Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VISUAL poster ini memaku pandangan pengunjung pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai” di Rumah Budaya Tembi, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 22 Januari-2 Februari lalu. Tampak gambar kerumunan petani mengarak orang-orangan sawah, dengan burung-burung terbang di atas pepohonan rimbun. Poster berwarna monokrom ini berisi ajakan membela buruh tani sekaligus mengundang orang datang ke Festival Memedi Sawah. Festival itu berlangsung di Lapangan Koripan, Desa Kranggan, Klaten, Jawa Tengah, 19 Desember 1999.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poster bermuatan kritik sosial dengan visual realis itu garapan kelompok Taring Padi. Ukurannya 42 x 31,5 sentimeter, dicetak dengan mesin offset manual. Karya itu menjadi satu dari ratusan poster koleksi lembaga pengarsipan dan penelitian Dicti Art Laboratory. Dicti didirikan dan dikelola pasangan Mikke Susanto dan Rina Kurniyati. Rina adalah pelukis yang gemar memakai media kaca, sementara Mikke mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poster Festival Memedi Sawah didesain Taring Padi pada 1999, setelah Orde Baru tumbang. Kelompok ini dibentuk sejumlah mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta pada 1999 untuk membawa semangat perlawanan, perubahan, dan demokrasi kerakyatan. Sebelum 2003, grup ini bernama Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi. Nama Taring Padi dicomot dari frasa Minang yang berarti “duri lembut pada ujung bulir gabah”. Meski kecil, jika mengenai tubuh, duri itu bisa menyebabkan gatal. Padi juga mengilustrasikan petani dan rakyat.
Latar belakang anggotanya beragam, dari seniman, petani, anak jalanan, hingga teolog. “Kami tidak punya keanggotaan tetap. Semua sukarela dan kolektif,” kata salah satu seniman Taring Padi, Muhammad Yusuf, di Yogyakarta, Rabu, 22 Januari lalu.
Mereka memadukan seni rupa dengan aktivitas politik. Yusuf menjelaskan, Taring Padi sepakat memperjuangkan hak-hak petani, persamaan gender, dan perdamaian serta menolak militerisme. Sebagian hasil penjualan karya kerap disisihkan untuk advokasi membantu petani dan kelompok minoritas.
Kampanye perdamaian Taring Padi tercurah ke poster perdananya pada 1999. Poster itu berbicara tentang konflik horizontal di Maluku dan Kalimantan. Di Ambon, Maluku, terjadi segregasi penduduk Kristen dan muslim yang berujung pada tragedi berdarah. Adapun di Kalimantan terjadi konflik etnis antara suku Melayu, Dayak, dan Madura.
Pesan damai atas kondisi itu dituangkan Taring Padi ke sebuah poster berukuran 40 x 60 sentimeter. Di bidang itu tergambar tangan manusia dengan citraan bintang dan cinta, juga simbol agama dan kalimat mengenai kasih kepada sesama. Poster dicetak lebih dari seribu lembar dan ditempel oleh jejaring Taring Padi di Yogyakarta, Ambon, Palu, serta berbagai ceruk di Kalimantan.
Dari semua poster yang dikerjakan Taring Padi, Yusuf terkesan pada karya Yustoni Voluntero (almarhum), bekas ketua kelompok ini. Suatu ketika, digelar diskusi 20 tahun Taring Padi di Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta. Salah satu pesertanya perempuan asli Palu yang pernah melihat poster Taring Padi di kampungnya. Menurut Yusuf, perempuan itu lalu menggelar diskusi tentang makna poster Taring Padi. “Mereka mendapatinya sebagai usaha rekonsiliasi menuju perdamaian,” ujarnya. Bahkan, setelah itu, si perempuan menggandakan poster dan menyebarkannya.
Dalam proses berkarya, seniman Taring Padi menerapkan konsep turba alias turun ke bawah—istilah yang digunakan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra untuk blusukan ke masyarakat sebelum berkarya. Oleh Taring Padi, istilah itu diganti menjadi live-in. Bentuknya antara lain menemui korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, dan bertandang ke proyek pasir besi di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Agar seniman punya kesadaran penuh terhadap solidaritas korban dan paham persoalan,” ucap Yusuf.
Dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta, F.X. Widyatmoko, menilai poster karya Taring Padi kuat dari sisi wacana. Poster-poster itu kental dengan teknik cukil kayu, yang murah dan cocok dengan tema propaganda yang mereka usung. “Poster Taring Padi lebih menekankan pada pesan lugas dan tidak banyak teks. Mereka menggunakan simbol-simbol yang kuat dengan advokasi terhadap kelompok tertindas,” tuturnya.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo