INILAH untuk pertama kalinya Mangkunegaran kebanjiran orang. Sekitar 4.500 orang memadati puro (istana kecil) di Kota Solo, Sabtu malam lalu. Itu bukan keramaian upacara adat, tapi memang suatu kejadian yang cukup spektakuler: pergelaran ketoprak yang buat pertama kalinya dipentaskan di pendopo yang terhormat. Ketoprak adalah -- bukan makanan khas Betawi itu, lo -- teater rakyat Jawa yang memaparkan cerita sejarah. Untuk membantu menghidupkan kembali sandiwara yang hampir punah itu, PWI Cabang Solo mementaskannya dengan dukungan dana Rp 35 juta dari pengusaha dan seniman Setiawan Djody. Untung, malam itu hujan tidak turun, sehingga pergelaran yang mengambil cerita Bedhah Kartosuro dengan 150 pemain itu berjalan lancar. Inti ceritanya ialah pemindahan keraton Mataram oleh Paku Buwono II, pada tahun 1745, dari Kartasura ke Solo (kemudian disebut Surakarta), sebuah desa di sebelah timurnya. Iringan gending dan penataan tarinya digarap oleh para mahasiswa jurusan karawitan dan tari STSI Solo. Bahkan sutradaranya pun, S.T. Wiyono, berasal dari sekolah tinggi seni itu, yang terpilih sebagai sutradara terbaik dalam festival kesenian tradisional, tahun lalu. Yang menjadi daya tarik penonton ialah tampilnya beberapa artis yang lengket di hati wong Solo. Misalnya, bekas primadona Srimulat, Jujuk, yang masih juga punya pamor itu. Ada pula primadona lain yang lebih tenar, seperti Murti Sari "Lasmini" Dewi, yang populer lewat film Saur Sepuh. Beberapa bintang panggung ketoprak juga muncul: Jusuf Agil, Marsidah, Widayat, Sugito, Sunarno, dan Marsudi. Supaya karcisnya laku keras, para pelawak lokal pun ditampilkan: ada Ranto Edi Gudel, ada Sandirono, ada GitoGati. Bukan hanya itu. Di antara para pelakon, ada dua nama beken: Gusti Raden Ayu Koes Moertiyah, putri Paku Buwono XII, dan Gusti Pangeran Haryo Herwasto, putra Mangkunegoro VIII. Dua jenis karcis seharga Rp 25.000 dan Rp 3.000 habis tandas. Kursi tamu sebanyak 2.500 tak satu pun yang kosong, sedangkan ribuan penonton lainnya rela berdiri. Boyong kedaton Mataram di abad ke-18 ini memang besar-besaran. Prosesi kirab itu ditampilkan sebagai adegan awal, disusul adegan-adegan flashback yang mengisahkan latar belakang pemindahan keraton yang juga merupakan saat kelahiran Kota Solo. Di barisan depan, tampak sejumlah prajurit berkuda, diiringi para abdi dalem mengusung seluruh pusaka dan harta benda keraton. Permaisuri, para garwa ampil alias selir dan sejumlah putri-putri pun tak ketinggalan. Mereka diangkut dengan joli atau tandu, sedangkan Paku Buwono II (dimainkan dengan amat baik oleh Jusuf Agil) mengendarai gajah. Usai mengelilingi halaman Puro Mangkunegaran, arakarakan megah itu memasuki pendopo agung. Di sanalah flashback cerita itu diungkap -- lengkap dengan adegan perang, kisah asmara, diselingi lawakan. Bedhah Kartosuro yang rencananya dipentaskan 31 Desember tahun lalu itu hampir gagal karena Sekretariat Mangkunegaran minta Rp 15 juta untuk memperbaiki plafon atap pendopo. Panitia penyelenggara kelabakan, lantas memindahkan pergelaran ke Taman Budaya Surakarta. Tapi Bram Setiadi, pengurus PWI Solo yang empunya gagasan pementasan ini, dengan sigap menghubungi K.G.P.A. Sri Mangkunagoro IX, yang saat itu tengah berada di Jakarta. Sementara itu, tersebar berita seolah-olah pihak Mangkunegaran tidak mengizinkan pementasan itu. Mangkunagoro IX, yang buru-buru terbang ke Solo, ternyata tidak tahu-menahu mengenai pemintaan dana itu. Ia bahkan merasa malu. "Waduh, saya merasa terhina. Saya tidak pernah memerintahkan staf sekretariat untuk minta dana perbaikan itu," katanya dengan serius. Ia bahkan menegaskan tidak pernah melarang pementasan itu. "Malah saya gembira, karena hal itu membuktikan orang masih merasa akrab dengan keberadaan Mangkunegaran. Lagi pula, itu juga berarti bahwa pihak Mangkunegaran bisa membantu perkembangan ketoprak. Soal perbaikan plafon atap pendopo itu sebenarnya tidak usah mengganggu pementasan," tambahnya. Ia menganggap soal permintaan dana itu sebagai "kesalahpahaman" dan sudah dianggap selesai. Tapi ada beberapa saran dari pewaris tahta Mangkunegaran itu. Misalnya, panitia dan para pemain dianjurkan berziarah dan tahlil di makam Mangkunagoro I alias Pangeran Sambernyowo di Bukit Mangadeg, Karanganyar. Ia juga minta agar ceritanya tidak mengungkapkan perpecahan kerajaan Jawa menjadi dua keraton (Kasunanan di Solo dan Kasultanan di Yogya) dan dua puro (Mangkunegaran di Solo dan Pakualaman di Yogya). S.T. Wiyono, sutradaranya, setuju. Ia juga tidak mengungkap hal-hal yang menurut dia berbau SARA. Misalnya, pemberontakan Cina yang dramatis terhadap Kompeni di Batavia, yang merembet ke Kartasura hingga keraton sempat diobrak-abrik. Ia juga tidak menampilkan Paku Buwono II sebagai raja yang tak berpendirian (semula menentang, belakangan berpihak kepada Kompeni), tapi "netral". Wiyono juga "berani" mengubah sejarah. Adegan Tumenggung Martopuro marah-marah kepada Paku Buwono II (karena sang raja yang semula memerintahkannya melawan Kompeni tiba-tiba berbalik) disulap: Martopuro marah kepada Patih Pringgoloyo. Meski sikap Martopuro patriotik, adakah marah kepada raja (yang pro Belanda) dianggap tak sopan? Budiman S. Hartoyo, Kastoyo Ramelan*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini