskipun sejak muda berada di Jakarta, dikenal sebagai pembaru pesantren Tebuireng dari sistem pesantren klasik ke sistem sekolah dengan memasukkan mata pelajaran umum, juga bahasa Indonesia dan Inggris, tanpa menghilangkan ciri khas kitab kuning. Tantangan yang dihadapi Gus Sholah lain lagi. Kini sudah ada perguruan tinggi dan, karena usia, pesantren Tebuireng mengalami penuaan bangunan fisik serta keilmuan.

Tradisi kiai besar itulah yang tampaknya diwarisi Gus Sholah. Setelah malang-melintang menjadi tokoh nasional dan merambah berbagai isu, dia kembali memimpin pesantren yang, jika dibandingkan dengan skala nasional, sangat kecil. Namun arti dan sumbangannya bagi dunia dan bangsa tidak kalah besar. Begitu ditunjuk memimpin pesantren Tebuireng, Gus Sholah tidak tanggung-tanggung kembali ke Jombang, tempat kelahirannya pada 11 September 1942, secara full-time.


 

Sebagaimana dilakukan ayahnya, kehadiran Gus Sholah di pesantren Tebuireng juga memberikan warna baru bagi penampilan fisik dan keilmuan. Dengan menggandeng pengusaha, Gus Sholah merehabilitasi banyak gedung kamar santri dan ruang kelas.

 


 

Gus Sholah segera membentuk tim yang egaliter dengan distribusi tugas dan kerja sinergis. Meskipun menjadi tokoh sentral, dia menerapkan kepemimpinan yang tidak hierarkis. Pembedaan mereka pada kewajiban dan tugas, bukan pada posisi dan struktur organisasi. Gus Sholah lebih menonjolkan kemampuannya sebagai manajer ketimbang karisma yang sering lebih menonjol dalam kepemimpinan agama dan pesantren. Namun dia tidak melupakan perhatiannya yang besar terhadap berbagai masalah dan isu masyarakat secara nasional. Soal korupsi, hak asasi, pendangkalan agama, dan kekerasan menjadi keprihatinannya. Karena itu, Gus Sholah tak hanya bolak-balik Jakarta-Jombang, tapi juga berkeliling Indonesia untuk menjalin silaturahmi dan berpidato buat masyarakat luas.

Gus Sholah, mungkin sengaja, juga merawat anak-anak muda di sekelilingnya, yang beberapa di antaranya sangat progresif untuk tidak dikatakan menyeberang dari tradisi pemikiran dan aktivitas pesantren. Satu di antaranya sangat "kiri" dan menjadi pembela gerakan rakyat serta lingkungan, termasuk korban kekerasan 1965. Yang lain adalah pembela hak minoritas agama dan komunitas sosial, termasuk hak hidup kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Keduanya mengekspresikan pemikiran dan aktivitasnya secara terbuka. Keduanya mengaku tidak pernah ditegur dalam soal pemikiran dan aktivitasnya. Dengan demikian, Gus Sholah bukan hanya manajer dalam arti administratif dan organisasi, tapi juga dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya manusia yang kontradiktif sekalipun.

Dari cerita mereka, pernah terjadi perdebatan yang diametral ketika Gus Sholah hendak memberikan tempat di pesantren untuk kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Anak-anak muda progresif ini menentangnya dan menolak berpartisipasi karena dianggap membahayakan Islam pesantren itu sendiri. Namun Gus Sholah beralasan, kalau kita memberikan kesempatan kepada korban kekerasan 1965, mengapa HTI tidak boleh. Di luar dugaan, Gus Sholah mengekspresikan secara terbuka di depan HTI bahwa cita-cita dan tujuan HTI bertentangan dengan eksistensi dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Itu dilakukannya jauh sebelum revisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, yang berimplikasi pada pelarangan HTI. Gus Sholah tidak pantang berbeda pendapat yang diametral sekalipun.

Sebagaimana dilakukan ayahnya, kehadiran Gus Sholah di pesantren Tebuireng juga memberikan warna baru bagi penampilan fisik dan keilmuan. Dengan menggandeng pengusaha, sesuatu yang masih jarang dilakukan dalam pengelolaan pesantren, Gus Sholah merehabilitasi banyak gedung kamar santri dan ruang kelas. Dia juga menamai gedung dengan nama kontributor. Namun ia mempertahankan sebuah bangunan paling tua, yaitu bekas kediaman pendiri pesantren, KH Hasyim Asy’ari, hanya dengan memperkuat, tanpa mengubah bentuk aslinya.

Institut Keislaman Hasyim Asy’ari, yang semula hanya berfokus pada pelajaran agama Islam, diubah dan diperbesar menjadi Universitas Hasyim Asy’ari dengan memasukkan fakultas dan program studi umum, seperti teknik, hukum, dan politik. Gus Sholah juga membangun Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari di lingkungan pesantren, yang menunjukkan bahwa ia tidak hanya peduli pada warisan sejarah, tapi juga visi Islam Nusantara yang akomodatif dan dialogis. Gus Sholah sesungguhnya sudah menyerahkan kepemimpinan pesantren Tebuireng kepada generasi muda lainnya jauh sebelum beliau meninggal pada 2 Februari lalu.

Gus Sholah kini telah beristirahat untuk selamanya dan disemayamkan bersebelahan dengan Gus Dur di permakaman keluarga. Selamat jalan, Gus Sholah, kiprahmu tidak terlupakan.

AHMAD SUAEDY, PENGAJAR PADA PASCASARJANA ISLAM NUSANTARA UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, JAKARTA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus