PALMARES Festival Film Cannes', di Perancis Selatan, yang tahun
ini diadakan untuk ke-32 kalinya (berlangsung dua minggu sampai
akhir bulan lalu), telah memilih dua jagoan. Apocalypse Now
karya Francis Ford Coppola dan Die Blechtrommel karya Volker
Schlondorff. Ini bukan pertama kalinya Palme d'Or (Palm Emas)
diberikan kepada lebih dari satu pemenang. Tahun 1949 ada
sebelas film dari sebelas negara dianggap sebagai terbaik. Di
antaranya film India Neecha Nagar karya Chetan Anand.
Selain Coppola yang kini berusia 40 tahun menjadi buah bibir
berkepanjangan, melejit juga nama Milos Forman, sutradara
kelahiran Cekoslowakia. Lelaki 45 tahun yang lebih merasa
sebagai orang Amerika ini, mengawali festival dengan sebuah film
komedi musikal bernama Hair. Film yang diangkat dari sukses
panggung yang meledak di sekitar tahun 60-an di New York itu
dianggap tanpa cacat. Sayang sekali ia tidak ikut kompetisi.
Festival Cannes tidak hanya berfungsi sebagai telunjuk untuk
menuding film-film yang hebat. Juga merupakan arena dagang dan
promosi. Ratusan produser dan distributor dari 60 negara
berdesak-desak muncul. Para pengusaha itu bergerak dalam arena
Pasar Film. Di situ para pemilik film menyewa 7 ruang proyeksi
di bioskop umum yang khusus disediakan, kemudian memutar film
secara gratis kepada pers dan calon pembeli. Tanggal 23 Mei,
tiba-tiba terpampang sebuah poster Indonesia: film Primitives
disutradarai oleh Sam Gardner (alias Sisworo Gautama!), Rapi
Film.
Memang, tak kurang dari 8 buah film dari dunia ketiga yang dapat
kesempatan ditampilkan. Los Sobrevivientes karya Tomas Gutierrez
(Kuba), yang mendapat kehormatan dalam kompetisi ofisial.
Fad'jal karya Safi Faye (Senegal) yangdimasukkan dalam 'Seksi
Selayang Pandang' (uncertain regard). Kemudian 6 buah film yang
termasuk dalam 'Seksi Limabelas Sutradara' (La Quinzaine des
Realisateurs) -- masing-masing dari Kolumbia, Brazil, Cili,
Venezuela, Yamaika dan Saiehaieh Bolan de Bad karya Bahman
Farmanara -- Iran. Yang terakhir ini paling menarik. Adapun
film-film dari Kanada, Jepang, Australia, Israel, tidak
dikatagorikan sebagai film dunia ketiga.
Undangan Ke Indonesia
Tetapi sebelum keramaian Cannes, Paris sebenarnya sudah
menyelenggarakan Festival Film Dunia Ketiga yang pertama -- 11
April sampai 1 Mei. Kerepotan ini mengocok 300 buah film dari 44
negara. Mengingat kurangnya waktu -- walaupun sudah sempat
diperpanjang sampai seminggu -- hanya 247 film yang berhasil
diputar. "Jumlah itu saya kira sudah cukup mewakili wajah dunia
ketiga sebagaimana yang kami harapkan," kata Madame Katia Even,
salah seorang panitia kepada Noorca Marendra dari TEMPO. Bersama
9 rekannya, dengan sukarela ia telah menguber film ke Afrika,
Asia, Amerika Latin, Cina dan negara-negara Arab.
Mengenai mutu festival Dunia Ketiga itu, Madame Even berkata:
"Kami tak melakukan seleksi seperti di Cannes. Kami tahu
film-film yang kami pilih adalah yang terbaik dari setiap
negara. Dalam festival pertama ini, mutu tidak jadi ukuran
utama. Kehadiran film-film itu sendiri sudah merupakan
prestasi."
Juga festival ini tidak membagikan hadiah. Dan dari sepuluh
orang panitia, tidak semuanya sineas. Galeska Moravioff,
presiden Festival sendiri, seorang etnolog. Ia kebetulan
bertugas mencari film di kawasan Asia. Ditanya tentang kriteria
yang dipakainya, ia hanya menjawab: "Tujuan festival ini sama
sekali tidak komersial. Kami tidak peduli apakah itu film
politik seperti di Amerika Latin, film metafisik dari India,
film tentang masalah sosial dari negara-negara Arab. Yang kami
butuhkan adalah film retrospektif yang menunjukkan perkembangan
sinema sejak kelahirannya sampai sekarang."
Tak heran kalau kemudian dari India datang 65 film. Mulai dari
film bisu sampai yang muncul paling akhir. Tetapi dari Indonesia
sendiri, nol. Apa Indonesia bukan Dunia Ketiga? Panitia bilang,
dari Indonesia sebenarnya cukup banyak film yang baik. Mereka
pun sangat berharap ada wajah kita yang nongol di situ. Jauh
sebelum Festival undangan telah dikirim ke KBRI Paris dan
Jakarta. Tapi sampai brosur dicetak dan nama Indonesia ditulis
satu baris, film-film yang diharap tidak muncul. Belakangan
TEMPO mendengar dari salah seorang di KBRI Paris, surat dari
panitia memang sampai. Tapi entah ke mana --hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini