Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Keturunan cina di antara kita

Jakarta: penerbitan yayasan padamu negeri, 1985 resensi oleh: harry tjan silalahi. (bk)

5 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA BARU: KASUS CINA DI INDONESIA Oleh: Siswono Judo Husodo Penerbit: Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri, Jakarta, 1985, 160 halaman SALAH satu syarat untuk membicarakan nation and character building, kalau ingin sukses tentunya, adalah itikad baik, sikap jujur, terbuka, dan perluh pengertian. Syarat itu telah dipenuhi Ir. Siswono Judo Husodo, dalam buku ini. Karenanya, tidaklah berlebihan menyatakan buku ini penting dan menarik. Penting bukan saja karena ditulis oleh seorang pengusaha besar dan sukses dari golongan yang secara logis dapat disebut sebagai "warga lama", tapi Juga karena di bidang "usaha" ini, sampai sekarang, masih dirasakan ketidakserasian hubungan antara "warga lama" dan "warga baru". Menarik, bukan saja karena diangkat dari pengalaman pribadi Siswono, tapi juga karena tulisan ini hendak menjawab pertanyaan: "Adakah Siswono seorang rasialis"? Jawabnya: "Bukan". Siswono adalah seorang nasionalis. Seorang nasionalis yang cemas - kecemasannya yang tecermin adalah kecemasan seorang yang makin tua makin, arif dan bijaksana, serta makin sadar akan arti persatuan dan kesatuan bangsa. Kecemasan yang tumbuh karena kesadaran dan kedewasaan itu telah mendorong Siswono mengungkapkan kenyataan hidup kebangsaannya secara jujur, terbuka, penuhpengertian, dan dengan itikad baik. Ia tidak mau nggebyah uyah (untuk istilah ini mungkin Siswono yang benar: "srembah uyah" halaman 2) dalam memandang kelompok masyarakat Cina. Sebab, sikap generalisasi di dalam menghadapi masalah etnis sangat tidak dapat di pertanggungjawabkan, lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya serba pluralistik. Apalagi kelompok minoritas ini merupakan kelompok sosial yang heterogen. Sebagian dari mereka, misalnya, adalah kelompok yang sudah maupun siap membaur (Tan Dores, Lie Gan Yong, atau Bob Hasan), sebagian yang lain kelompok yang belum dan tidak mau membaur. Masalahnya kini, bagaimana membaurkan mereka, baik pribadi maupun kelompok. Jawaban masalah itu dapat diserap dari pengalaman Siswono dengan teman-temannya yang keturunan Cina, yakni keterbukaan di antara pelaku-pelaku pembauran. Misalnya, keterbukaan Siswono menerima Tan Dores ataupun Lie Gan Yong sebagai teman melakukan berbagai kegiatan, dan sebaliknya. Sebab, ketertutupan akan makin merenggangkan kehidupan kemasyarakatan, dan tak akan menumbuhkan solidaritas sosial. Padahal, dengan semangat solidaritas itu akan lahir nasionalis-nasionalis yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri (halaman 121). Untuk sampai pada keterbukaan ini dibutuhkan keberanian melepaskan diri dari "keterikatan keleluhuran", yang dengan sendirinya akan menumbuhkan keterikatan diri dengan "tanah dan air di mana seseorang itu hidup dan mencari penghidupan" (halaman 56 dan 62). Juga dalam dunia usaha, keserasian hubungan dapat terjalin melalui kerja sama yang saling terbuka (baca: saling menguntungkan). Warga baru yang biasanya sukses (tentu tidak semuanya) dalam bidang ini -rela" memberikan "ilmu"-nya kepada warga lama yang biasanya kurang sukses (walau juga tidak semuanya). Tetapi, mengapa mesti warga baru saja yang dituntut? Mengapa tidak juga Siswono, warga lama yang sukses di bidang ini? Kesadaran membuka diri memang merupakan bagian dari kesadaran untuk menyatu sebagai bangsa Indonesia, yang tentu harus dilaksanakan secara timbal balik sehingga terwujud suatu perasaan keindonesiaan yang sama. Kita tahu apa yang dimaksud dengan "warga baru". Tetapi, mengapa istilah "warga lama" dipakai di sini? Alasannya, barangkali soal ada dan perlu diberi nama. Ada yang menamakan pribumi dan nonpribumi, asli dan tidak asli, dan sebagainya. Hanya saja dengan istilah itu timbul persoalan. Bisa dipertanyakan: Mengapa mesti istilah warga baru? Warga dari mana? Kalau yang dimaksud "warga masyarakat di Indonesia", jelas Bob Hasan, misalnya, pasti lebih tua dari Siswono. Dengan demikian, Bob tentunya adalah warga masyarakat yang lebih lama tinggal di Indonesia dibandingkan Siswono. Kalau yang dimaksud "warga negara Indonesia", timbul persoalan yuridis-konstitusional. Baik Siswono (lahir 1943) maupun Tan Dores dan Bob Hasan (lahir 1940) sama-sama menjadi WNI pada 17 Agustus 1945. Yang satu melalui diterimanya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, dan dua lainnya melalui UU No. 3 Tahun 1946 (diperbarui dengan UU No. 6 Tahun 1947), yang berlaku surut sampai 17 Agustus 1945. Jadi, secara yuridis masalah asli dan tidak asli juga dapat diselesaikan pengertiannya (historis -interpretatif). Namun, tentu kita semua tahu, banyak orang akan bilang, "Bukan itu maksudnya, tapi ada deh!" Dan, "Untuk itu perlu kesabaran dan penuh pengertian," kata Siswono. Soal lain, perbandingan kegembiraan Siswono tentang kekayaan Liem Sioe Liong dan Probosutedjo (halaman 23-26). Sikap dan pandangannya dapat dimengerti. Namun, akan timbul persoalan, apakah juga ada perbedaan kegembiraan baginya dalam memandang kemenangan Lim Swie King dan Icuk Sugiarto di arena kejuaraan All England. Tentu saja kedua hal itu tidak sama dan tidak dapat dipersamakan. Ini pun dapat dimaklumi. Persoalannya, sampai di mana batasnya dan sampai kapan ini akan berlangsung. Dalam soal ini, tokoh seperti Siswono pun masih "kisruh" dan menjadi ewuh oyo ing pambudi. Sebab, Siswono di lain pihak merasa heran mengapa ada pertimbangan rasial di dalam mencalonkan Joko Sudiyatmiko, sedangkan ia akan merasa bangga bila wakilnya adalah Joko (halaman 138). Jawaban Siswono: "Sabarlah, tabahlah dan berjuang terus sebagai nasionalis Indonesia." Kita setuju untuk jawaban itu. Masalah pembauran bukanlah sekadar masalah individual, tapi ada aspek masalah kelompoknya. Ini disadari Siswono. Karena itu, penyelesaiannya pun harus dilakukan baik secara individual maupun kelompok antara warga lama, warga baru, dan pemerintah dengan semangat kejujuran, keterbukaan, serta itikad baik membangun suatu bangsa yang kukuh, kuat, dan bersatu. Perangkat dasar kenegaraan kita sudah menyediakan sarana-sarana untuk tujuan itu, cuma dalam penjabaran dan pelaksanaannya masih terdapat aneka macam hambatan dan tantangan. Buku ini bukan dimaksudkan Siswono sebagai roman atau novel maupun buku yang berpretensi ilmiah. Ia lebih merupakan renungan dan refleksi diri anak muda, yang menjadi dewasa tentang suatu masalah kebangsaan yang cukup sensitif. Tapi, mengingat persoalannya dihayati secara intensif, maka sering cetus-cetusannya tidak logis konsekuen karena memang melibatkan hal-hal yang tidak rasional. Buku yang penting dan menarik ini pantas dibaca, dipahami, dan dipakai sebagai bahan renungan oleh semua pihak, baik "warga lama" maupun "warga baru". Harry Tjan Silalahi Wakil Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and Internaational Studies (CSIS), Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus