Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bianglala Berwarna Hitam

Osama tak bersangkut paut dengan Bin Ladin. Film tentang seorang gadis kecil, pahlawan keluarganya, korban kefanatikan Taliban.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


DI Afganistan, hidup sebuah dongeng yang disampaikan turun-temurun. Alkisah, seorang bocah lelaki pekerja keras merasa tak kuat lagi
menanggung beban itu lebih lama. Ia tak melihat jalan lain kecuali meninggalkan kelaki-lakiannya, menjadi bocah perempuan. Dengan demikian, ia hanya tinggal di rumah sepanjang hari, bebas dari ritual yang mendera badan. Dalam dongeng, keajaiban terjadi. Ia berjalan melintasi sebuah pelangi, sekonyong-konyong ia menjelma jadi anak perempuan.

Dalam Osama, film karya perdana sutradara Afganistan Siddiq Barmaq yang menutup Jakarta International Film Festival (JIFFEST) 2003, kita menyaksikan dongeng ini dituturkan seorang nenek kepada cucunya. Pada suatu malam sepi, menjelang tidur, saat tiga serangkai nenek-anak-cucu itu dirudung putus asa. Sepeninggal suami dan menantu lelakinya, tiada lagi yang diandalkan keluarga itu buat menyambung hidup. Rezim Taliban yang kolot mengharamkan perempuan berada di luar rumah tanpa kehadiran muhrimnya.

Malam itu, si nenek berimprovisasi. Metamorfosis gender itu bisa menimpa anak lelaki yang ingin jadi perempuan, bisa juga sebaliknya. Nenek itu tak melihat perbedaan lelaki-perempuan. Jika rambut anak perempuan dipotong pendek dan ia mengenakan baju anak lelaki, ia pun persis lelaki. Dari pembicaraan itu, bergulirlah perjalanan si bocah mencari nafkah, mengarungi dunia maskulin yang tak bersahabat. Segalanya beres-beres saja, sampai Taliban memerintahkan anak lelaki harus dididik agama dan militer di madrasah.

Di sanalah si gadis dipanggil Osama, sebuah nama yang maskulin, macho, yang diberikan kawan setianya. Nama buat menyembunyikan identitas kelamin sesungguhnya. Di sanalah akhirnya penyamaran itu terbongkar. "Ia perempuan," teriak seorang Taliban, ketika melihat darah haid menetes di kakinya saat "bocah" itu ketakutan menjalani hukuman gantung badan di sumur. Lalu muncul adegan "Osama" dikejar ratusan bocah laki-laki: menggiriskan. Ketika semua yang bersalah dikumpulkan di lapangan, di depan publik, untuk dihukum, lalu diselamatkan seorang tua bersorban yang berniat mengawini gadis itu. Alhasil, dari penderitaan satu jatuh ke penderitaan lain.

Mulanya film ini hendak diberi judul Rainbow, sesuai dengan legenda tentang pelangi di atas. Tapi, karena bercerita tentang kengerian, Barmaq mengganti judul bernada cerah itu. Semua pengambilan gambar Osama dilakukan di Afganistan setelah Taliban jatuh. Barmaq, kelahiran 1962, selama pemerintahan Taliban menyingkir ke perbatasan Pakistan. Di sana ia menulis naskah. Saat Taliban runtuh, ia kembali ke Kabul. Semua aktor film ini bukan profesional. Barmaq mengambil pemain dari para pengungsi. Bintang utamanya, Marina Golbahari, seorang gadis cilik 13 tahun, ditemukannya saat ia mengemis. "Ia memiliki mata yang magis," tutur Barmaq, seperti dikutip sebuah resensi asing. Dalam film ini rambut Marina dicukur.

Penyamaran ini sendiri mengingatkan kita pada dua buah film Iran yang pernah diputar di Jiffest tahun-tahun lalu: Kandahar dan Baran. Kandahar karya Mohsen Makhmalbaf berangkat dari kisah nyata. Tahun 1989 keluarga Niloufer Paziza (pemeran Nafas) pindah ke Kanada karena ayahnya dibenci rezim komunis Presiden Najibullah. Ia bersurat-suratan dengan Dyana, temannya, pegawai bank di Kabul. Tahun 1996 Taliban menundukkan Kabul, melarang wanita keluar rumah. Dyana depresi. Paziza memutuskan ke Afganistan menemuinya via Iran. Mendekati perbatasan, laki-laki penunjuk jalan Paziza menyamar menjadi perempuan, mengenakan burka. Celakanya, di perbatasan mereka dicegat Taliban. Burkanya diperiksa.

Film Baran yang disutradarai Majid Majidi juga berkisah tentang penyamaran perempuan Afganistan menjadi laki-laki. Di sebuah konstruksi bangunan yang belum jadi, di pinggir Teheran, tempat buruh bangunan kasar imigran Turki, Kurdi, dan Afganistan bergulat bekerja. Suatu hari Najaf, seorang buruh Afgan, patah kakinya. Baran, anak perempuannya, menyamar jadi seorang remaja laki-laki bernama Rahmat. Zahra Bahrami, 16 tahun, pemeran "Rahmat", sejak umur dua tahun tinggal di kamp terbesar pengungsi Afgan, Torbat Jaam di Iran, dan tak pernah keluar dari kamp itu, sampai ia main film ini. Bukan kebetulan film Osama di atas sangat memiliki gaya Iran karena yang mendukung film ini sebagai ko-produser tak lain Mohsen Makhmalbaf.

SJS, IFS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus