Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Keraguan Menghapus Dosa

Setelah dituding ikut andil dalam tragedi 11 September, berubahkah Hollywood?

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ingat acara tayangan langsung di televisi saat tragedi World Trade Center meletup, 11 September dua tahun silam? Selain adegan yang terekam ketika pesawat menabrak gedung kembar itu, tentu masih terngiang satu kalimat yang sempat keluar dari mulut reporter televisi yang mengantar peristiwa ini. "It was like a movie...," ujarnya dengan tertahan.

Komentar berbeda tentunya akan muncul dari mulut orang Eropa saat menyaksikan peristiwa itu. Berdasarkan sebuah survei yang sempat dilakukan di sana, ingatan orang di sana sesaat setelah melihat peristiwa yang menakjubkan itu langsung tertuju pada blitzkrieg atau serangan secepat kilat ala Nazi Jerman di Perang Dunia Kedua. Dan penduduk Sarajevo akan menyamakannya dengan saat pasukan Serbia meledakkan gedung-gedung di kota itu.

Tapi itulah orang Amerika Serikat. Mereka yang tidak pernah mengalami kejadian seperti itu memang hanya memiliki referensi pada film-film yang pernah disaksikan. Kalimat yang meluncur dari sang komentator menandakan betapa kuatnya gambar yang dibuat dalam banyak film Hollywood menancap pada setiap orang yang menjadi konsumen pabrik film itu.

Namun sutradara kondang Robert Altman, 76 tahun, melihat hal yang jauh lagi. Menurut dia, sama halnya dengan reporter televisi itu yang mendapatkan efek yang luar biasa dari sajian film-film Hollywood, sejatinya tragedi yang menewaskan atau mencederai hampir 10 ribu orang itu berawal dari sajian-sajian film buatan Hollywood. Lebih jelas lagi, menurut Altman, yang membesut film-film seperti Nashville dan MASH, aksi itu merupakan buah dari sajian tema kekerasan yang kerap ditampilkan dalam film yang dibuat studio besar di Hollywood.

Altman bukanlah satu-satunya pelaku bisnis ini yang bersuara keras. Tokoh film lainnya, Oliver Stone, punya sikap yang tegas. Lebih keras dari Altman, sutradara yang kerap mengangkat tema kontroversial dalam filmnya itu menuduh Hollywood berada di balik tragedi ini. Dalam bahasanya, Stone menuduh faktor dikuasainya pasar film dunia oleh Hollywoodlah yang menyebabkan sinisme terhadap Amerika begitu menjulang. "Industri ini hanya dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Maklum jika kemudian film yang mereka hasilnya umumnya seragam," katanya geram.

Pernyataan tanpa tedeng aling-aling ini tentu saja membuat kuping para juragan di pabrik film itu panas. Banyak yang terkejut tapi diam-diam seolah mengamini, tapi ada juga yang berang. Sean Daniel, sutradara film The Mummy, menyerang pernyataan Altman sebagai komentar yang tidak benar dan mengacaukan. Dia meminta agar Altman dan Stone lebih baik diam dan tak usah berkomentar. Lain lagi Aaron Sorkin, sutradara The American President. Menurut dia, apa yang dikatakan Altman tidaklah benar. "Saya pikir banyak di antara kami yang berusaha membuat film yang lebih baik," ujarnya.

Daniel dan Sorkin pun setidaknya punya pendukung. Seorang kritikus film membantah habis-habisan pernyataan Altman tersebut dengan menyuguhkan fakta bahwa tak satu pun film yang dibuat studio besar Hollywood mengetengahkan adegan menabrakkan pesawat ke gedung yang menjadi simbol kapitalisme Amerika Serikat itu. "Kalaupun ada adegan seperti itu, bukan dalam film, melainkan dalam buku karya Tom Clancy, Debt of Honor," katanya.

Apa pun yang terjadi, termasuk bila kemudian terjadi polarisasi pendapat yang beredar di sana, pernyataan yang keluar dari kedua nama besar yang tak lain juga dibesarkan oleh pabrik film itu tentu saja mengagetkan. Hollywood, sebuah dunia gemerlap yang penuh dengan mimpi, tiba-tiba dituding menjadi salah satu pencetus aksi kekerasan yang kerap dilakukan teroris itu.

Namun, di balik itu, sebagai bangsa yang menelan habis-habisan produk Hollywood, mungkin kita bisa memahami tudingan-tudingan itu. Hollywood, dengan kekuatan jaringan yang ditopang oleh kekuatan dana yang tidak pernah habis dan kecanggihan teknologinya, tidak saja menjadi satu-satunya penentu selera pasar, tapi juga bisa mengubah pola pikir manusianya.

Sebelum meletus tragedi 11 September, dalam karya Hollywood, Amerika tiada lain menjadi penguasa tunggal dunia yang sudah kehabisan musuh ini. Rambo, misalnya—sempat dibuat beberapa sekuelnya—begitu perkasa. Seorang diri dia bisa melumatkan tentara Uni Soviet di Afganistan.

Serial televisi seperti Mission: Impossible, yang kemudian diangkat ke layar lebar, juga mengangkat sosok Amerika sebagai superhero. Musuhnya? Di era Perang Dingin, ya, Uni Soviet. Kemudian, teroris muslimlah yang menjadi sasaran. Belakangan, saking tiada lagi lawan sepadan, mereka pun menciptakan musuh dari luar angkasa seperti dalam film Independence Day.

Meski belakangan muncul film-film yang bertolak belakang dengan tema sebelumnya, seperti Platoon dan Black Hawk Down, atau film-film independen, Hollywood telanjur tetap lebih suka menampilkan Amerika Serikat sebagai sosok sang hero.

Dengan meletusnya tragedi ini, keadaan pun berubah. Altman, yang bukan untuk pertama kalinya mengeluarkan pernyataan keras semacam itu, berusaha menyadarkan kembali Hollywood agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan membuat film yang penuh adegan destruktif yang bisa memancing ide para pelaku teror. "Betapa beraninya dan betapa bodohnya bila kita terus membuat film seperti itu," katanya serius.

Lantas bagaimana pula sebenarnya sikap Hollywood sendiri? Apakah kecaman pedas Altman itu ada pengaruhnya? Barangkali ya, barangkali cuma dianggap angin lalu. Hampir berbarengan dengan komentar yang menyengat itu, tak sampai sebulan setelah tragedi itu pecah, beberapa orang penting di Hollywood diajak mengobrol oleh Pentagon untuk merumuskan kembali propaganda dalam menghadapi aksi terorisme global.

Tentu ini bukan hal baru. Seiring dengan tumbuhnya Hollywood menjadi pusat kekuatan hiburan dunia, kerja sama keduanya telah berlangsung dengan mulus. Misalnya, saat Perang Dunia Kedua, Hollywood ikut serta dalam peperangan Amerika. Sosok Mickey Mouse menjadi maskot tentara Amerika kala itu. Pada masa Perang Dingin, tema antikomunis bagaikan air bah meluncur dari pabrik film ini.

Nah, dari pertemuan pertama tersebut, tepat dua bulan setelah kejadian itu, penasihat dan ahli strategi Presiden Bush, Karl Rove, mengundang para juragan di pabrik film itu untuk merumuskan sebuah bentuk hiburan yang bisa membangkitkan semangat rakyat Amerika Serikat dalam berperang melawan terorisme. Tak tanggung-tanggung, yang diajak berbicara adalah Sherry Lansing, bos dari divisi film Paramount Picture, dan Jonathan Dolgen dari Viacom. Tapi tak satu pun orang tahu isi pertemuan itu.

Namun Jack Valenti, tokoh penting Asosiasi Pengusaha Film Amerika Serikat, menegaskan tak ada pembicaraan yang menyangkut ikut sertanya Hollywood dalam program yang dibikin Bush dalam memerangi terorisme itu. "Tak ada satu pun yang mendorong kami untuk terlibat dalam gerakan propaganda ini," katanya. {Lagi pula dia kan sudah ahli dalam hal propaganda," katanya lagi dengan terbahak.

Toh, Karl Rove, seusai pertemuan, menjelaskan sekitar tujuh poin dari pertemuan itu. Salah satunya, yang penting, pemerintah dan Hollywood bekerja sama dalam memerangi terorisme, tapi tidak lagi menetapkan siapa musuhnya. "Kalangan industri menyatakan akan melakukan hal itu," kata Rove.

Barangkali ada hubungannya juga, film berjudul The Sum of All Fears, yang dibuat oleh sutradara Phil Alden Robinson, yang bercerita tentang upaya teroris meledakkan nuklir di Kota Baltimore, mengubah pelaku utama teror itu—semula berasal dari kawasan Timur Tengah (Islam)—menjadi berasal dari gerakan neo-Nazi.

Sebaliknya, kejadian 11 September itu juga menyebabkan para pelaku bisnis film ini melakukan sensor sendiri terhadap filmnya. Hal ini dilakukan oleh Miramax, distributor film bikinan Disney, yang menahan peredaran film yang berjudul The Quiet American. Film ini memang sangat bertentangan dengan film-film Hollywood—yang kerap tampil menjadi pemberantas terorisme.

The Quiet American mengisahkan tingkah orang-orang Amerika di Indocina pada 1952 yang melakukan aksi terorisme untuk membendung pengaruh komunisme—dengan cara meledakkan mobil. Film yang diangkat dari novel Graham Greene ini mengkritik Amerika, menyebutnya pencetus akar Perang Vietnam. "Kami tidak bisa segera merilis film ini. Film ini sama sekali tidak patriotik. Kami takut, dalam kondisi seperti ini, tak ada lagi orang yang mau menyaksikan film yang bercerita tentang buruknya orang Amerika," kata Harvey Weinstein, salah satu bos Miramax.

Weinstein bisa saja terperangah menyaksikan 11 film pendek yang dikemas dalam 11'09''01. Dalam kumpulan film pendek itu, tergambar jelas sikap anti-Amerika dalam diri para pembuat filmnya, termasuk nama yang dibesarkan di Hollywood: Sean Penn. Ternyata Sean Penn tidaklah sendiri. Dari negerinya sendiri muncul nama seperti Spike Lee dan Michael Moore, yang mau bersuara lain dibandingkan dengan para sutradara besar lainnya. Lee meluncurkan 25th Hour, sedangkan Moore menampilkan wajah Amerika yang lain dalam Bowling for Columbine.

Tiga film ini jelas bersuara keras. Tapi, bagai sampan di tengah lautan, tiga buah film tetap saja tenggelam. Alih-alih dibuat sebuah film dengan sudut pandang yang baru terhadap aksi terorisme, dari negeri itu meluncur sebuah serial televisi yang menampilkan sosok Presiden George W. Bush sebagai tokoh yang sigap dalam menghadapi tragedi World Trade Center itu.

Dalam serial televisi yang bertitel DC 9/11, Bush langsung terbang ke Washington setelah tahu bahwa para teroris menyerang gedung World Trade Center dan Pentagon. "Berdasarkan kisah nyata, film ini menampilkan beberapa potongan gambar yang sesungguhnya," kata seorang sumber. Yang tampil sebagai Presiden Amerika dalam film ini adalah Timothy Bottoms, sedangkan Lawrence Pressman menjadi Wakil Presiden Dick Cheney.

Adakah film semacam ini bisa membantu menyembuhkan Hollywood dari dosa yang telanjur dicapkan pada mereka? Sepertinya penting buat para pembuat film di sana untuk merenungkan kembali ucapan Robert Altman, yang mengatakan bahwa peristiwa ini seolah kesempatan bagi para pembuat film untuk kembali menampilkan film yang "dewasa", "dengan menggunakan humor dan nilai-nilai dramatik yang bisa menguatkan hubungan antarmanusia."

Entah bagaimana reaksi para pemilik studio besar di Hollywood. Akankah mereka semakin xenophobic? Atau mungkin menekuni sebuah tren baru seperti yang dipaparkan Altman? Yang jelas, mereka punya kiblat, yakni fulus.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus