Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kerusakan Lingkungan dalam Pentas Penutup Indonesia Bertutur

Koreografi Neraka Juga Hijau karya Hartati, yang berkolaborasi dengan Jay Subyakto, menjadi pentas penutup Indonesia Bertutur.

25 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Koreografi berjudul Neraka Juga Hijau karya Hartati ditampilkan dalam penutupan perhelatan seni Indonesia Bertutur.

  • Terinspirasi dari masalah pangan dan kerusakan lingkungan karena ulah manusia.

  • Berkolaborasi dengan Jay Subyakto untuk urusan panggung yang dirancang miring guna menonjolkan elemen dan koreografi.

PERHELATAN Indonesia Bertutur ditutup dengan pentas koreografi Hartati yang berkolaborasi dengan Jay Subyakto. Berkisah tentang kerusakan lingkungan karena ulah manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI panggung yang miring itu, lantai panggung masih terlihat licin dan ada dua tumpuk besar jerami yang menggunung. Latar panggung besi berbentuk setengah lingkaran menjadi pemandangan yang terlihat megah dengan hiasan lampu-lampu dan video mapping. Panggung artistik yang dirancang Jay Subyakto untuk koreografi Hartati itu menutup perhelatan Indonesia Bertutur di Peninsula Island, Nusa Dua, Bali, 18 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu per satu penari muncul dari belakang panggung, masing-masing menggenggam rotan. Mereka memukulkan rotan ke lantai. Para penari itu pun menjadi dua kelompok, berhadapan seperti akan beradu dengan tongkat rotan. Mereka lalu menghilang lagi di belakang panggung.

Setelah itu, muncul lagi beberapa penari yang kali ini mengenakan kostum seperti jubah bertudung. Perlahan mereka berjalan mengambil posisi, bergerak berputar di bawah temaram cahaya dalam iringan musik yang misterius. Masing-masing bergerak dalam koreografinya dan terbagi dalam dua kelompok. Setumpuk besar jerami ada di hadapan tiap kelompok. Di atas tumpukan jerami itulah kemudian mereka kembali menari. Tumpukan jerami itu terkoyak oleh kaki dan tangan para penari.

Beberapa penari masih bergerak di sekitar tumpukan jerami. Sebagian yang lain memindahkan jerami, menghamburkannya di area panggung yang kosong, lalu berguling dan berlari mengambil jerami lagi. Sebagian penari mengambil lagi jerami yang telah dihamburkan dan diletakkan di tumpukan yang telah terkoyak itu. Dalam sekelompok, lima penari bergerak seperti hendak mendekati kelompok yang lain. Mereka lantas berpencar, masing-masing menggenggam jerami, berlari ke segala penjuru panggung. Para penari berdiri berjajar berhadapan sambil menggenggam dan mengayun-ayunkan jerami ke depan dan belakang dalam posisi badan agak merunduk, lalu menghamburkannya ke udara.

Mereka membentuk lingkaran sambil mengumpulkan jerami-jerami. Tiba-tiba air mengalir dari bagian atas panggung. Beberapa penari berlari ke panggung bagian atas, terjatuh dan terguling. Sementara itu, beberapa penari lain berusaha menyelamatkan jerami-jerami tersebut, tapi mereka pun ikut hanyut oleh air. Adegan ini seperti mengingatkan bencana hidrologi banjir di lereng-lereng gunung dan lingkungan yang rusak. Air menghanyutkan segala yang ada. Adegan ini menutup koreografi berjudul Neraka Juga Hijau itu.

Neraka Juga Hijau merupakan sebuah metafora Hartati untuk menggambarkan keadaan lingkungan Indonesia saat ini yang rusak karena ulah manusia. Karya ini diciptakan khusus untuk Indonesia Bertutur yang mengangkat tema “Subak: Harmoni dengan Pencipta, Alam, dan Sesama”.

Di panggung Anarta, Hartati membagi karyanya menjadi dua tahapan. Pada mulanya ia menciptakan koreografi yang mengisyaratkan ketika manusia memanfaatkan alam untuk kehidupan mereka dan sekaligus merusak alam itu. Sementara itu, pada segmen kedua, ia menghadirkan usaha para petani bekerja dan merawat alam. “Pada bagian kedua itu soal harmoni kita biasa melihat petani bekerja keras dengan tekun, sabar, dan ikhlas,” ujarnya saat ditemui di Peninsula Island.

Inspirasi karyanya berawal dari keprihatinan akan kerusakan lingkungan, bukan hanya soal pangan. Lahan yang tidak lagi menghasilkan, telah rusak, atau berganti fungsi itu juga memprihatinkan. “Hubungan manusia dengan alam tidak lagi harmonis. Eksploitasi itu sudah pasti,” tutur Hartati. Manusia sebelumnya bisa hidup selaras dengan alam, berkomunikasi dengan alam lewat mantra-mantra saat menanam benih dan ketika masa panen tiba. Ia juga menggunakan material seperti jerami, rotan, dan tanah dalam karya sebelumnya, Jarum Dalam Jerami (2022).

Neraka Juga Hijau memberi satire khusus terhadap pertanian sawit yang menciptakan kesengsaraan. “Itu metafora dari apa yang kita lihat di lingkungan pertambangan, pertanian, atau perkebunan. Yang paling jelas itu kalau kita lihat perkebunan sawit kan neraka, tapi hijau,” katanya.

Untuk karya ini, Hartati berkolaborasi dengan seniman Jay Subyakto, yang menciptakan panggung Anarta yang miring. Jay memang berpengalaman sebagai penata artistik dalam beberapa pementasan dengan panggung miring. Misalnya dalam pentas pertunjukan Matah Ati dan Laskar Pelangi beberapa waktu lalu. Hartati dan Jay mendiskusikan gagasan bentuk panggung dan menghadirkan elemen yang menunjang koreografi, seperti video mapping, tata cahaya, dan efek.

Konsep panggung Anarta berdimensi 20 x 20 meter didesain dengan kemiringan 10 derajat. Di belakang panggung ditambahkan cangkang yang membentuk sayap setinggi 20 meter. Pada cangkang itu ditampilkan efek cahaya yang mendukung karya Neraka Juga Hijau. Desain yang miring akan memperlihatkan konfigurasi yang bagus.

“Karena dia bikin jerami berbentuk lingkaran, kemudian juga koreografinya membentuk konfigurasi dari orang-orang dan elemen yang dipakai jadi lebih efektif,” ujar Jay.

Salah satu alasan yang membuat Jay tertarik berkolaborasi dengan Hartati adalah kesamaan keprihatinan terhadap lingkungan dan penghancuran hutan di berbagai pulau. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, menjadi hutan homogen dan mematikan flora-fauna yang beragam. “Hutan seharusnya heterogen,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Rovin Bou dari Badung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Neraka Hijau di Panggung Miring"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus