LAGI, kekayaan budaya Indonesia bisa dinikmati: sebuah koleksi tekstil tradisional yang sangat lengkap. Pameran tetap di Museum Nasional ini -- beken dengan sebutan Museum Gajah -- diresmikan minggu lalu oleh Menteri P dan K Fuad Hassan. Koleksi sebanyak 4.500 lembar itu, sebagian di antaranya ada yang sudah berusia dua abad, sebab dikoleksi sejak tahun 1778, ketika Museum Nasional berdiri. Ketika itu namanya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga ilmu pengetahuan partikelir yang didirikan oleh kelompok cendekiawan Belanda. Selama ini Museum Nasional ternyata tak punya ruangan khusus untuk menyimpan kain-kain cantik nan antik bernilai tinggi itu. Apalagi ruang pameran khusus. Kain hasil karya kerajinan tangan terampil yang telaten itu hanya diselip-selipkan di antara patung atau koleksi lainnya. Memang ada sebuah ruang simpan, tapi hanya berupa sebuah gudang. Kain yang sudah mulai rapuh itu disimpan dalam peti yang tak terlalu panjang, hingga terpaksa dilipat. Akibatnya, kain yang sebagian bersulam benang emas pun terpaksa dilipat dan menjadi cacat pada bekas lipatannya. Koleksi itu memang "dilindungi" dengan kamfer, juga ada usaha fumigasi, tapi masih ada sekitar 25% yang rusak. Penyakit kuno rupanya selalu menghinggapi kegiatan atau koleksi benda budaya, yaitu kurangnya dana. Untunglah, beberapa bulan lalu ada perhatian -- dan kucuran dana -- dari pemerintah Republik Federasi Jerman. Ruangan itu pun segera dibenahi, dan belakangan disebut Ruang Studi Koleksi dan Pameran Tetap Kain Tradisional Indonesia. Itu sebabnya Duta Besar Republik Federasi Jerman, Karl Walter Lewalter, minggu lalu ikut pula meresmikan renovasi itu. Ruangan tersebut terdiri dari dua lantai, kain disimpan di rak-rak panjang, hingga tak perlu dilipat. Kini koleksi itu bisa "bernapas", setelah suhu ruang penyimpannya diatur, dilengkapi penyinaran yang memadai. Agar tidak cepat rusak atau luntur, enam bulan sekali koleksi itu ditukar dengan koleksi lain. Menurut Suhardini, Kepala Seksi Etografi Museum Nasional, koleksi yang paling tua ialah ulos Batak yang diperkirakan dibuat tahun 1882. Ulos yang bernilai sakral dan sudah amat rapuh itu disimpan dalam plastik. Beberapa koleksi yang termasuk tua, misalnya kain bentenan (Sulawesi Utara), kain simbut (Banten), kain kasang (pesisir utara Jawa). Beberapa di antaranya juga bernilai sejarah, misalnya kain yang pernah dikenakan Sri Sultan Hamengku Buwono atau K.G.P.A. Paku Alam. Kain yang indah antara lain dari Bali, Palembang, Lampung, Toraja, Tanimbar, Irian, Manado. Tekstil tradisional merupakan unsur penting dalam kebudayaan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Bahannya bermacam-ragam: kapas, serat berbagai tanaman, kulit kayu, kulit kerang. Juga bahan lain seperti benang emas atau perak. Cara membuatnya antara lain dengan teknik tenun, ikat, jumputan, batik, sulaman, songket, atau aplikasi. Koleksi Museum Nasional yang terbanyak berasal dari Sumatera, antara lain menggunakan teknik songket (Palembang, Minang, Aceh, Riau), sulaman (Lampung), ikat (Jambi, Palembang, Bengkulu). Di Jambi, batik disebut kain basurek. Ada satu teknik yang lebih sulit yang hanya dijumpai di Desa Tenganan, Bali, disebut kain geringsing. Dalam teknik ikat, hanya panjang atau lebar kain yang diikat, sedangkan pada teknik geringsing kedua panjang dan lebar kain diikat. Pertemuan kedua ikatan itu harus tepat dan menghasilkan warna hitam-putih. Manado, yang semula disangka tak mempunyai tekstil tradisional, ternyata punya. Di museum itu dipajang kain yang cukup tua, buatan tahun 1800-an, dengan teknik ikat. Di bagian bawahnya digantungi beberapa kerincing dan hanya dikenakan oleh para pendeta. Hampir semua daerah di Indonesia, juga Irian, mempunyai kain tradisional. Suhardini tak tahu persis harga koleksi ini. Harga selembar kain Lampung yang tua, misalnya, bisa sampai Rp 10 juta. Untuk mengamankannya, ruang pamer ini dilengkapi kamera yang dapat dipantau dari ruang satpam. Pintu ruang pamer hanya bisa dibuka dengan kartu yang dimiliki beberapa orang di museum. Dibandingkan dengan Museum Tekstil milik Pemda DKI Jakarta di Tanah Abang (berdiri tahun 1976), yang kebanyakan koleksinya tidak terlalu tua, koleksi Museum Nasional jauh lebih lengkap. Bahkan juga bila dibandingkan dengan koleksi tekstil tradisional Indonesia milik beberapa museum asing di Washington, Leiden, Hamburg, Bern. Menurut Ananda Moersid, koleksi itu cukup lengkap. "Dan cukup mewakili teknik tekstil tradisional Indonesia. Juga merupakan museum terbesar dilihat dari jumlah koleksi dan jenisnya. Tapi, dari segi kualitas, kain sari India jauh lebih bagus," kata ketua Jurusan Desain Fakultas Seni Rupa IKJ itu kepada Fairus Husaini dari TEMPO. Bagi Johana Maria Pattinaya Seda, salah seorang kolektor kain tradisional Flores, koleksi Museum Nasional itu kurang berkembang, tidak ada yang baru. Motif-motifnya juga kurang beragam. Bahkan, menurut istri bekas menteri keuangan Frans Seda itu, keterangan mengenai koleksi itu dinilai kurang lengkap. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini