Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kisah Sebelum Tidur Panjang

Joesoef Isak wafat pada usia 81 tahun. Jurnalis-penerbit yang tak pernah menyerah.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT petang dua pekan lalu itu, Joesoef Isak berbicara lancar dalam sebuah diskusi dengan sejumlah wartawan muda di Jakarta. Suaranya memang lirih, tapi artikulasinya bersih, dan jalan pikirannya jernih. ”Sebetulnya aku masih mau bicara banyak,” katanya kepada Budi Asni Isak, istrinya, sekembali ke rumahnya di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan. ”Tapi teman-teman menghentikan, mungkin khawatir aku kelelahan.”

”Kami ngobrol sampai pukul setengah dua belas malam itu,” Asni bercerita. Joesoef juga memberi tahu, esoknya penyair Sitor Situmorang dan beberapa teman akan datang untuk sebuah pertemuan. Pembicaraan di pembaringan itu diakhiri dengan Joesoef Isak membalikkan badannya ke kiri, lalu tertidur pulas. ”Esoknya Sitor dan teman-teman memang datang... untuk melayat,” Asni merenung.

Sabtu dini hari, sekitar pukul 01.30, wartawan senior kelahiran Kampung Ketapang, Jakarta, 15 Juli 1928 itu mengakhiri perjalanan hidupnya. ”Sebelumnya dia tidak mengeluh apa-apa,” kata Asni kepada Tempo. Seperti biasa, Joesoef mendengkur. Tapi, menjelang pukul 01.30 itu, dengkurnya terdengar lebih keras dan tak biasa. Ketika hendak dibangunkan, tubuhnya sudah dingin dan kaku.

Joesoef Isak memulai karier jurnalistiknya pada usia 18 tahun di surat kabar Berita Indonesia, Jakarta. Ia baru lulus Taman Dewasa—setingkat sekolah menengah umum—di Kemayoran, ketika itu. Pada 1949, Boerhanudin Mohammad Diah, pemilik surat kabar Merdeka, membeli Berita Indonesia—dan langsung menutupnya. Joesoef dan sejumlah karyawan lain pindah ke Merdeka.

Ketika Diah diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Cekoslovakia, pada 1959, Joesoef—dengan persetujuan Presiden Soekarno—ditunjuk menjadi Pemimpin Redaksi Merdeka. Setelah itulah muncul berbagai intrik. Beberapa ”orang dalam” Merdeka melapor kepada B.M. Diah: Joesoef makin bergerak ”ke kiri”. Pergaulannya yang akrab dengan pemimpin dan intelektual Partai Komunis Indonesia, Njoto, disebutkan sebagai indikasi pergeseran kecenderungan politiknya.

Diah mengambil keputusan penting: mengangkat Joesoef menjadi Direktur Grup Merdeka, tapi harus melepaskan jabatan pemimpin redaksi. ”Saya ditendang ke atas,” kata Joesoef suatu ketika. Sejak saat itu Joesoef, yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jakarta, meninggalkan kantornya dan tak pernah kembali.

Keluar dari Merdeka, kiprah Joesoef di ranah jurnalistik justru berkibar. Ia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika, dan Wakil Presiden International Organization of Journalists. Tetapi, setelah 1 Oktober 1965, semuanya berubah. Pemerintah Orde Baru menjebloskan Joesoef Isak ke penjara, dan baru membebaskannya pada 1977—setelah sepuluh tahun diterungku tanpa pernah diadili.

Bersama Hasjim Rahman, bekas pemimpin umum surat kabar Bintang Timur, dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, pada 1980, Joesoef ikut mendirikan Hasta Mitra, usaha penerbitan yang pada masa awalnya menerbitkan karya-karya Pramoedya, terutama yang ditulis di pembuangan. Penerbitan ini segera terkenal, terutama di kalangan aktivis dan pejuang demokrasi, dengan gebrakan tetralogi Bumi Manusia yang fenomenal itu.

Meski buku-bukunya dibredel, dan Joesoef serta Hasjim Rahman bolak-balik diinterogasi Kejaksaan Agung, Hasta Mitra jalan terus. Bahkan setelah Hasjim dan Pram wafat, Joesoef tak patah semangat. Hingga saat Joesoef wafat, Hasta Mitra telah menerbitkan sekitar seratus buku dari berbagai tema dan bidang kajian.

Untuk keteguhannya memperjuangkan demokrasi dan kebebasan bersuara, Joesoef memperoleh berbagai penghargaan internasional. Antara lain PEN Keneally Award (Australia), Wertheim Award (Belanda), Jeri Laber Award (Amerika Serikat), dan Bintang Chevalier des Arts et des Lettres (Prancis). Tetapi, dalam lima tahun terakhir, kesehatannya menurun. Joesoef, yang sejak lahir mengalami kelainan jantung, mulai sakit-sakitan.

Meski sudah menjalani operasi di Singapura, Joesoef mulai lamban bergerak. ”Dokter bilang otot jantungnya melemah,” kata Asni, yang menikah dengan Joesoef pada 1956, dan dikaruniai tiga anak. Diantar kerabat dan sahabat, Joesoef Isak dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu.

Amarzan Loebis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus