Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mengingat dan Melupakan 11 September

HOLLYWOOD. Inilah kerajaan fiksi. Orang-orangnya menciptakan fiksi buat menunjang gaya hidup mereka yang penuh gebyar. Dongeng mereka yang berpendar di layar lebar menerbangkan masyarakat global ke dunia mimpi. Membius, memaksa mereka melakoni hidup di layar lebar dalam kehidupan sehari-hari. Tapi sekonyong-konyong dunia berubah: 11 September, menara kembar World Trade Center, New York, runtuh dihantam pesawat komersial. Ada yang menyalahkan Hollywood yang terlalu doyan menjual kekerasan di layar putih, ada yang mengkritik kelambanannya merespons peristiwa itu secara cerdas. Semua mesti direkam, ditafsirkan kembali, sebelum akhirnya—mungkin—dilupakan sama sekali.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


I can't forget but I will forgive." Kalimat dari Nelson Mandela itu oleh sutradara Afganistan Siddiq Barmaq dikutip untuk mengawali filmnya berjudul Osama, yang meraih penghargaan Camera d'Or di Festival Cannes 2003 dan menjadi film penutup Festival Film International Jakarta 2003 pekan lalu.

Kesewenang-wenangan politik dan ideologi selamanya tak bisa hilang dari ingatan. Memori seorang korban yang lolos dari pembunuhan atau diskriminasi bisa tak sembuh-sembuh. Tapi, di tengah trauma yang mengimpit, bisa jadi kearifan seputih pualam muncul: saatnya para korban memaafkan para penganiaya. Dan untuk sementara waktu, lupakan dulu soal keadilan.

Tapi apakah kaum Taliban bisa dimaafkan? Adakah mereka, para "syuhada" yang menabrakkan pesawat ke World Trade Center (WTC) New York dan Pentagon, bisa diberi ampun? Mengingat dan melupakan tragedi politik berskala raksasa itu agaknya sebuah masalah sendiri. Mengingat dan melupakan peristiwa 11 September, bagi dunia film, adalah juga sebuah pergumulan.

Peristiwa 11 September adalah persoalan bagi semua—setidaknya bagi warga Amerika. Di hadapan National Press Club, aktris berumur Goldie Hawn mengaku merajut sendiri bendera Star Spangled Banner sebagai tanda patriotisme, rasa cinta kepada negara. Seraya menghaturkan pesan damai, "Hentikan segala makian, terutama gosip!" pesan pribadi juga muncul dari seorang Barbra Streisand, yang hirau dengan program diet dan penurunan berat badannya.

Tapi Robert Altman, 76 tahun, pembuat film yang tergolong veteran, kini semakin yakin, itulah buah kebiasaan Hollywood yang gemar menampilkan kekerasan di layar putih. Dengan kata lain, Hollywood ikut bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu. "Film-film telah membuat pola seperti itu. Dan orang-orang ini meniru film-film itu. Tak ada yang terpikir melakukan hal seperti itu kecuali jika mereka menyaksikannya di film. Saya yakin, kita telah menciptakan atmosfer ini dan mengajarkan cara melakukannya," ujar Altman.

Tak banyak yang punya pikiran (baca: tudingan) se-perti Altman. Tapi Francis Ford Coppola, sutradara Apocalypse Now dan The Godfather, bahkan menyidik lebih dalam. Dalam wawancaranya dengan BBC, ia mengingatkan bahwa Hollywood telah kehilangan sebuah kesempatan untuk membuat dirinya lebih bermakna dan relevan. Malapetaka itu, bagi sutradara ka-wakan ini, betapapun pahit, adalah momentum untuk melahirkan cara berpikir baru terhadap realitas, sebuah jeda untuk merenungkan dan mematangkan diri ke arah lain. Tapi ia melihat, insan perfilman Amerika hanya sebentar syok dan kembali jatuh pada pemikiran lama.

Banyak pelaku industri Hollywood, seperti dituturkan koran-koran sana, mulanya tak yakin bahwa dua tahun ke depan setelah September itu film-film bertema perang atau teroris bakal laku. Namun itu meleset. Memang, sampai tahun 2003 ini, tidak ada genre film terorisme yang menduduki puncak paling top penjualan. Film fantasi, komedi, bahkan kartun yang meraih mahkota itu. Misalnya Harry Potter and The Sorcerer's Stone, film kartun Shrek, film animasi Monsters, Inc., dan film action Rush Hour 2. Toh, film-film bertema terorisme masih meraup box office. Contohnya Collateral Damage (dibintangi Arnold Schwarzenegger), yang menceritakan seorang anggota pemadam kebakaran yang keluarganya mati di WTC. Contoh lain, Behind Enemy Lines, besutan John Moore, yang dibintangi Gene Hackman, diberitakan tiga minggu sesudah diluncurkan pada 1999 sudah menangguk untung. Pengamat memperkirakan masyarakat ternyata masih mencari sesuatu yang berbau happy end, berbau mengembalikan keyakinan diri dan patriotisme mereka. Dan itu membuat industri film Hollywood—seperti dikatakan Coppola—tetap menyajikan ihwal terorisme dengan cara pandang lama.

Coppola sendiri, akibat runtuhnya menara kembar WTC, menunda penyelesaian filmnya, Megalopolis. Film ini dipersiapkan lebih dari 15 tahun dan hampir rampung September itu. Megalopolis berkisah tentang New York masa depan yang porak-poranda lantaran sebuah satelit lama Uni Soviet jatuh ke bumi. Dari reruntuhan, kemudian warga New York membangun kotanya kembali. Coppola diberitakan merevisi banyak hal. Ia kabarnya memotong banyak adegan film yang dibintangi oleh aktor kelas satu itu—Russell Crowe, Robert De Niro, Nicolas Cage, Warren Beatty—dan membawanya ke arah lain. Film yang dipengaruhi novel Ayn Rand, The Fountainhead, itu akhirnya baru dirilis pada tahun 2004.

Memang, selain film Coppola, banyak film Hollywood yang bertema teroris mengalami edit ulang setelah peristiwa 11 September. Film The Sum of All Fears, yang diadaptasi dari novel Tom Clancy pada 1991 dengan sutradara Phil Alden Robinson dan bintang utama Ben Affleck, contohnya. Dibuat Paramount Pictures sebelum 11 September, dan pasca-produksinya sesudah September, film ini bercerita tentang sekawanan teroris yang hendak meledakkan reaktor nuklir di Baltimore. Setelah diedit, setting kota kemudian ditambahi gedung yang mirip bangunan kembar WTC. Sebaliknya, pelaku teroris, yang semula dalam skenario direncanakan berasal dari negara muslim di Timur Tengah, kemudian diganti menjadi berasal dari sayap radikal neo-Nazi.

Seorang penulis menyatakan, runtuhnya WTC membuat setiap orang yang terharu menjadi penyair. Seperti Alan Resnais yang menabalkan Hiroshima menjadi Hiroshima Mon Amour ("Hiroshima Cintaku"), siapa pun yang bersimpati kepada WTC dapat menyerukan WTC Mon Amour (juga Bali Mon Amour). Dalam hal ini, The Guys, yang dibintangi Sigourney Weaver dan Susan Sarandon, termasuk dalam kategori menyentuh. Film ini berangkat dari kisah nyata seorang jurnalis yang membantu menuliskan eulogi komandan pemadam kebakaran Amerika yang kehilangan delapan anak buahnya dalam upaya menyelamatkan korban WTC. Tapi yang menyentuh—dalam arti kritis dapat menyulut kontroversi—adalah Dogville karya Lars von Triers. Sutradara Denmark yang baru kembali dari Festival Cannes 2003 ini, seperti diberitakan The Guardian, dianggap anti-Amerika.

Namun yang dianggap paling kritis terhadap Amerika adalah film yang juga diputar di Jakarta International Film Festival, September 11. Ini adalah kumpulan film pendek karya 11 orang sutradara kenamaan dunia (keseluruhannya 135 menit) yang sengaja dibuat untuk merespons tragedi itu. September 11 terdiri atas karya Samira Makhmalbaf (Iran), Alejandro Gonzalez Inarritu (Meksiko), Danis Tanovic (Bosnia-Herzegovina), Idrissa Ouedraogo (Burkina Faso), Ken Loach (Inggris), Shohei Imamura (Jepang), Youssef Chahine (Mesir), Claude Lelouch (Prancis), Mira Nair (India), Amos Gitai (Israel), dan Sean Penn (Amerika).

Ibarat haiku, puisi pendek Jepang, film-film ini memang padat tapi menyengat. Lebih mengemukakan gagasan daripada "keindahan", semua film ini dapat dimatarantaikan pada satu pokok pikiran: tragedi WTC tak lepas dari akumulasi kekerasan yang selama ini dilakukan Amerika di negara lain tapi selalu dilupakan. Seorang penyanyi balada, imigran dari Cile, dalam karya Kean Loach, dengan mata berkaca-kaca menulis tentang korban WTC dari satu titik: arti 11 September baginya. Dan itulah ingatan tentang 11 September 1973 di Cile, ketika Badan Intelijen Amerika (CIA) membantu Jenderal Pinochet melakukan kudeta, mengambil alih resmi pimpinan sosialis Salvador Allende, dan membantai 30 ribu orang lebih masyarakat sipil.

Keseluruhan film ini adalah kontras-kontras ingatan akan kekerasan. Samira Makhmalbaf memperlihatkan bagaimana seorang guru wanita mengajari anak-anak pengungsi Afganistan. Ia bertanya adakah di antara muridnya yang mengetahui "berita besar barusan." Sembari menunjuk cerobong asap menjulang, ia menerangkan runtuhnya WTC. Tapi tak ada anak yang tahu. Ada yang menjawab, sehari sebelumnya di kamp pengungsi itu mereka melihat orang mati terperosok ke sumur. Samira ingin mengatakan bahwa kematian sehari-hari bagi para pengungsi Afgan—yang dilupakan dunia—lebih konkret daripada kematian di seberang sana.

Begitu pula karya Danis Tanovic. Wanita-wanita tua di Srebrenika, bersama-sama, mendengar berita radio tentang runtuhnya WTC. Dan mereka dihadapkan pada keputusan apakah harus bersolidaritas atau tetap berdemonstrasi mengenang bagaimana suami dan anak-anak lelaki mereka dibantai tentara Serbia. Dan ternyata mereka lebih memilih yang terakhir.

Karya Alejandro Gonzalez paling eksperimental. Layar hanya hitam, kita hanya mendengar suara testimoni, lalu ada secercah kilatan gambar orang melompat dari jendela WTC. Film ini diakhiri seleret kalimat: "Tuhan memberikan cahaya dan kebutaan."

Karya sutradara Prancis Claude Lelouch mengesankan. Seorang wanita bisu tuli, fotografer asal Prancis, diceritakan tinggal di apartemen kekasihnya, lelaki normal yang menguasai bahasa isyarat, di Manhattan. Dalam film dengan sudut pandang dunia bisu ini, penonton tak mendengar apa pun. Sang kekasih keluar, televisi terus menyala. Tapi, karena tunarungu, wanita itu tak mendengar adanya siaran langsung runtuhnya WTC. Ketika sang kekasih pulang dengan sekujur tubuh berdebu, sang wanita kaget. Sang kekasih hanya terpaku, seolah tak percaya, lalu bertanya dalam bahasa isyarat, "Apakah kau tak menonton TV?"

Youssef Chahine, sutradara besar Mesir, dalam filmnya melukiskan dirinya bertemu dengan roh seorang marinir Amerika yang tewas di Libanon pada 1983. Mereka berdialog. Chahine membeberkan data korban dari Hiroshima sampai Timur Tengah. "Coba, dibandingkan dengan di Indonesia, Kongo, dan Vietnam, lebih banyak mana korban yang jatuh di WTC?" katanya. Mira Nair menampilkan kisah nyata seorang kadet polisi keturunan Pakistan di Amerika yang hilang. Ia dicurigai sebagai teroris karena beragama Islam. Polisi menggeledah rumah ibunya. Ternyata ia mati dalam reruntuhan WTC. Dari teroris menjadi hero.

Film Sean Penn, bekas suami Madonna, menyajikan sindiran paling bernas. Dalam ulasan majalah Time pekan lalu, ia dianggap sebagai wakil generasi pemberang dan kritis "terkini" terhadap negerinya. (Ingatkah ia pergi dan menyatakan simpati kepada Irak sebelum pesawat-pesawat Amerika datang?) Seorang tua di apartemen yang muram, kumuh, hidup sendiri, tapi merasa hidup dengan mendiang istrinya yang dibayangkan masih hidup. Tiap hari baju tidur istrinya dibentangkan di kasur.

Apartemennya berimpitan dengan tembok apartemen lain. Ia memiliki pot yang bunganya layu karena tak mendapat sinar matahari. Tatkala gedung kembar lambang kapitalisme itu runtuh, sinar matahari langsung masuk ke jendela rumahnya: sinar yang membangunkan, menyegarkan bunga yang layu, sekaligus menyadarkan bahwa istrinya telah lama mati. Bukan tidak mungkin, lewat kritik semacam ini, di kemudian hari bisa timbul film tafsir lain atas meledaknya WTC—seperti JFK karya Oliver Stone, yang menyajikan versi lain atas pembunuhan J.F. Kennedy, yang berbeda dengan versi pemerintah.

Ada dunia lain di luar Hollywood. Tapi Hollywood, kata Coppola, telah menyia-nyiakan sebuah momentum besar. Banyak bagian yang belum terjelaskan: dari asal benih-benih kebencian, kenekatan para anak muda teroris, hingga cara-cara Usamah bin Ladin melarikan diri—konon ia naik keledai, mencukur janggut, memermak wajah, mengenakan burqah layaknya perempuan. Dengan menonjolkan patriotisme belaka, film-film Hollywood gagal menangkap debat seru dan wacana yang kaya, bahkan terpancing untuk mengakhirinya.

Bagaimana dengan kita? Peristiwa 11 September sendiri amat berkaitan dengan rentetan kejadian di Indonesia: bom Bali, bom Marriott, tudingan terhadap Jamaah Islamiyah, dan banyak lagi. Namun film Indonesia sendiri tidak menjangkau hal-hal yang bersifat tafsir seperti itu. Garin Nugroho pernah mengatakan bahwa reformasi, perubahan, pada media selama ini tidak diikuti perubahan prinsipiil dalam film. Ini tidak seperti pemberontakan mahasiswa di Prancis pada 1968, yang melahirkan gerakan pembaruan dalam sinema Prancis. Dibanding mengingat, memang orang di sini lebih banyak melupakan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus