Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kuburkan jiwaku di...

Akhir desember 1990, pertempuran di wounded kee ge nap 100 tahun. ribuan suku sioux menyusuri kembali jejak-jejak terakhir big foot,yg diselimuti salju. mereka mengenang pahlawannya.

20 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuburkan Jiwaku di... ROMBONGAN yang berjumlah ratusan itu tak pernah berniat perang. Kelaparan, serta ancaman serbuan tentara kulit putih, mendesak mereka dari permukimannya. Tapi, di lembah Dakota Selatan, AS, pasukan berkuda Kolonel Forsyth sudah siap menghadang. Di Wounded Knee, tempat tapak-tapak bison dahulu bergemuruh, bangsa Sioux berhenti berlari. Semua gugur dalam pertempuran terakhir itu. Juga Big Foot. Oleh pembunuh-pembunuhnya, jasad pemimpin besar bangsa Sioux ini bahkan dibiarkan membeku di hamparan salju. Maka, lengkap sudah pemusnahan bangsa Indian oleh orang kulit putih. Setelah peristiwa Wounded Knee, sejarah bangsa yang terdiri dari 500 suku dan 200 bahasa ini tinggal kenangan. Akhir Desember 1990, pertempuran di Wounded Knee genap 100 tahun. Ribuan suku Sioux menyusuri kembali jejak-jejak terakhir Big Foot yang diselimuti salju. Di lembah ini mereka mengenang para pahlawan yang berpesan sebelum gugur: kuburkan jiwaku di Wounded Knee.... . Pertempuran Terakhir Dua pekan setelah Sitting Bull dan perwiranya dihancurkan pasukan kulit putih, Big Foot mengungsikan sukunya dari kamp reservasi yang diawasi pemerintah AS. Dalam keadaan sakit keras akibat radang paru-paru, Big Foot dan pengikutnya berusaha mencari perlindungan pada suku Indian di Dakota Selatan. Menurut cerita, suku Sioux yang terkepung di Wounded Knee sempat mengibarkan bendera putih sebelum diberondong pasukan Kolonel Forsyth. Seratus tahun kemudian, keturunan Big Foot berperang melawan kemiskinan (tingkat pengangguran di kamp reservasi Indian mencapai 75%), kecanduan alkohol, dan rasisme. Bangsa Indian yang dulu berjaya di padang dan pegunungan benua Amerika, kini terasingkan dari tanahnya sendiri. Foto: GAMMA Teks: Yudhi Soerjoatmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus