Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan tarif cukai rokok dan persoalan tata niaga menekan sektor pertanian tembakau.
Secara bertahap, pabrikan terus mengurangi penyerapan tembakau petani dalam negeri, dan mulai mengandalkan impor tembakau.
Sebagian petani mulai beralih ke tanaman lain, seperti jagung dan padi, yang dinilai lebih menjanjikan ketimbang tembakau.
SEPANJANG ingatannya, bahkan sejak zaman orang tua dan kakek-neneknya, hidup Agus Parmuji selalu bergantung pada pertanian tembakau. Kepala Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, ini tak bisa membayangkan bagaimana nasib desanya tanpa tembakau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Orang tua saya berangkat haji juga dari tembakau,” ujarnya ketika diwawancarai, Kamis, 17 Desember lalu. Tanah bengkok yang dia kelola sebagai kepala desa penuh tanaman tembakau. Di lahan seluas 4 hektare itulah dia menanam Nicotiana sp., genus tanaman berdaun lebar dari Amerika Utara dan Amerika Selatan yang kita kenal sebagai tembakau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tingkat produktivitas 700-800 kilogram tembakau kering per hektare, dalam sekali musim tanam Agus bisa menghasilkan 2,8-3,2 ton tembakau varietas rajangan Jawa.
Agus tidak sendiri. Hampir semua penduduk Desa Wonosari menggantungkan hidup pada tembakau. Di desa yang terletak di lereng Gunung Sumbing itu, terhampar sekitar 300 hektare kebun yang menghasilkan ratusan ton tembakau setiap tahun.
“Pokoke mbako. Anak mau sekolah, mau hajatan, semua digelar setelah panen tembakau,” kata Agus. Di desa itu bahkan iuran kampung dibayar dengan sekeranjang tembakau seharga Rp 50 ribu per orang. Istilahnya: jimpitan. Setelah semua terkumpul, barulah tembakau dijual bersama.
Tahun lalu, dana hasil jimpitan hanya terkumpul sekitar Rp 80 juta. Padahal pada 2018 bisa tercapai sekitar Rp 100 juta. “Tahun ini paling bisanya sekitar Rp 150 juta,” ucap Agus. Dana desa dari urunan tembakau itu kemudian dipakai untuk memenuhi kebutuhan komunitas, seperti membangun masjid serta membiayai acara kesenian dan keagamaan.
Aksi unjuk rasa petani tembakau di sekitar Monas, Jakarta, pertengahan November lalu. Foto: Istimewa
Banyak desa di Kabupaten Temanggung yang coraknya seperti Wonosari. Dari 14 kecamatan sentra utama tembakau di sana, berbagai kegiatan warga ditopang hasil penjualan tembakau. Pada 2019, misalnya, ribuan warga Temanggung memenuhi rombongan calon haji Jawa Tengah. Mereka menggunakan dana hasil panen raya tembakau delapan tahun sebelumnya, pada 2011, untuk mendaftarkan diri mengikuti ibadah haji. Pada saat panen besar itu, para petani bisa meraup keuntungan hingga Rp 100 jutaan per hektare.
Sayangnya, masa keemasan kebun tembakau semacam itu tampaknya akan segera berlalu. Bukan hanya petani Temanggung, petani tembakau lain di negeri ini juga akan merasakannya. Indikasi ini dipaparkan tim peneliti Universitas Indonesia yang membantu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional membuat kajian dalam rangka penyusunan peta jalan industri hasil tembakau.
Berdasarkan survei mereka ke beberapa sentra perkebunan tembakau di Indonesia, seperti Temanggung, Rembang, Magelang, Jember, Pamekasan, dan Lombok Timur, kondisi petani di lapangan nyaris serupa. “Kesejahteraan petani tembakau begitu bervariasi,” tutur Abdillah Ahsan, salah satu peneliti dalam riset ini. “Banyak petani yang tidak sukses alias merugi dan ingin beralih (ke tanaman lain).”
Abdillah mengisahkan, ada petani di Magelang dan Pamekasan yang kapok menanam tembakau. Pasalnya, mitra pedagang yang semula berjanji memborong hasil panen mereka ingkar di tengah jalan. “Semula mereka bersepakat memborong Rp 10 juta. Baru bayar Rp 2 juta sudah kabur,” ujarnya.
Ihwal sulitnya kondisi petani tembakau saat ini dibenarkan Agus Parmuji. Selain menjadi Kepala Desa Wonosari, Agus menjabat Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia. Menurut dia, selain harus memperhitungkan kondisi tanah, kualitas benih, dan waktu yang tepat untuk mulai menanam, kini petani tembakau mesti mempertimbangkan faktor regulasi.
Regulasi teranyar yang sedang menjadi buah bibir para petani tembakau adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2020. Peraturan ini mengatur kenaikan tarif cukai hasil tembakau, mulai berlaku pada 1 Februari 2021. Cukai hasil tembakau atau cukai rokok akan naik rata-rata 12,5 persen.
Pemerintah berharap kebijakan tersebut bisa membuat harga rokok makin mahal sehingga jumlah perokok berkurang. “Kenaikan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal sehingga makin tidak terbeli,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangannya secara virtual, Kamis, 10 Desember lalu.
Buat para petani tembakau, kenaikan cukai ini menjadi berita buruk. Tahun lalu, ketika pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen, harga jual tembakau di pasar mendadak sontak anjlok. Harga tembakau rajang kering yang biasanya laku di kisaran Rp 70 ribu per kilogram merosot menjadi Rp 40 ribu. Volume pembelian oleh industri rokok pun berkurang drastis, bahkan ada yang menerapkan sistem kuota.
Menurut Agus, sektor pertanian tembakau memang menyimpan anomali. Pada komoditas lain, bila harga produk dinaikkan, harga bahan baku ikut naik. Tapi yang terjadi di pertanian tembakau malah sebaliknya: ketika harga jual produk naik, harga bahan baku justru jeblok.
Karena itu, wajar jika banyak petani tembakau kini perlahan meninggalkan komoditas itu. Petani tembakau di Kalisat, Jember, Jawa Timur, termasuk golongan ini. Edy Purwanto misalnya. Ia bercerita, banyak petani tembakau kini menanam padi atau jagung. “Ada yang dari padi ke jagung, lalu ke padi lagi,” ucap Edy, yang juga Ketua Umum Yayasan Insan Cita Agro Madani, pada Kamis, 17 Desember lalu.
Menurut Edy, selain urusan cukai yang terus naik, tata niaga yang buruk di Jember membuat petani tembakau terjepit. Mereka kerap tak punya posisi tawar. Modal awal mereka begitu bergantung pada pedagang dan tengkulak. Akibatnya, ketika musim panen tiba, petani tak bisa melawan ketika pedagang menentukan harga secara sepihak. “Tak sedikit yang merugi,” tutur Eddy.
Meski begitu, ada juga petani tembakau yang memilih setia. Di Bondowoso, Jawa Timur, petani menanam komoditas lain sembari menunggu musim tanam tembakau pada Mei-Oktober. Misran salah satunya. Kini kebun tembakaunya seluas 4,5 hektare beralih sementara menjadi ladang cabai.
Cabai dipilih karena harganya bagus. Menurut data di Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok di Jawa Timur, pada Sabtu, 19 Desember lalu, harga komoditas cabai merah besar di Bondowoso rata-rata Rp 49.500 per kilogram, sedangkan cabe rawit Rp 35 ribu per kilogram.
Tahun lalu, menurut Misran, hasil kebun tembakaunya sebanyak 5 ton, tak seluruhnya terserap industri. Misran hanya mendapat kuota 3 ton untuk memasok ke pabrik langganannya. Itu pun dengan harga yang turun, yakni dari Rp 31 ribu per kilogram pada tahun lalu menjadi Rp 29 ribu. Dua ton tembakau rajang kering akhirnya menumpuk di rumahnya. “Terpaksa saya jual ke pedagang,” ujar Misran. Tapi dia mengaku tak bisa berpindah ke lain hati. Jika musimnya tiba, Misran akan kembali menanam tembakau.
Keluarga Sahminudin di Lombok, Nusa Tenggara Barat, segendang sepenarian. Tahun ini, sektor pertanian tembakau di Lombok diproyeksikan hanya menghasilkan 30-36 ribu ton tembakau. Padahal tahun lalu mereka memproduksi 41 ribu ton tembakau jenis Virginia. Produksi tembakau anjlok karena para petani tahun lalu rugi besar dan sebagian memilih tak menanam tembakau lagi. “Mereka kapok sehingga beralih menanam padi, jagung, atau tanaman lain,” kata Sahminudin. Tapi, seperti Misran, dia juga mengaku akan tetap menanam tembakau jika musimnya tiba.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo