BUKU Profesor William Liddle ini merupakan rekaman analisa politik Indonesia di masa "senja" Orde Lama dan "fajar" Orde Baru. Bill mempertalikan rekamannya agar yang baru dan lama seolah tak terputus. Empat karangan, ditulis 1969-1977, dan sebuah kata pengantar, mencerminkan rajutan periode "senja" dan "fajar" tadi. Tapi Bill mungkin punya harapan -- seperti terlihat pada kata pengantar -- lebih besar atas masa depan demokratisasi Indonesia lewat pengembangan sistem kepartaian dan partisipasi rakyat yang otonom. Analisa masa "senja" Orde Lama ditampilkan berdasarkan studinya di Sumatera Timur pada 1963-1964. Studi hubungan antara primordialisme dan penampilan partai-partai ini menunjukkan kerumitan jalinan politik yang dalam berbagai hal tak bisa dilihat secara "hitam-putih". Tanpa membantah apa-apa, Bill memperlihatkan Parkindo tak banyak didukung penduduk Kristen di Tapanuli Utara, kecuali pemilik tanah luas. Bill seakan menyerukan perlunya melihat variabel lain dalam hubungan antara primordialisme dan penampilan partai. Ini juga terbukti ketika ia melihat PKI, PNI, dan Masyumi -- partai-partai yang mengklaim dirinya nasional. PKI dan terutama PNI, walau berhasil berakar secara lintas etnis dan agama di kalangan pekerja perkebunan, toh mengandalkan keturunan Jawa sebagai pengurus dan pemimpinnya. Sedangkan Masyumi ditolak oleh kaum Melayu Islam. Analisa masa "fajar" Orde Baru tampil dalam tiga tulisan berikutnya. Ketiganya merupakan analisa rekaman yang menarik: bagaimana respons masyarakat terhadap tampilnya Orde Baru dan pergulatan dengan sisa-sisa visi budaya-politik "lama". Respons dukungan paling artikulatif atas kehadiran Orde Baru diberikan oleh kalangan terpelajar, "pembaharu sekular", yang geonologi intelektualnya tegak pada tradisi berpikir PSI. Bill melihat betapa para tokoh gerakan ini sangat dipengaruhi oleh ahli-ahli ilmu sosial Barat. Mereka memimpikan Indonesia modern atas landasan Orde Baru. Bill tercengang. Bukan karena kefasihan mereka menghafal teori-teori Barat. Mereka tak begitu kenal dengan akar persoalan "politik pribumi". Karena itu, gerakan ini, yang antara lain dipimpin oleh H.R. Dharsono, tak berhasil. Namun bukan saja kaum "modernis" non-negara yang gagal mentrasformasikan keadaan. Hal yang sama dialami oleh negara. Melalui organnya, Golkar, Bill -- meneliti Pemilu 1971 di Kulonprogo, Yogyakarta -- melihat betapa tertatih-tatihnya Orde Baru mengubah political discourse masyarakat dari yang lama ke yang baru. Ini terjadi karena Golkar belum mempunyai visi mantap untuk memberikan eksistensi pada dirinya. Akibatnya, terjemahan "pembaharuan" Golkar menjadi dangkal. Coraknya hampir-hampir tak "berstruktur". Meski Golkar menang, Pemilu 1971 itu tak menjanjikan banyak bagi sistem politik yang "otonom". Karena unsur utamanya adalah "persaingan kekuasaan perorangan dan kelompok, yang sebagian besar basis politiknya terbatas pada gabungan lembaga-lembaga ketentaraan yang kini berkuasa," ujar Bill. Karena itulah, "politik" pada awal Orde Baru, seperti tampak pada tulisan terakhir Bill, masih bergulat dengan pola-pola lama. Tulisan Bill (1978) menjadi menarik jika disimak lewat politik Indonesia saat ini. Pada masa itu, Bill tak hanya melihat munculnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik utama yang mengikis kekuatan partai, tapi juga penguasa yang berideologi -- dalam bahasa saya -- "kesatria". Implikasi kemunculan golongan dengan ideologi tipikal itu cukup jelas. Pertama, ideologi "kesatria" itu bagaimanapun telah berkembang sebelumnya pada masa Soekarno, misalnya PNI yang berorientasi priayi. Peristiwa Malari dilihat berhubungan dengan PSI. Adapun keributan RUU Perkawinan berkaitan dengan pengaruh Masyumi dan NU. Bill juga melihat pola pertentangan Jawa-luar Jawa, orientasi Islam dan non-Islam, serta politik kerakyatan berhadapan dengan orientasi elitis -- sisa pola pertentangan politik PNI, PSI, Masyumi, NU di satu pihak lawan PKI. Kedua, dominasi Angkatan Darat dengan ide "kesatria"-nya itu telah sekaligus mempengaruhi baik sistem maupun manajemen politik. Ide "kesatria" telah membimbing lahirnya pola-pola kepemimpinan yang perlu mendapat respek dari rakyat. Itu dicapai dengan manajemen "kekeluargaan" dalam satuan politik nasional, yang dalam konteks ini, sang "Bapak" yang memimpin. Bill juga bercerita tentang perubahan. Pola-pola pertentangan pada masa lanjutnya Orde Baru ini sudah mengendur. Hubungan Islam dan negara, misalnya, telah berubah secara hampir radikal. Dikotomi pusat-daerah relatif terjembatani. Fachry Ali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini