Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cannes dan festival dunia ketiga

Festival film cannes, prancis selatan ke-32. telah memilih dua film terbaik: apocalypse now dan die blechtrommel. festival canners berfungsi arena dagang dan promosi. (fl)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALMARES Festival Film Cannes', di Perancis Selatan, yang tahun ini diadakan untuk ke-32 kalinya (berlangsung dua minggu sampai akhir bulan lalu), telah memilih dua jagoan. Apocalypse Now karya Francis Ford Coppola dan Die Blechtrommel karya Volker Schlondorff. Ini bukan pertama kalinya Palme d'Or (Palm Emas) diberikan kepada lebih dari satu pemenang. Tahun 1949 ada sebelas film dari sebelas negara dianggap sebagai terbaik. Di antaranya film India Neecha Nagar karya Chetan Anand. Selain Coppola yang kini berusia 40 tahun menjadi buah bibir berkepanjangan, melejit juga nama Milos Forman, sutradara kelahiran Cekoslowakia. Lelaki 45 tahun yang lebih merasa sebagai orang Amerika ini, mengawali festival dengan sebuah film komedi musikal bernama Hair. Film yang diangkat dari sukses panggung yang meledak di sekitar tahun 60-an di New York itu dianggap tanpa cacat. Sayang sekali ia tidak ikut kompetisi. Festival Cannes tidak hanya berfungsi sebagai telunjuk untuk menuding film-film yang hebat. Juga merupakan arena dagang dan promosi. Ratusan produser dan distributor dari 60 negara berdesak-desak muncul. Para pengusaha itu bergerak dalam arena Pasar Film. Di situ para pemilik film menyewa 7 ruang proyeksi di bioskop umum yang khusus disediakan, kemudian memutar film secara gratis kepada pers dan calon pembeli. Tanggal 23 Mei, tiba-tiba terpampang sebuah poster Indonesia: film Primitives disutradarai oleh Sam Gardner (alias Sisworo Gautama!), Rapi Film. Memang, tak kurang dari 8 buah film dari dunia ketiga yang dapat kesempatan ditampilkan. Los Sobrevivientes karya Tomas Gutierrez (Kuba), yang mendapat kehormatan dalam kompetisi ofisial. Fad'jal karya Safi Faye (Senegal) yangdimasukkan dalam 'Seksi Selayang Pandang' (uncertain regard). Kemudian 6 buah film yang termasuk dalam 'Seksi Limabelas Sutradara' (La Quinzaine des Realisateurs) -- masing-masing dari Kolumbia, Brazil, Cili, Venezuela, Yamaika dan Saiehaieh Bolan de Bad karya Bahman Farmanara -- Iran. Yang terakhir ini paling menarik. Adapun film-film dari Kanada, Jepang, Australia, Israel, tidak dikatagorikan sebagai film dunia ketiga. Undangan Ke Indonesia Tetapi sebelum keramaian Cannes, Paris sebenarnya sudah menyelenggarakan Festival Film Dunia Ketiga yang pertama -- 11 April sampai 1 Mei. Kerepotan ini mengocok 300 buah film dari 44 negara. Mengingat kurangnya waktu -- walaupun sudah sempat diperpanjang sampai seminggu -- hanya 247 film yang berhasil diputar. "Jumlah itu saya kira sudah cukup mewakili wajah dunia ketiga sebagaimana yang kami harapkan," kata Madame Katia Even, salah seorang panitia kepada Noorca Marendra dari TEMPO. Bersama 9 rekannya, dengan sukarela ia telah menguber film ke Afrika, Asia, Amerika Latin, Cina dan negara-negara Arab. Mengenai mutu festival Dunia Ketiga itu, Madame Even berkata: "Kami tak melakukan seleksi seperti di Cannes. Kami tahu film-film yang kami pilih adalah yang terbaik dari setiap negara. Dalam festival pertama ini, mutu tidak jadi ukuran utama. Kehadiran film-film itu sendiri sudah merupakan prestasi." Juga festival ini tidak membagikan hadiah. Dan dari sepuluh orang panitia, tidak semuanya sineas. Galeska Moravioff, presiden Festival sendiri, seorang etnolog. Ia kebetulan bertugas mencari film di kawasan Asia. Ditanya tentang kriteria yang dipakainya, ia hanya menjawab: "Tujuan festival ini sama sekali tidak komersial. Kami tidak peduli apakah itu film politik seperti di Amerika Latin, film metafisik dari India, film tentang masalah sosial dari negara-negara Arab. Yang kami butuhkan adalah film retrospektif yang menunjukkan perkembangan sinema sejak kelahirannya sampai sekarang." Tak heran kalau kemudian dari India datang 65 film. Mulai dari film bisu sampai yang muncul paling akhir. Tetapi dari Indonesia sendiri, nol. Apa Indonesia bukan Dunia Ketiga? Panitia bilang, dari Indonesia sebenarnya cukup banyak film yang baik. Mereka pun sangat berharap ada wajah kita yang nongol di situ. Jauh sebelum Festival undangan telah dikirim ke KBRI Paris dan Jakarta. Tapi sampai brosur dicetak dan nama Indonesia ditulis satu baris, film-film yang diharap tidak muncul. Belakangan TEMPO mendengar dari salah seorang di KBRI Paris, surat dari panitia memang sampai. Tapi entah ke mana --hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus