Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia Bertutur kembali digelar di Bali.
Menghadirkan puluhan acara dan ratusan seniman dalam dan luar negeri.
Mengambil tema subak untuk menggali inspirasi yang menggambarkan adanya keharmonisan dengan alam.
SEBUAH megafestival, sebagaimana diikhtiarkan Indonesia Bertutur 2024, tentulah mengundang pesona sekaligus pengharapan. Dihadirkan di Bali pada 7-18 Agustus 2024 di tiga lokasi, Batubulan, Ubud, dan Nusa Dua, 100 karya kolaborasi digelar di sekian venue pilihan. Dia antaranya Neka Art Museum, Museum Puri Lukisan, ARMA Museum, Rumah Wayang dan Topeng Setia Darma, Tonyraka Gallery, serta Peninsula Island.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak kurang 900 seniman dari 15 negara di Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Serikat berkolaborasi dalam beragam ekspresi yang menjunjung semangat “Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”. Para seniman tersebut ditantang mengolah tradisi yang diinterpretasi ulang dengan teknik dan nuansa baru. Subak ditetapkan sebagai acuan tematik, galian inspirasi yang menggambarkan adanya harmoni antara Sang Pencipta, alam, dan sesama makhluk (Tri Hita Karana).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ko-kurator Indonesia Bertutur 2024 adalah Bagus Purwoadi (Visaraloka/ekshibisi seni rupa kontemporer, seni performance); Reizki Habibullah (Kathanaya/seni tutur tradisional); Rebecca Kezia (Ekayana dan Anarta/seni pertunjukan, Samaya Sastra/program sastra); Elysa Wendi (Layarambha/film dan tari); Isha Hening (Kiranamaya/video mapping, seni instalasi); dan Sandy Uban (Virama/pertunjukan musik) di bawah arahan Direktur Artistik Melati Suryodarmo dan Direktur Festival Taba Sanchabakhtiar.
Indonesia Bertutur pertama digelar di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah (2022), yang diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebagai lanjutan, Indonesia Bertutur 2024 ditetapkan sebagai sarana menjelajahi cagar budaya dan intangible cultural heritage—sumber ilmu pengetahuan dan gagasan yang relevan dengan kehidupan hari ini. Bukan kebetulan Bali dipilih sebagai ruang presentasi Indonesia Bertutur. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah menjadikan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (2012), menyusul pengakuan yang sama terhadap tari wali, bebali, dan balih-balihan (2015).
Seturut pengharapan festival kolosal ini melahirkan capaian seni yang menginspirasi, berikut kumandang seruan kesadaran atau kepedulian akan lingkungan, sekian pertanyaan pun mengemuka. Masihkah subak menjadi sumber nilai (local wisdom) yang berpengaruh pada pranata sosial masyarakat Bali yang kian urban saat ini? Bagaimana pula kebijakan kuratorial sebagai sebuah hulu perhelatan dipresentasikan dalam pilihan program yang memungkinkan seniman kontemporer berkreativitas secara lintas batas?
Begitulah festival kolosal ini dibayangi hal yang terkesan paradoks. Kita dihadapkan pada pertanyaan bagaimana merawat keagungan warisan tradisi seraya menyelamatkan dan mewujudkan pengharapan masa depan (harmoni) di tengah realitas kini yang memprihatinkan (alih fungsi lahan tak terkendali, kerusakan lingkungan di segala sisi, hingga keprihatinan UNESCO atas kondisi subak Jatiluwih).
Pentas Maha Wasundari dalam pembukaan festival Indonesia Bertutur 2024 di Gianyar, Bali, 7 Agustus 2024/.ANTARA/Fikri Yusuf
Seremoni dan pertunjukan pembukaan Indonesia Bertutur yang mengetengahkan tiga tarian Bali (wali, bebali, dan balih-balihan), disadari atau tidak, dapat disimak sebagai upaya melampaui hal paradoks yang dimaksud. Bertajuk Maha Wasundari, pertunjukan pembukaan tersebut merujuk pada kemuliaan air dan bumi yang menghidupi manusia.
Sutradaranya adalah Wayan Sumahardika, dengan penata artistik panggung Iskandar Loedin dan Ichtiar Iskandar serta penanggung jawab artistik I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra. Ritus seni ini ditandai ritual meprayascita dan ditutup dengan daksina bakti panglebar sebagai persembahan puja bakti. Proses ritual menjadi bagian pemanggungan yang dilakukan oleh Jero Mangku Serongga, pemangku adat Desa Batubulan, Gianyar, serta para tetua dari Desa Adat Geriana Kauh, Desa Pelilit, dan Desa Tejakula. Dalam pandangan saya, Maha Wasundari bisa dikatakan adalah sebentuk total art dengan beragam repertoar sebagai unsur persembahan seni yang dirangkai menjadi kesatuan presentasi yang padu secara keseluruhan.
Repertoar itu merangkum tari baris jangkang dari Desa Pelilit, Nusa Penida (tari wali); wayang wong dari Desa Tejakula, Buleleng (tari bebali); barong ngelawang (balih-balihan); penampilan kelompok gamelan Sanggar Nata Swara; palawakya oleh maestro tari Ni Luh Menek; dan petikan tayangan film dokumenter tari Sang Hyang Dedari dari Desa Geriana Kauh, Karangasem (tari wali), yang menggenangi latar panggung.
Meski Lapangan Chandra Muka, Batubulan, sebagai tempat pergelaran dikreasi sedemikian rupa dengan tata duduk lesehan untuk ribuan penonton, suasana guyub dan hangat ala Bali tak terwujud sepenuhnya. Tata artistik lampu, terlebih sistem tata suara yang hanya dihadirkan di sekitar panggung, menghasilkan orkestrasi suara gamelan, gaung mantra, dan kidung yang semata terkesan sebagai pengiring peristiwa tari di atas panggung.
Mendekati ending, barong-barong ngelawang dari sisi penonton meniru arakan barong dalam ritual pada waktu-waktu tertentu, seiring dengan turunnya para penari wayang wong dari panggung. Semua itu tidak serta-merta berhasil membangun atmosfer kebersamaan sebagaimana lelaku ritus seni tradisi di Bali yang meluluhkan jarak antara pelaku (penari, pragina, penabuh, dan sebagainya) dan kerumunan warga yang menyaksikan.
Maha Wasundari menyarankan pemanggungan ini sebagai upaya eklektik, yang menyuguhkan sisi-sisi terbaik setiap repertoar. Tubuh-tubuh penari dan penampil diolah intensitasnya agar meruang (desa) dan mewaktu (kala), seturut filosofi yang hendak dituturkan dalam satu kondisi (patra) tertentu. Diharapkan lelaku ritus ini menjadi kesatuan yang utuh menyeluruh dalam imajinasi pemirsa.
Namun pemanggungan yang diwarnai pidato pembukaan dan kumandang suara penata acara cenderung hadir sebagai suguhan kolase berbagai replika. Terlebih tak ada narasi penjelas sebagai pengantar pertunjukan. Semua narasi presentasi serta pilihan artistik Maha Wasundari, berikut filosofi acuan, hanya tersuratkan dalam situs Indonesia Bertutur dan akun Instagram-nya. Boleh diduga hanya sedikit penonton yang telah membacanya di tengah sekian penjelasan kuratorial dan sekitar 100 narasi acara Indonesia Bertutur.
Pertunjukan Maha Wasundari, yang berupaya melampaui hal paradoks tersebut, sedikit-banyak menggambarkan pula kehadiran festival ini. Pada praktiknya penciptaan dan karya-karya para kreator yang terlibat, meski panggilannya adalah menyadari kenyataan bahwa ekosistem berkesenian kini—terlebih seni tradisi di Bali—lebih terkedepankan sebagai perayaan sukacita (selebrasi) akan capaian estetika belaka. Hal ini tecermin pada sebagian seni performance dan pameran visual, juga pada sekian banyak acara musik di Peninsula Island, Nusa Dua.
Kata “harmoni” yang juga sebagai acuan nilai dan pengharapan memang telah berupaya diterjemahkan melalui berbagai “ritus seni” pada acara ini. Namun secara keseluruhan hal itu lebih terkedepankan sebagai glorifikasi. Kata “harmoni” belum bergema sebagai intensitas kesadaran akan kebersamaan tentang realitas keseharian sosial-kultural dan alam kita yang memprihatinkan. Tak ada diskusi publik sebagai salah satu program utama festival yang dihadirkan khusus untuk mengkritik peran seni dalam upaya kontekstualisasi, kecuali talk show terbatas yang mengiringi mata acara pertunjukan, pameran, penayangan film, dan sastra.
Performance art di Neka Art Museum dalam Indonesia Bertutur 2024 di Ubud, Bali./Tempo/Seno Joko Suyono
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah sesuatu yang given (terberi) begitu saja, bukan pula sebagai kemuliaan yang paripurna lintas masa. Upaya relevansi nilai-nilai itu dengan kekinian, yang diniatkan penyelenggara sejak awal festival digelar, kiranya dapat berefleksi juga pada petikan pidato kebudayaan Hilmar Farid 14 tahun lalu yang menyatakan pentingnya pendekatan kritis. Misalnya, model masyarakat harmonis yang kerap didamba tidak sesuai dengan pemikiran pendiri Boedi Oetomo, dr Soetomo, yang mengibaratkan keharmonian dalam masyarakat layaknya keberadaan orkestra gamelan yang menuntut kepatuhan tanpa syarat. Yang terjadi seolah-olah adalah Ika tanpa Bhinneka.
Hilmar juga merujuk pada sosok historis Sukarno yang justru menjadikan dirinya semacam interlocutor yang menyuarakan berbagai masalah yang merundung rakyat. Sumber suara datang dari lapisan masyarakat, dari yang dinyatakan dalam berita atau pernyataan pimpinan pergerakan serta kaum terdidik lain hingga keluh kesah rakyat jelata. Ini termasuk pula suara yang bergema dalam diri sang pendiri bangsa. Segala suara yang terkesan tak beraturan itu disimaknya guna mencari hakikat ritme dan dipahami sebagai kesatuan (baca: harmoni).
Festival Indonesia Bertutur tentu belum kehilangan relevansinya dalam kenyataan sekarang dan mendatang. Di tengah kemegahannya sebagai megafestival, dalam rundungan kenyataan kita yang diliputi perang, bencana lingkungan, dan kemanusiaan, festival ini mudah-mudahan terpanggil sebagai interlocutor. Festival Indonesia Bertutur diharapkan turut menggemakan segala suara kritis seraya mengelak dari godaan glorifikasi serta suguhan selebrasi berlebih. Festival yang diadakan pada bulan peringatan kemerdekaan ini bolehlah dikhidmati dan didamba sebagai bagian ruang renung. Upaya mulat sarira kebersamaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Maha Wasundari, Ritus Tari, dan Replika Seni"