Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa yang terjadi 11 September 2001 mau tak mau menimbulkan sebuah pertanyaan penting: apakah setelah peristiwa ini wajah Hollywood akan berubah? Pertanyaan simpel ini memang patut dikemukakan, karena kita tahu Amerika Serikat (AS) melalui Hollywood telah menjelma menjadi salah satu pabrik hiburan paling digdaya di planet ini. Tapi, pertanyaan ini sekaligus teramat sulit dijawab. Sebagian besar orang AS juga tahu bahwa kejadian 9/11 ini bukan kejadian yang sederhana seperti tragedi teroris biasa. Peristiwa ini juga lebih kompleks ketimbang fenomena generasi bunga, flower generation, pada dekade 1970-an, yang dengan kuat menancapkan pengaruh pada produk budaya pop termasuk film. Selain itu, kita menyadari bahwa industri film di AS juga dibangun dengan penataan kompleks.
Sebelum peristiwa 9/11, kita sering kali terperangah menyaksikan fenomena industri yang ditandai dengan persaingan untuk membuat film dengan biaya terbesar. James Cameron tercatat penting dengan karya-karya mahal seperti Terminator 2 atau Titanic. Demikian pula karya Jerry Bruckheimer seperti Gladiator atau Pearl Harbour, yang diproduksi dengan biaya rata-rata di atas US$ 100 juta. Hollywood juga dinyatakan sebagai ladang kerja yang overpaid, dengan fenomena aktor seperti Tom Cruise atau Brad Pitt atau aktris Julia Roberts yang mendapat lebih dari US$ 10 juta untuk setiap film yang dibintanginya. Barangkali hal itu terjadi karena ada anggapan bahwa industri akan berjalan bila orang-orangnya dibayar sangat tinggi. Sebab, dalam hukum pasar mereka, penonton berduyun-duyun datang ke bioskop untuk menyaksikan wajah Tom dan Brad, seolah mereka adalah aktor yang bisa membawa penonton ini keluar dari kepahitan. Meski, pada saat bersamaan, dari AS kita melihat banyak film lain yang bisa dibuat dengan biaya yang murah. Hanya ratusan ribu dolar.
Apa yang kemudian terjadi pasca-peristiwa ini? Saya belum merasakan perubahan yang fenomenal dari Hollywood, setidaknya dari produk-produk besar yang dihasilkannya. Serial Lord of the Rings dan Harry Potter-lah yang menjadi landmark Hollywood hari ini. Dibuat dengan struktur pendanaan yang kompleks dan menghasilkan uang kembali. Pendekatan klasik penghancuran besar (teror) tetap muncul gemanya melalui film seperti Spiderman, sekuel Matrix, atau karya Ang Lee, Hulk. Dan sebagai penghasil hiburan akrobat pasar malam, Jerry Bruckheimer membuat sekuel Bad Boys, yang secara komersial sangat sukses. Masih juga berkisah soal terorisme. Hanya, bedanya, mereka membikin kantong-kantong teroris yang kecil, memperlihatkan gangster-gangster LA (Los Angeles) dengan senjata mesin. Dongeng, memang, tapi seolah sama sekali tidak peka terhadap tragedi besar yang baru saja terjadi.
Dari ladang film nonfiksi, kita dikejutkan dengan munculnya Bowling for Columbine. Film yang baru saja sukses di Jiffest 2003 ini bagi saya adalah produk sinema AS terpenting pasca-9/11. Di AS sendiri ada semacam rentetan reaksi terhadap 9/11, dan Michael Moore, sutradara film ini, memperlihatkan sikap orang AS yang sangat kritis. Nah, sebetulnya dia mengkritisi bahwa sebenarnya teror itu datang dari keseharian Amerika, yang sangat bersifat pasif terhadap kekerasan dan membiarkan terjadi dalam ruangan mereka sendiri. Jadi, ada dua jenis film. Film-film yang eskapis yang selalu akan didukung oleh Hollywood, dan film-film yang ekstrem seperti BFC itu.
Film BFC sendiri berisi kritik atau analisis yang rileks (karena disampaikan secara humor) tentang bagaimana kekerasan dimulai dari AS sendiri. Ada sebuah sekuel yang menunjukkan dan secara visual membuktikan bahwa pemerintah AS selalu menjadi inisiator dalam semua masalah kekerasan global. Hmm..., ini versi Moore, jadi AS sudah terbiasa ikut membidani terorisme global. Bagaimana kemudian nasib komersial BFC? Dari Hollywood, ia diganjar Oscar untuk film dokumenter terbaik, dan mendapatkan jalur distribusi minor. Sebuah ganjaran lumayan untuk sikap yang sangat subversif dari seorang filmmaker.
Sejatinya, ini hanyalah semacam keseimbangan yang tengah dibangun oleh Hollywood. Studio besar di sana membuat film-film yang box office, tapi di saat bersamaan mereka tetap menjaga kelangsungan hidup berbagai film lain yang bernuansa sama sekali berbeda dengan film-film blockbuster tersebut. Ini penting buat mereka agar mereka bisa terlihat dengan berbagai film yang cukup beragam.
Dan mereka takkan pernah kekurangan orang yang mau membuat film seperti itu, karena Amerika memberi peluang bagi tumbuhnya bakat-bakat besar dunia film mereka. Baik yang pro-industri maupun orang-orang yang anti-established industri. Mereka bisa saja datang dari mana saja. Salah satu rumah bakat yang sering disebut adalah festival film independen seperti Sundance Film Festival. Sebuah festival yang dibangun oleh aktor Robert Redford di Park City Utah. Di sinilah nama Quentin Tarantino mulai disebut-sebut orang. Sundance kini bisa disebut sebagai ajang bakat untuk mengisi tuntutan ratusan jam film Hollywood setiap tahun. Dari Sundance, mereka akan diadopsi untuk membuat film buat major studio, karena itu banyak film keluaran Sundance yang dinilai tidak lagi punya sikap kritis terhadap politik di AS, lantaran mereka ingin naik kelas dan nantinya menjadi sutradara studio besar.
Festival Sundance juga menghasilkan beberapa fenomena. Dari ajang ini muncul film Blair Witch Project, yang diproduksi hanya dengan US$ 12 ribu, yang kemudian dibeli oleh Artisan studio besar dengan harga US$ 7 juta. Selain Quentin Tarantino, Hollywood juga mengadopsi Bryan Singer, sutradara film menarik The Usual Suspect yang kini menangani serial Xmen. Ini semua berawal sejak Redford membuka semacam market untuk film independen di Sundance. Di sini, selain diputar dan dikompetisikan, difasilitasi pula negosiasi dan pembelian-pembelian. Lalu, yang terjadi Sundance menjadi mirip Hollywood. Perhatian terhadap satu film akan bergantung pada kemampuan produsernya menggalang pesta, sekalian menghibur para wartawan dan juga distributor, yang memang datang khusus dari Hollywood.
Miramax Film milik Weinstein bersaudara bisa dibilang adalah tuan rumah kedua Sundance selain Redford. Mereka yang dulunya hanya pembeli film-film yang diputar di Sundance kini menjadi penyelenggara pesta yang besar di sana. Miramax adalah pemilik dominan dari film-film artistik Eropa masa kini. Mereka menguasai paham dagang AS yang mendunia, you have the money, you have the power.
Jadi, kini sulit mengharapkan film-film yang kontroversial dari berbagai festival film independen yang telah menjadi mainstream seperti Sundance. Tak aneh bila kemudian muncul perlawanan justru dari kubu yang mengadakan festival lebih kecil. Di kota yang sama dalam waktu yang kurang-lebih sama, lahir Festival Film Slamdance, yang telah memasuki usianya yang ke-10. Festival ini dulunya khusus menerima film-film buangan Sundance. Namun, kini muncul menjadi pilihan beberapa kritikus karena berisi berbagai film yang lebih steril dari pengaruh Hollywood. Tahun lalu saja Slamdance memutar 12 film unggulan dalam seksi kompetisi dari hasil seleksi ketat yang memecahkan rekor sebanyak 2.468 judul film. Walau secara kritis mulai mendapat pengakuan, dan memiliki reputasi tersendiri, tidak banyak dari film-film Slamdance beberapa tahun terakhir yang mendapat distribusi luas, atau sutradaranya mendapat rumah bagus di Hollywood.
Pertengahan tahun, saya diundang ke Los Angeles International Film Festival dan bertemu dengan seorang sutradara muda berumur 25 tahun yang membuat film Bomb the System, sebuah narasi kritis terhadap budaya grafiti di New York yang sekarang dianggap melanggar hukum. Bagi sang sutradara, graffiti art adalah aktivitas yang mendukung keseimbangan pesan politik di AS. Bomb the System adalah alumni Slamdance. Tapi kita tunggu, enam bulan akan terjadi apa dengan film ini? Film ini hanya masuk dalam putaran festival dan belum juga mendapat kesempatan distribusi di AS.
Lantas, pupuskah upaya itu? Beruntung Amerika masih punya orang-orang seperti Woody Allen, Martin Scorsesse, Spike Lee, atau Michael Moore. Mereka adalah sutradara cakap, bisa membuat film kritis dan tetap didistribusikan oleh studio besar. Uniknya, mereka tetap bisa mengontrol film mereka. Orang seperti Woody Allen akan selalu dibutuhkan oleh AS. Akan ada pembela setia. Akan ada market setia.
Namun, pihak studio besar juga punya ukuran untuk film seperti itu, mereka punya bujet yang tak lebih dari US$ 100 juta, yang hanya akan disimpan untuk nama-nama seperti James Cameron dan Jerry Bruckheimer. Hollywood memang terpaksa harus memainkan peran seribu wajahnya. Sebab, bagaimanapun, film adalah industri yang melibatkan uang yang besar.
Riri Riza
Penulis adalah sutradara film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo