Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRUNEI, 1839-1983: THE PROBLEMS OF POLITICAL SURVIVAL Oleh: D.S. Ranjit Singh Penerbit: Oxford University Press, Singapura, 1984, 260 halaman DI antara negara-negara Asia Tenggara, Brunei, yang berpenduduk 200.000 jiwa dan merdeka pada Tahun Baru 1984, merupakan kisah unik suatu satuan politik kecil yang bisa selamat lebih dari empat abad tanpa pernah menjadi jajahan resmi kolonial Barat. Sejak perjanjian dengan Inggris pada 1888, Brunei hanyalah suatu protektorat dari Inggris, dan tidak pernah menjadi koloninya, seperti halnya Serawak dan Sabah. Ketika Serawak dan Sabah digabungkan ke dalam Federasi Malaysia, 1963, Brunei bisa lolos pada saat-saat terakhir, sehingga sekarang menjadi entitas politik yang sejajar Malaysia dalam ASEAN dan Persemakmuran. Nasib mujur Brunei yang lolos dari ekspansi kolonialisme Barat, khususnya pada abad ke-19, juga terlihat pada anggota ASEAN lainnya, Muangthai. Bahkan Muangthai, dengan mengandalkan emampuan diplomasi serta memberikan konsesi kepada berbagai kekuatan kolonial, tidak pernah menjadi protektorat negara lain. Bagaimana Brunei mempertahankan dirinya sebagai entitas politik, inilah yang dibahas Ranjit Singh, seorang pengajar Sejarah Asia Tenggara pada Universitas Malaya di Kuala Lumpur, dalam bukunya ini. Sebagai sejarawan, ia mempunyai pendekatan yang cukup kronologis. Ia menonjolkan tonggak-tonggak sejarah yang penting dari Kesultanan Brunei: dari suatu kerajaan besar pada abad ke-15 dan 16 sampai menjadi suatu kesultanan kecil, tapi kaya, pada 1984. Sejarah Brunei dimulai sekitar 1470, setelah sebelumnya menjadi bagian wilayah Majapahit, yang dicerminkan oleh tatanan sosial dan kebudayaannya. Runtuhnya Majapahit memungkinkan munculnya Brunei, yang kemudian mengambil Islam sebagai mantel politik dan dasar Kesultanan, seperti kerajaan Melayu pesisir pada umumnya. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 menyebabkan terjadinya diaspora pedagang Melayu dan penyebar Islam ke arah timur, dan ikut memperkuat peranan Brunei sebagai keraJaan muda usia. Diplomasi, dan tahu diri dalam berhubungan derlgn kekuatan lebih besar merupakan senjata utama Brunei mcmpertahankan kedaulatannya, juga dalam membentuk kerajaan yang besar. Pelabuhan kecil yang awal abad ke-16 berpenduduk 25.000 jiwa ini (suatu jumlah yang besar, mengingat kerajaan Melayu kebanyakan hanya berpenduduk 5.000 jiwa), pertama-tama menjalin persahabatan dengan Cina. Bahkan raja kedua, Ahmad (Ong) Sum-Bing, adalah seorang pedagang sarang burung asal Cina yang sudah masuk Islam dan kawin dengan putri keraton. Masa jaya Brunei berkisar antara 1520 dan 1580 dengan wilayah mencakup seluruh Kalimantan (Kutai, Bulungan, Banjarmasin, Pontianak), Kepulauan Sulu, bahkan sampai ke Manila (Selurong) - semua membayar upeti tahunan berupa satu gantang emas. Pada masa itu Brunei berhasil menggagalkan serangan Spanyol, yang pada 1570-an sudah masuk ke Filipina, berkat diplomasinya dengan Portugis. Tapi Brunei akhirnya tidak luput dari kelemahan umum kerajaan Melayu pesisir, yakni rivalitas antarbangsawan keraton, sehingga terjadi proses desintegrasi kesultanan yang luas itu pada 1640. Klik-klik istana mencari sekutu asing berlainan, sehingga Spanyol menguasai bagian utara Filipina, dan Sulu menjadi kesultanan yang kuat dan bebas dari Brunei. Perpecahan bangsawan keraton ini berlangsung terus selama abad ke-18 dan mencapai puncaknya awal abad ke-19. Tahun 1840, Brunei terpaksa memberikan Serawak kepada petualang Inggris James Brooke, yang diikuti oleh penguasaan British North Borneo Company atas Sabah. Dengan perjanjian proteksi dari Inggris pada 1888, eksistensi Brunei terjamin, tapi wilayahnya sudah jauh lebih kecil, yakni wilayah yang sekarang saja. Dengan pembaruan perjanjian pada 1905, Brunei menyetujui dibangunnya birokrasi sederhana oleh Inggris di bawah pengawasan seorang residen. Proteksi Inggris ini juga menguntungkan negara itu, ketika ditemukan minyak, yang pada 1935 sudah menghasilkan surplus US$ 11 juta, dengan monopoli perusahaan campuran Inggris-Belanda, Brunei Shell. Faktor minyak ini agak kurang dibahas pengarang buku ini dalam menjelaskan mengapa Inggris menyetujui Brunei untuk tidak masuk dalam Federasi Malaysia, 1963. Memang ada Partai Rakyat Brunei pimpinan AM Azahari yang menolak sama sekali ide Malaysia. Karena Azahari menginginkan kebangkitan Brunei Raya seperti abad ke-16 dalam suatu Federasi Borneo (bersama Sabah dan Serawak), bahkan dengan membuka kemungkinan suatu monarki konstitusional di bawah Sultan Brunei. Tapi (Omar Ali Saifuddin), sultan Brunei waktu itu, agak bimbang serta risi dengan Azahari, yang dengan appeal populisnya dianggap kepala negara menggerogoti kekuasaan raja. Lagi pula, ide untuk bersatu dcngan para sultan di Semenanjung lebih menarik hatinya, di samping penolakan Sabah dan Serawak terhadap ide Federasi Borneo. Kenapa Brunei gagal jadi anggota dan salah satu negara bagian Malaysia? Ranjit Singh terutama menekankan pada kekhawatiran Sultan Brunei terhadap pajak yang akan diambil Pusat (Kuala Lumpur), yakni US$ 40 juta darl penghasilan US$ 90 juta setahun. Di samping itu, juga disebut kekecewaan Sultan Brunei yang tidak akan bisa diangkat sebagai Yang Dipertuan Agung Malaysia. Bahkan akan diperlakukan sebagal anggota junior saja. Kemangkelan lainnya adalah kepada ucapan perdana menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman yang mengatakan, "Adalah mustahil buat wilayah dengan penduduk lebih kecil dari Perlis (negara bagian di Malaysia) untuk merdeka." Alasan tambahan, mengapa Brunei tidak bergabung dengan Malaysia: Pertama, terjadinya "Pemberontakan Brunei" oleh Partai Rakyat pimpinan Azahari, Desember 1962. Walau belum jelas apakah pemberontakan itu memang di siapkan atau hanya provokasi Inggris (seperti dituduhkan Partai Rakyat), Sultan Brunei sampai pada kcputusan untuk mengikuti kehendak mayoritas rakyatnya yang menolak keanggotaan di Federasi Malaysia. Kedua, adalah peranan perusahaan minyak Brunei Shell, yang, ketika hangat-hangatnya isu keanggotaan pada Malaysia, justru memperoleh ladang minyak baru di Serai. Bagi perusahaan itu, lebih untung jika Brunei berada di luar Malaysia, mengingat kemungkinan pajak yang besar dari Kuala Lumpur. Perubahan sikap London dalam mendukung Sultan Brunei untuk tidak masuk Malaysia, serta lobi Brunei Shell, tidak banyak dibahas Ranjit Singh. Juga kurang dibahas perubahan konfigurasi regional di Asia Tenggara setelah 1967, khususnya konsolidasi ASEAN, sehingga dapat menjadi "payung pelindung" terhadap Brunei setelah merdeka, dalam skala lebih aman dari perlindungan Inggris, terutama karena jaminan Indonesia dan Malaysia. Dengan payung pelindung baru ini diharapkan Sultan Hassanal Bolkiah secara bertahap membangun negerinya, baik di bidang politik (ke arah sistem yang lebih terbuka) maupun di bidang ekonomi (khususnya sektor nonminyak). Buku ini merupakan penuntun sejarah yang baik dalam memahami tetangga ASEAN kita yang paling muda itu. Burhan Magenda Pengajar mata kuliah Masyarakat Asia Tenggara pada Fisipol UI, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo