Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembalinya Para Perupa Senior

Anggota Komunitas Cibubur adalah para seniman yang terlibat dalam Gerakan Seni Rupa Baru dan kelompok Kepribadian Apa. Berkumpul untuk kembali ke kancah seni rupa.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENTAM lagu Somebody to Love dari Queen melantun dari tape di tingkat tengah sebuah rak. Tingkat lainnya disesaki buku, kertas, dan surat kabar. Di rak bawah terdapat komputer dengan program Adobe Photoshop menyala. Sebuah kaleng kerupuk tergantung menghiasi rak itu.

”Mbang, karya klasik begini kok masuk, ya?” tanya Alex Kela Susanto, yang duduk di kursi panjang bersama Tri Sapta Anggoro, sambil membuka-buka halaman buku Post-Modernism karya Charles Jencks yang setebal album foto perkawinan.

”Enggak. Itu sudah masuk modern,” kata Bambang Sudarto seraya menjulurkan kepalanya menengok gambar yang ditunjuk Kela: patung hiperealis karya John de Andrea dan lukisan fotorealis tentang etalase karya Richard Estes. Keduanya perupa tersohor Amerika Serikat. Patung-patung polivinil berbentuk perempuan telanjang karya Andrea memang sangat realistis, tapi mengingatkan kita pada patung-patung klasik Yunani. Lalu tiga orang itu sibuk membahas beberapa karya di buku tersebut.

Di dekat mereka, Rato Tanggela, putra Umbu L.P. Tanggela, asyik membubuhkan totol-totol cat warna biru di atas kanvas bergambar wajah mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu membantu menyelesaikan lukisan Umbu. Beberapa lukisan Umbu tampak bersandar di dinding lain. Umbu memang sedang menyiapkan sekitar 15 lukisan yang akan dia pamerkan di Surabaya pada Agustus nanti.

Suasana santai tapi serius di studio di kawasan Harjamukti, Cimanggis, Depok, itu terus berembus sepanjang Senin dua pekan lalu. Studio milik perupa Haris Purnomo itu berdiri di atas tanah seluas 1.500 meter persegi. Dua pohon gandaria dan sebuah pohon mangga berdiri tegak meneduhi halamannya.

Di sinilah para perupa Komunitas Cibubur berkumpul dan berkarya. Selain Alex, Bambang, Sapta, Umbu, dan Haris, komunitas itu beranggotakan Bonyong Munny Ardhie, Dirman Saputra, dan Moelyono. Debut mereka ditunjukkan dengan menampilkan beberapa karya dalam Pameran Inaugurasi Green Artspace di Jalan Abdul Majid Raya 46-A, Cipete Selatan, Jakarta Selatan. Galeri ini didirikan Direktur Eksekutif PT Greenstar Artek Siti Farida Abdullah dan perupa Mohamad Cholid. Pameran yang berlangsung sejak 26 Juni hingga 24 Juli ini dikuratori oleh Jim Supangkat. Ini adalah langkah mereka untuk masuk kembali ke kancah seni rupa Indonesia, yang lama ditinggalkan sebagian dari mereka.

Komunitas ini terbentuk pada 2007 atas prakarsa Haris, Umbu, dan Bambang. Usia mereka rata-rata sudah setengah abad. Yang termuda Sapta, 49 tahun, dan yang tertua Bonyong, 64 tahun. Mereka seniman generasi 1970-an yang berteman dekat ketika indekos di Gampingan, Yogyakarta, tak jauh dari tempat kuliah mereka di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ”Asri” (kini Institut Seni Indonesia), kecuali Sapta yang kuliah seni rupa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Kelompok ini terkait dengan kemunculan seni rupa kontemporer di Indonesia pada masa itu. Bonyong dan Haris terlibat Gerakan Seni Rupa Baru pada 1975 dan dikenal sebagai tanda awal seni rupa kontemporer. Sebagian besar anggota komunitas ini juga anggota Pipa (kependekan dari Kepribadian Apa), gerakan protes mahasiswa seni rupa Yogyakarta atas kondisi akademik dan sosial-politik yang mengungkung. Kelompok Pipa lahir dari kejengkelan mereka terhadap diktum estetika yang menggariskan bahwa karya seni harus memiliki kepribadian, yang diterjemahkan dalam garis dan warna pada lukisan. Ini semacam konsep jiwa ketok yang dicanangkan pelukis Sudjojono.

Pipa menggelar sejumlah pameran kontroversial di Jakarta dan Yogyakarta pada 1977-1980. Karya mereka memang mengejutkan. Redha Sorana, salah satu anggotanya, misalnya, memelesetkan lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci dengan mengganti wajahnya dengan muka Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, yang berkacamata. Ada pula Ronald Manullang yang menampilkan rancangan kursi dosen seni rupa yang bentuknya miring. Akibatnya, pameran pertama mereka di Galeri Senisono, Yogyakarta, dibubarkan aparat keamanan.

Namun, setelah 1980, para anggota Pipa berkarier solo, baik di ranah seni rupa, pendidikan, maupun kerja lain. Haris dan kawan-kawan, yang kemudian bergabung dalam Komunitas Cibubur, kebanyakan menggeluti desain grafis dan bekerja di media massa atau perusahaan periklanan. Setelah dua dekade lebih jarang bertemu, mereka berkumpul lagi, dan semangat untuk berkesenian kembali muncul. Tapi tidak mudah. ”Melukis sendirian, tanpa komunitas untuk berdiskusi segala macam, itu berat sekali,” kata Haris. Hal senada juga diakui beberapa anggota lain.

Mereka juga sadar bahwa peta kesenian sudah berubah dengan banyaknya perupa muda yang kreatif muncul. Persaingan ini membuat mereka keder juga. Maka mereka harus menemukan bentuk ekspresi, teknik, dan semangat baru. Masalah itu dipecahkan dengan berhimpun dalam wadah komunitas yang cair dan tanpa idealisme tertentu yang diperjuangkan seperti di Pipa dulu. ”Kumpul-kumpul itu melahirkan kembali api, semangat yang dulu muncul di Pipa,” kata Bonyong.

”Kami semua sudah umur ’pensiun’ dan punya banyak waktu untuk berkumpul. Mungkin karena itu kami lebih mudah berbaur, hal yang tak mungkin terjadi kala masih muda dengan individualitas yang dominan,” kata Haris.

Di komunitas ini mereka berdiskusi, saling mengkritik, dan saling membantu. ”Di sini kami dapat berbagi dan saling mengisi,” kata Umbu.

Karena berlatar desain grafis, metode kreatif mereka berubah. Mereka kini merancang karya dengan bantuan program pengolah grafis di komputer. Setelah gagasan dianggap matang, mereka memasuki sesi pemotretan dan pengumpulan obyek yang dibutuhkan. Hasilnya kemudian diolah di Photoshop untuk melihat efek dan warna yang diinginkan. ”Melukis di kanvas cuma eksekusi akhir. Proses sebenarnya terjadi pada tahap sebelumnya, terutama pematangan gagasan,” kata Haris.

Meski berada di satu wadah, masing-masing mengembangkan karakternya sendiri, seperti tampak pada pameran di Green Artspace. Haris, yang sejak era Pipa mengeksplorasi obyek bayi, kini pun menampilkannya kembali dalam Benang-benang Merah dan Musim Gugur. Yang pertama berupa bayi bertato naga sedang menggeliat dengan benang-benang merah yang tertarik di sekujur tubuhnya. Yang kedua berupa bayi sedang tersenyum dan disiram helai-helai bulu burung.

Dirman menampilkan sepasang lukisan bergambar sepeda motor yang diselimuti rumput hijau dan beberapa capung serta seekor iguana yang mengintai. Moelyono, penggagas ”seni rupa penyadaran” yang mengajak masyarakat menggambar dengan benda keseharian, memamerkan dua lukisan dari Seri Anak Bendungan, yang menampilkan wajah anak dengan muka retak seperti tanah rekah.

Lukisan Alex, Lady in Red, berupa tumpukan sepatu merah di tengah paprika, selada, bawang, dan lengkuas. Kaliber 9” karya Sapta menyajikan semangka bulat berwarna loreng dan potongan semangka dengan biji berupa peluru. Bambang, yang senang dengan apropriasionisme atau pelesetan atas lukisan terkenal, memparodikan Anatomy Lesson of Dr. Nicolaes Tulp karya Rembrandt dengan membuat para dokter mengamati seorang perempuan dalam Anatomy Lesson. Adapun Umbu berkolaborasi dengan Gendut Riyanto dalam Puisi Asmara berupa gambar pensil patah dengan latar lambang hati.

Bonyong setia pada tema mengenai kehidupan petani. Bedanya, kini dia mengeksplorasi dari sudut lain. Lukisan Makan Kangkung menampilkan sang pelukis sedang mengunyah kangkung dengan ekspresi pahit. ”Dulu saya mendatangi petani dan menggambarnya. Saya seperti orang atas yang melihat ke bawah. Di sini saya mengambil posisi sebaliknya,” kata Bonyong.

Keperajinan Bonyong dianggap berubah sejak bergabung dalam komunitas ini. Sebelumnya, tutur Bonyong, lukisannya digolongkan sebagai lukisan jadul, karena tak masuk hitungan di kancah seni rupa masa kini yang diwakili oleh pameran di galeri dan bienale. ”Di komunitas, saya belajar memahami percaturan seni rupa dan pasar,” katanya.

Menurut Jim, banyak seniman kontemporer yang berasal dari desain grafis, seperti Agus Suwage dan Ronald Manullang. ”Dalam perkembangan seni rupa kontemporer itu, bahasa-bahasa spesifik mengalami pembebasan dan kembali ke bahasa komunikasi. Nah, seniman dari seni murni kadang-kadang susah untuk begini karena mereka punya bayangan bahwa kalau bisa dimengerti orang itu enggak canggih. Adapun bagi desainer grafis, apa pun yang dikerjakannya itu selalu komunikatif, sehingga lebih mudah masuk ke sana,” kata Jim.

Bagi Jim, Komunitas Cibubur menunjukkan tanda-tanda seni rupa kontemporer itu. Tinggal lagi, bagaimana mereka mengembangkannya dalam sebuah kerja kolaborasi.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus