Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Monster Laut yang Menelan Revolusi

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dini hari, 6 Februari 1971. California yang baru bangun tidur terlonjak oleh sebuah guncangan keras. Di Kota Burbank, seorang tamu yang menginap di Motel Toluca meloncat dari tempat tidurnya, mengintip ke luar, dan terbelalak. Ia menyaksikan, "Semua bergoyang. Kilatan api menyambar di langit, api dari kawat listrik yang putus." Ia mencoba tenang. Disambarnya uang dan kunci. Tapi, begitu sepatu koboi dikenakannya, bumi telah reda kembali.

Sang tamu, anak muda asal New York, memutuskan pergi ke Copper Penny, sebuah kafe di pojok jalan. Baru saja ia mereguk kopinya, sebuah guncangan yang lebih dahsyat kembali muncul. Ia bergegas lari, tapi seorang lelaki lalu memandang matanya, bertanya: "Anda mau pergi ke mana lagi?" Si tamu sadar, ia terperangkap di kafe itu, dan tak punya pilihan kecuali berdoa dan menunggu sampai guncangan itu reda.

Buku Easy Riders, Raging Bulls karangan Peter Biskind, terbitan 1989, berkeyakinan: gempa berkekuatan 6,5 skala Richter itu bagian dari sebuah gempa lainnya. Sebuah guncangan besar revolusi kebudayaan, bukan ala Mao Zedong, melainkan gaya Amerika. Revolusi yang terdengar sayup satu dasawarsa sebelumnya, saat kecemasan akan ancaman si Beruang Merah Uni Soviet mulai mengemuka. Dan kini, seperti ingar-bingar musik rock 'n' roll, perubahan itu tidak lagi berbisik. Di luar sana, gelombang gerakan hak asasi manusia dan Perang Vietnam terus diikuti serangkaian counter-culture: The Beatles, narkotik, banjir pil KB yang meletupkan revolusi seksual. Di dalam sini, di dunia film, lahir satu generasi baru, anak zamannya.

Hollywood industri yang besar, tapi tampak seperti raksasa yang letoi menghadapi semua ini. Peter Bart, Wakil Presiden Paramount Pictures, saat itu melukiskan dengan tepat: "Industri perfilman pada titik kritis, nyaris tersapu bersih dari muka bumi." Pukulan dari generasi bunga cukup keras menghantam wajahnya, tapi resistansi terhadap perubahan tak juga goyah. Easy Riders, Raging Bulls, misalnya, mencatat perjuangan Warren Beatty guna mendapatkan dana untuk produksi Bonnie and Clyde. Suatu hari Beatty berhasil menjumpai Jack Warner, bos Warner Bros, di kantornya. Beatty menciumi kaki sang bos agar sudi mengeluarkan US$ 1,6 juta—tak seberapa jika dibanding produksi Camelot, yang mencapai US$ 15 juta kala itu.

Bonnie and Clyde menawarkan sesuatu yang baru. Selain aktris Faye Dunaway yang memerankan Bonnie, bandit perempuan yang perkasa, Beatty memasang orang-orang yang tak bertampang bintang. Wajah Gene Hackman tak beda dengan wajah orang kampung dari daerah Midwest. Yang menarik, Warren Beatty memboyong seluruh kru filmnya ke Texas, menjauhi, menghindari campur tangan studio. Dengan begitu, mereka lebih leluasa membuat adegan-adegan keras. Prinsip utamanya, tembakan yang dilepas harus serasa ikut merobek kulit pemirsa. Padahal, tidak lazim orang menampilkan adegan berdarah seperti itu.

Bonnie and Clyde cukup revolusioner. Di penghujung film, sebuah klimaks tak jamak muncul. Bonnie dan Clyde berlari dalam adegan slow motion dan jatuh di tengah hujan peluru. Perlahan, kamera mengikuti tubuh-tubuh yang tersungkur dan secara khusus menyorot kepala Bonnie yang bolong, lubang peluru. Jelas, Beatty ingin mengingatkan pemirsa pada tragedi pembunuhan Presiden J.F. Kennedy empat tahun sebelumnya, 1963. Tentu, "penghormatan" setinggi itu bagi seorang bandit (baca: perbandingan tak seimbang pahlawan dengan bandit itu) mendatangkan masalah. Belum lagi trauma yang boleh jadi menimbulkan perasaan tak nyaman di antara pemirsa.

Jidat para eksekutif Warner berkerut melihat rangkaian adegan di luar pakem itu. Jack Warner tampak bosan, tapi ia cuma mempermasalahkan durasi yang dinilainya terlampau panjang: dua jam sepuluh menit. "Inilah dua jam sepuluh menit terpanjang dalam hidupku," katanya. Dalam ungkapan lainnya: penonton akan mondar-mandir kencing tiga kali selama pertunjukan.

Tapi masyarakat punya pendapat lain. Para penonton di Montreal International Film Festival, di Expo 1967, menyambutnya dengan standing ovation panjang. Dan masyarakat Amerika, yang mula-mula tak tertarik, mulai memalingkan wajahnya. Bukan apa-apa, sebelum itu majalah Time dan Newsweek telah memberikan ulasan bernada mencibir. Pikiran orang berubah setelah majalah The New Yorker memberikan satu pujian tinggi dalam kritiknya. Sejak itu, penonton antre di bioskop-bioskop yang memutar Bonnie and Clyde. Di Kota London, anak-anak muda berderet di muka loket, mengenakan baret ala Bonnie.

Di penghujung 1967, Warner tercengang melihat hasil investasinya yang kini melimpah-ruah. Film itu mendatangkan US$ 2,5 juta, dari sewa saja. Karena suksesnya di Eropa, Warner meluncurkan kembali film itu pada 1968, dan cepat mengantongi US$ 16,5 juta—ini membuat Bonnie and Clyde masuk di jajaran 20 film terlaris sepanjang masa. Revolusioner, tapi komersial. Dan fakta itulah yang akhirnya membukakan pintu bagi para ateur—genre baru pembuat film yang menampilkan ekspresi pribadi dalam karyanya-karyanya. Aspek komersial membuat mereka diterima produser besar, aspek revolusioner membuat mereka disambut generasi bunga.

The Graduate, karya sutradara Mike Nichols, bahkan meraih Oscar 1967. Film ini begitu kerap dinilai berhasil menangkap hati generasi bunga. Lagu tema Sound of Silence ciptaan Paul Simon begitu tepat mengalunkan gelombang batin anak-anak muda di negeri itu, yang muak dengan kehidupan borjuis generasi orang tuanya. Hello darkness my old friend, kata duet Paul Simon-Art Garfunkel lirih, dengan iringan gitar. Film dan lagu yang komplet: ada ketidakberdayaan yang bernada nihilis, ada pemberontakan-pemberontakan kecil yang dilakukan si sarjana yang baru keluar dari kampus, Benjamin Braddock (diperankan secara luar biasa oleh Dustin Hoffman), guna mengisi rasa kosong yang mengimpit dadanya.

Dua tahun berselang, muncul Easy Riders yang mencengangkan. Skenarionya kendur tidak kepalang tanggung, sehingga membingungkan para kru, pemain, dan kamerawan. Ongkos produksinya US$ 501 ribu, jelas tidak memadai dibandingkan dengan sasarannya kemudian. Bahkan, karena dana cekak, editing-nya tidak menggunakan efek optik tradisional seperti dissolves, fades, dan lainnya. Begitu pula musik. Tak ada sound track yang didengungkan berulang-ulang untuk melatarbelakangi perkembangan visual. Easy Riders mengalir dengan iringan rock' n' roll yang banyak terdengar di jalan-jalan. Kala editing, sutradara Dennis Hopper menempuh jalan para sineas New Waves di Prancis. Hasilnya: sebuah film mirip dokumentasi, dengan tempo yang lebih dinamis, dan sebuah keajaiban.

Easy Riders memperoleh penghargaan terbaik untuk sutradara baru di Festival Cannes. Dan ketika diedarkan di Amerika, film ini berhasil mengeruk US$ 16,1 juta—dari penyewaan saja. Hebatnya lagi, film ini masuk nominasi Oscar untuk kategori best screenplay. Para penguasa, industriwan Hollywood yang berorientasi pasar, tentu merasa terpukul. Sebab, Easy Riders disutradarai para pemberontak, Dennis Hopper dan Henry Fonda, yang selalu bertolak belakang dengan kepentingan mereka. Bahkan jadi simpatisan komunis Vietkong tatkala Amerika berperang melawan komunis Vietnam Utara dalam Perang Vietnam.

Easy Riders bercerita tentang perjalanan bersepeda motor dua anak muda dari perbatasan Meksiko-Amerika Serikat. Di Meksiko, keduanya membeli narkotik yang kemudian dijualnya di sepanjang jalan menuju New Orleans. Film ini berbicara tentang kehidupan kaum hippies: tidak dari sudut pandang mencemooh, tidak pula memuji. Easy Riders adalah film yang lamban, dengan perkembangan plot yang kerap kali tidak runtut, tidak gampang dinikmati, tapi amat berhasil menangkap fenomena sosial saat itu.

Easy Riders memang sebuah tonggak sejarah. Setelah keberhasilannya, lahirlah gerakan New Hollywood, juga para sutradara yang memiliki daya tawar yang lebih kuat. Dari tangan Robert Altman, muncul M*A*S*H, sebuah film perang tidak biasa: jauh dari glorifikasi sebuah pertarungan, doyan menggunakan bahasa kasar dan adegan telanjang.

Berturut-turut, beberapa sutradara New Hollywood mendapat penghargaan. Sutradara Peter Bogdanovich menelurkan The Last Picture Show, yang menyabet Critic Prize di Venice Film Festival dan nominasi Oscar. Francis Ford Coppola meluncurkan The Godfather II, film yang menyikat enam Oscar, tiga untuk si sutradara sendiri. Layak pula dicatat, The Godfather II, dengan pendapatan US$ 150 juta, telah menyelamatkan Paramount dari kebangkrutan. Lalu, Martin Scorcese dengan Mean Streets, film yang memotret kehidupan keras di jalanan. Film ini menyabet Critic Award di New York Film Festival. Pada era yang sama, muncul pula beberapa aktor hebat: Jack Nicholson, lantas Robert de Niro dan Al Pacino.

Waktu bergulir, dan New Hollywood ternyata tak berumur panjang. Para sutradara dari generasi bunga itu tak bisa bertahan ketika seekor monster tiba-tiba nongol dari kedalaman laut. Jaws (1975) adalah hiu raksasa yang sukses mencuri perhatian penonton. Sekonyong-konyong film-film besar mengalihkan tema—dari humanis, yang menyidik hubungan antar-manusia, menuju ke hubungan manusia dengan spesies lain. Era film penuh monster ala tahun 1950-an seakan kembali, tapi kali ini dengan teknik dan imajinasi dua kali lebih canggih.

Jaws buah regenerasi yang singkat di Hollywood: dari generasi bunga ke generasi selanjutnya. Stephen Spielberg, sutradaranya, seorang kreatif, kaya ide visual. Mulanya, ia putus asa menyaksikan monster bohong-bohongan itu mengambang di tangki. Pucat, tak bernapas, tampak palsu. Ia memutar otak dan muncul dengan ide baru. Spielberg perlahan membangun suspens, dan selama itu monster kesayangannya terhindar dari penglihatan penonton. Monster ganas itu diperkenankan muncul di penghujung cerita, menjelang titik klimaks.

Penonton langsung jatuh cinta. Masyarakat perfilman Amerika menghadiahkan Oscar buat Verna Fields, yang mengedit film ini. Hebatnya lagi, masyarakat luar juga menghadiahi Jaws dengan box office yang mengalahkan semua film yang pernah beredar sebelumnya. Rekor Jaws baru terpatahkan oleh invasi dari ruang angkasa: Star Wars, karya George Lucas, 1977. Lucas, yang semula kurang yakin itu, kemudian banyak dipuja. Star Wars menjadi mesin penghasil uang terbesar sepanjang masa. Ia menangguk US$ 193,5 juta dari penyewaan saja. Dan kita tahu, sukses ini mengundang invasi makhluk ruang angkasa lebih banyak lagi: Close Encounters of the Third Kind, dan ET, yang menyapu habis box office, menutup kesempatan bagi kaum New Hollywood.

Hollywood kini memasuki era film-film gampang yang mengandalkan special effect, dukungan rekayasa pemasaran, termasuk lewat televisi, medium yang tadinya dianggap saingan layar lebar. Honor para bintang semakin menjulang, dan Hollywood memproduksi film-filmnya seperti McDonald, Pizza Hut, dan Kentucky Fried Chicken menghasilkan fast food: instan, dan semua dengan rasa nyaris seragam. Revolusi itu singkat, dan karena itu layak dikenang.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus