Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ulama Patriotik dari Kalisalak

Syekh Ahmad Rifa'i adalah ulama patriotik yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Ulama yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro ini melakukan perlawanan dengan dakwah dan kitab.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk bersila melingkar memenuhi ruang tamu, sekitar 40 remaja putra khidmat melafalkan tahlil dipimpin oleh seorang ustad muda. Hampir semua yang hadir memakai sarung batik, berbaju koko, dan berpeci. Setelah tahlil selesai, sang ustad melanjutkan dengan membaca kitab tebal bersampul hitam bertulisan Arab tapi berisi syair-syair dalam bahasa Jawa. Pertemuan pada Sabtu malam, 13 Februari lalu, itu berisi tata cara mensalatkan mayat. "Ini adalah acara tahlil dan pengajian remaja Rifa'iyah di kampung kami," kata Elvan Rosadi, remaja kelas tiga Madrasah Aliyah Negeri Batang, yang malam itu bertindak sebagai tuan rumah.

Menurut Elvan, tahlil dan pengajian rutin tingkat rukun tetangga di Kelurahan Watesalit, Batang, Jawa Tengah, yang diadakan saban malam Ahad selepas isya, bergilir dari rumah ke rumah. Acara tersebut dimaksudkan untuk berkirim doa kepada arwah leluhur serta agar lebih memahami ajaran Islam dari kitab-kitab karangan Syekh Ahmad Rifa'i. Kelurahan Watesalit adalah salah satu kantong pengikut Rifa'iyah, sebuah organisasi keagamaan Islam berasaskan ahlussunah wal jamaah yang melestarikan ajaran Ahmad Rifa'i.

Syekh Ahmad Rifa'i (1786-1869) adalah ulama Jawa patriotik dalam melawan pemerintah kolonial Belanda, yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Bedanya, dalam menentang Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang, Ahmad Rifai menggunakan strategi berdakwah dan menulis kitab.

Ahmad Rifa'i lahir pada 1786 di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah. Ayahnya, Muhammad Marhum bin Abi Suja, adalah penghulu Hindia Belanda. Pada usia enam tahun, kedua orang tuanya meninggal. Rifa'i muda diasuh oleh kakak iparnya, Kiai Asy'ari, pengasuh pondok pesantren Kaliwungu, Kendal. Pada usia 31 tahun, ia berangkat haji sekaligus belajar agama dengan beberapa ulama Mekah selama delapan tahun. Di antara ulama Mekah yang menjadi gurunya adalah Syekh Utsman dan Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi.

Dari Mekah, Rifa'i melanjutkan belajar agama ke Mesir selama 12 tahun dengan berguru kepada beberapa ulama termasyhur, antara lain Syekh Ibrahim Albajuri, pengarang kitab Bajuri Syarah Fathul Qarib. Ulama asal Indonesia yang seangkatan belajar di Mekah dan Mesir adalah Syekh Kholil dari Bangkalan, Madura, dan Syekh Nawawi Albantani dari Banten.

Pada usia 51 tahun, Rifa'i kembali ke Kendal. Setahun kemudian ia menikah dengan janda Demang Kalisalak, Batang, lalu bermukim di sana dan mendirikan pondok pesantren. Di Kalisalak inilah ia mengawali berdakwah dan melawan penjajahan Belanda dengan pendekatan kultural. Beberapa referensi bahkan lebih mengenal Rifa'i dengan sebutan Kiai Ripangi dari Kalisalak.

Bagi Rifa'i, susah bagi orang Jawa untuk memahami ajaran Islam yang referensinya dalam bahasa Arab. Karena itu dia mengarang kitab yang berisi ajaran keislaman yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Jawa, atau lazim disebut Arab pegon.

Rifa'i termasuk penulis dan penyair produktif. Ia menulis 53 judul kitab yang semua dalam syair (nazdzam) bahasa Jawa. Dalam tiap kitabnya, setelah menulis judul, ia selalu menyebut kalimat "inilah kitab nadzom tarajumah, dari Haji Ahmad Rifa'i bin Muhammad, bermazhab Syafi'i dan berakidah ahlussunni". "Tarajumah berarti terjemah," kata KH Ali Nahri, salah satu Ketua Pengurus Pusat Rifa'iyah. Terjemah yang dimaksud karena seluruh kitab karangan Rifa'i adalah terjemahan dari Al-Quran, Hadis, Ijma' Qiyas, serta pendapat ulama yang tertulis dalam beberapa kitab Arab klasik. Dalil yang menjadi referensi ditulis dengan tinta merah, sedangkan terjemahannya ditulis dengan tinta hitam.

Dengan menggunakan bahasa Jawa, yang bersyair pula, dakwah Rifa'i mudah diterima dan diamalkan. Menurut Ali Nahri, seluruh kitab Tarajumah menjelaskan tiga hal disiplin ilmu keislaman, yakni ushuluddin (akidah), fiqh (hukum dan tata cara beribadah), serta tasawuf (tentang sifat baik dan buruk manusia). Meski demikian, dalam kitabnya Rifa'i juga menyelipkan seruan perlawanan terhadap Belanda, yang dianggapnya sebagai pemimpin kafir yang wajib diperangi.

Seruan melawan Belanda dapat dijumpai dalam syair dalam banyak kitab karangannya, di antaranya kitab Abyan al-Hawaij, yang berbunyi:

Menurut Ahmad Syadzirin Amin dalam bukunya Mengenal Ajaran Tarjumah Syeikh Ahmad Rifa'i dengan Madzhab Syafi,i dan I'tiqad Ahlissunah Wal Jamaah (1989), meski Rifa'i tidak pernah mengorganisasi perlawanan secara fisik terhadap Belanda, pemerintah kolonial Belanda menganggap apa yang dilakukannya sangat berbahaya dan merongrong kekuatan Belanda. Lalu, ada usulan pengasingan dia yang datang dari Wedana Kalisalak, diteruskan ke Residen Pekalongan oleh Bupati Batang pada 19 April 1859. Atas surat tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyidang Rifa'i di pengadilan Pekalongan pada 6 Mei 1859 dan memutuskan mengasingkannya ke Ambon. Pengasingan ke Ambon dilakukan pada 19 Mei 1859.

Di Ambon, Rifa'i mengarang empat kitab dalam bahasa Melayu serta 60 judul tanbih (peringatan). Dari Ambon, ia berkirim surat wasiat tertanggal 21 Zulhijah 1277 H kepada anak menantunya, Kiai Maufura bin Nawawi, di Batang, yang isi wasiatnya antara lain memperingatkan kepada muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali taat kepada pemerintah kolonial Belanda dan orang yang bersekutu dengan mereka.

Agar dakwahnya di Ambon tidak berkembang, dua tahun kemudian Belanda mengasingkan Rifa'i bersama 46 ulama lainnya yang juga berasal dari Jawa ke Manado hingga meninggal pada usia 85 tahun. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Makamnya satu kompleks dengan makam Kiai Mojo, sahabat Pangeran Diponegoro yang juga dibuang ke Manado karena terlibat membantu Diponegoro dalam Perang Jawa.

Menurut Ali Nahri, Rifa'i sempat menikahi seorang perempuan Manado dan memiliki satu anak. Saat Rifa'i wafat, sang anak baru berusia enam bulan dalam kandungan. Keturunan Ahmad Rifa'i banyak dijumpai di daerah Jawa Tondano dan Gorontalo.

Meski gerakan pengikut Rifa'iyah telah ada sejak abad ke-19, secara kelembagaan mereka baru berhimpun dalam organisasi pada 1965, yakni Yayasan Pendidikan Islam Rifaiyah. Pada 1990, Yayasan Pendidikan Islam Rifaiyah berubah menjadi organisasi kemasyarakatan Rifaiyah sebagaimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Saat ini pengikut Rifa'iyah diperkirakan sekitar 7 juta jiwa yang tersebar di 357 desa, 99 kecamatan, dan 41 kabupaten/kota se Indonesia. Basis terbesar warga Rifa'iyah berada di Wonosobo, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Hingga saat ini warga Rifa'iyah tetap mengamalkan ajaran Kiai Ahmad Rifa'i yang tertulis dalam 53 judul kitab Tarajumah yang seluruhnya berbentuk syair dalam bahasa Jawa, bertuliskan huruf Arab pegon.

Atas perjuangannya, pada 5 November 2014 pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Syekh Ahmad Rifa'i melalui Keputusan Presiden Nomor 89/TK/2004.

Sohirin (Batang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus