BANYAK limbah perkara limbah, tapi mungkin limbah satu ini yang terbilang wah di Jawa Tengah. Dan tak kurang dari Drs. S. Moelyono, S.H., Kepala Dinas Pariwisata Temanggung, yang dibuatnya pusing. Seperti diutarakannya kepada pers, pertengahan Oktober lampau, ia prihatin terhadap pemandangan tak sedap di Umbul Jumprit, 26 km dari Temanggung, Jawa Tengah. Objek wisata yang terletak di hulu Kali Progo, di lereng Gunung Sindoro, itu riwayatnya bermula dari Singonegoro, putra Raja Brawijaya dari Majapahit, yang melakukan tapa di Segara Kidul -- pantai laut selatan. "Jika ingin berhasil, susurilah Kali Progo dari hilir sampai ke hulu. Kungkum dan buang segala kotoran yang melekat pada dirimu," begitu sang pangeran mendapat wangsit. Singonegoro kemudian menjadi penasihat kerajaan atau nujum Majapahit. Dari kata itulah Singonegoro akrab disebut sebagai Ki Jumprit. Ketika ia meninggal, namanya diubah men jadi Panembahan Tjiptaning. Bersama jasad istrinya ia dimakamkan di hulu Kali Progo -- tempat pertapaannya. Lambatlaun hulu Kali Progo dan makam Ki Jumprit ini beken bernama Umbul Jumprit. Dan sudah lama makam Jumprit menjadi ajang pertapaan beragam orang. Sedangkan tempat kungkum (berendam) persis di depan patung Resi Mayangkara, nama lain untuk Hanoman ketika sudah tua dan menginjak tahap waskita. Patung ini konon sumbangan Jaya Suprana. Juragan jamu itu sering ke sana. Juga sejumlah pejabat pemerintah. Hulu Kali Progo ini tempat pengambilan air suci umat Budha di hari Waisak. Juga penganut Konghucu sering ke sini. Tak heran jika udara Jumprit semerbak bau pembakaran hio dan bunga sedap malam yang ditaburkan di makam. Juga, biasa ada lilin merah menyala terus-menerus. Tujuan orang ke sini macam-macam. Ada yang ingin sembuh dari sakit, dan terbanyak mencari jalan tol untuk berburu uang. Di situ mereka berendam. Tiap hari ada saja yang datang dan pergi. Yang ramai adalah pada hari khusus menurut almanak Jawa -- seperti perayaan 1 Suro, atau hari istimewa lainnya, misalnya malam Selasa atau Jumat Kliwon. Dan belakangan ditambah malam Rabu menjelang penarikan lotere SDSB. Waktu berendam, mereka (ya pria, ya wanita) cuma mengenakan pakaian dalam. Selesai itu mereka melarung (membuang) celana dalamnya. Dan untuk wanita, termasuk behanya. Ini konon meniru apa yang dilakukan Ki Jumprit. Lebih kurang maksudnya dengan begitu mereka membersihkan diri. Boleh jadi, yang empunya diri menjadi bersih. Cuma mereka lupa akibatnya: lingkungan menjadi kumuh. Sebab, limbah beha dan celana dalam ini tergolong luar biasa, baik ukuran maupun jenisnya. Mereknya pun aneka ragam, mulai yang murahan sampai yang pakaian orang gedongan. Itu semua dibuang ke kali. Limbah para pemburu uang itu ingin ditanggulangi Moelyono. Caranya, dengan menyediakan tempat sampah khusus. "Orang sini tidak mau memungut barang buangan ini, sebab dianggap buangan sial," kata Moelyono. Upayanya hampir siasia. Orang tetap membuang celana dalam dan beha ke kali. Jika langsung hanyut, tak soal. Tapi kenyataannya lebih banyak yang tersangkut di ranting pohon di tepi sungai. Akibatnya, pemandangan di sana menjadi cemar. "Niatnya sejak dulu harus melarung pakaian dalam. Ya, sulit diharapkan untuk membuang ke tong sampah," komentar Sukidi kepada Marcelino X. Magno dari TEMPO. Pegawai Perhutani ini sering mengantar tamu ke Umbul Jumprit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini