Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Sugianto dipasung dua kali di Tulungagung tujuh tahun lalu. Kaki dan tangannya dirantai. Dia marah kepada orang tuanya dan dunia. "Saya dianggap seperti bukan manusia. Tak pernah ditanya dan diajak bicara. Hati ini nyilu, seperti diiris-iris sembilu dan ditaburi tetesan air jeruk," kata lelaki berkulit hitam manis dan berkacamata itu.
Agus lahir dari keluarga petani di Tulungagung, Jawa Timur. Keterbatasan ekonomi membuatnya merantau ke Mojokerto. Ia ingin belajar bahasa Inggris. Cita-citanya kandas karena ia jatuh sakit. Tenaganya terforsir ketika dia bekerja sambil kuliah. Tak bisa menerima kenyataan, ia guncang dan sering mengamuk, melempar benda-benda di dekatnya. Itu sebabnya keluarganya memasungnya.
Setelah melalui perawatan medis, psikologis, dan agama, pelan-pelan dia berdamai dengan keluarga dan lingkungannya, serta menyusun kembali hidupnya yang berantakan. Dia pun mulai masuk kembali ke kehidupan ramai, meninggalkan kepengapan ruang pusat kesehatan masyarakat. "Saya kini sudah berani hidup seperti biasa, meskipun masa depan masih gelap," kata pemuda berusia 33 tahun yang kini bekerja di sebuah optik itu.
Ahad pagi dua pekan lalu, ia mengungkapkan perasaannya di atas kanvas. Dia menorehkan cat hijau serupa pepohonan. Lalu cat putih disapukan, membentuk sebuah lingkaran besar matahari. "Saya ingin menggambarkan harapan," ujar Agus, yang kini sudah berhenti menelan obat untuk penyakit jiwanya.
Di sekitarnya ada 100 penderita skizofrenia lain yang turut melukis bersamanya di pelataran parkir depan Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ini merupakan bagian dari pameran "Hospital Without Wall" yang digelar Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) di galeri tersebut. Pameran yang berlangsung hingga 28 Oktober mendatang ini merupakan bagian dari Biennale#14.2011 yang digagas Dewan Kesenian Jakarta. Sebanyak 48 lukisan karya 25 penderita skizofrenia dipajang di Galeri Cipta III. Orang tua mereka, dan orang tua dari penderita lain yang tidak hadir, tampak mengamati aksi mereka melukis itu. Puncak Biennale sendiri adalah Desember.
Tak jauh dari Agus, Dwi Putro Mulyono Jati, 48 tahun, asyik pula melukis sambil berselonjor. Beberapa gelas berisi cat ada di sisi kanannya, dan beberapa lembar koran berserakan di sekitarnya. Tak sampai satu jam jadilah lukisan dua buah mangga lengkap dengan tangkai dan daunnya.Â
"Dikasih ke Adik, ya, Pak Wi," ujar Hasta Wening R.A., adik Dwi, yang mendampinginya menggambar. Hasta lantas mengambil lukisan itu dan menyerahkannya ke seorang anak pengunjung yang tertarik pada lukisan tersebut. Dwi sudah melukis lebih dari 3.000 lukisan sebagai bagian dari terapi penyembuhannya. Proses ini dilakoninya selama 10 tahun dengan didampingi Nawa Tunggal, adiknya, yang kini jadi pegiat di KPSI.
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan berat yang umumnya ditandai dengan gejala seperti halusinasi, delusi, emosi tak terkendali, pemikiran tak runtut, dan menarik diri dari kenyataan. Masyarakat yang kurang paham kadang-kadang menghakimi mereka sebagai orang gila yang harus dipasung agar tak mengganggu lingkungan. Padahal tak semua penderita mengalami skizofrenia akut. Mereka punya perasaan dan pikiran, yang terkadang sukar mereka ungkapkan dengan baik.
Lukisan menjadi salah satu jenis terapi, selain minum obat dan konsultasi. Pemusatan diri pada lukisan membantu mengalihkan pikiran negatif penderita, seperti keinginan bunuh diri. "Empat puluh persen penderita pernah berpikir mencoba bunuh diri, dan 10 persen di antaranya berhasil bunuh diri," kata Ketua KPSI Bagus Utomo.
KPSI berdiri sejak 2001, yang dimulai dari sebuah mailing list dan kemudian berkembang ke jejaring sosial lain, seperti Facebook dan Twitter. Anggotanya terdiri atas penderita dan orang biasa yang peduli pada kesehatan jiwa. Dalam tiga tahun terakhir keanggotaan mereka berkembang hingga ke beberapa daerah.
Persiapan pameran ini dimulai sejak lima bulan lalu. Para penderita yang tertarik dengan metode ini berkumpul di rumah anggota komunitas, Suhardi Bunadi, di Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka belajar mengenal konsep warna, garis, bentuk, dan sebagainya di bawah bimbingan Trijata, dosen seni rupa Universitas Negeri Jakarta; serta Nawa dan Bagus. "Trijata mengajarkan garis dan komposisi warna dengan pastel, Bagus dengan cat air, dan saya dengan kanvas," kata Nawa.
Setiap minggu mereka belajar melukis seharian di sana. Pesertanya berganti-ganti, tergantung keinginan dan kesempatan yang mereka miliki. Rata-rata 20 orang yang hadir.
Nawa mengakui tak mudah memancing kreativitas dan gagasan di benak peserta, apalagi yang sedang dalam kondisi stabil. "Butuh improvisasi. Saat tenang mereka umumnya tidak mau menuangkan apa yang ada di pikirannya saat kambuh," ujar wartawan Kompas ini.
Apsari Aviantifa Putri adalah salah satu pesertanya. Jiwa gadis berusia 23 tahun itu guncang karena putus cinta sejak berumur 19 tahun. Saat itu dia sering mendengar bisikan suara-suara aneh. "Suara itu menyuruh aku membunuh mamaku pakai ulekan pas sujud salat," kata Tifa, panggilannya.
Saat ikut pelatihan, Tifa pernah patah semangat dan tak mau mewarnai saat pelajaran gradasi warna. Tapi, dengan dorongan, dukungan, dan pujian peserta lain, ia pun mau meneruskan lukisannya. Pelatihan ini menghasilkan tak kurang dari 100 lukisan.
Dewan Kesenian Jakarta memandang perlu memberikan ruang untuk karya seni mereka dan menggandeng KPSI serta Perhimpunan Jiwa Sehat untuk pameran ini. "Mereka yang mempunyai gangguan jiwa pun punya hak yang sama untuk berekspresi, didengar, dan diapresiasi," ujar Abduh Aziz, Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian.
Biennale Jakarta kali ini mengangkat tema "Maximum City: Survive or Escape?". Menurut Abduh, tema tersebut terkait dengan daya dukung Kota Jakarta yang telah melampaui batas dan banyak mengabaikan hak penduduknya, sehingga mendorong penduduknya mengalami gangguan kejiwaan. Data pemerintah menyebutkan terdapat 650 ribu penderita kejiwaan dan 30 ribu di antaranya dipasung.
Pameran ini juga lebih menitikberatkan pada upaya merayakan kreasi dan kreativitas para penderita skizofrenia, yang hanya satu-dua orang yang punya latar belakang sekolah seni. Konsep kuratorial pun tak seperti penilaian terhadap pameran lukisan pada umumnya. "Tentu tidak ketat. Membuka ruang untuk mereka saja sudah sebagai bentuk apresiasi," ujar Abduh.
Karya yang dipamerkan mengangkat berbagai tema. Lukisan mereka sederhana, mirip gambar anak-anak, dan simbolis. Kebanyakan mengungkap pengalaman mereka saat penyakitnya kambuh.
Agus memamerkan lima sketsa pensil. Ada gambar muka bayi yang tersenyum, wajah psikoanalis Sigmund Freud, rocker Kurt Cobain, Lady Diana. Karya favoritnya adalah Hurt Inside Out, sketsa dua kaki dirantai dan sebuah mata yang bercucuran air mata. "Saya menggali luka lama yang saya alami dulu," ujarnya.
Seorang ibu, yang anaknya juga mengalami gangguan jiwa, mengusap-usap lukisan di atas kertas ukuran A3 itu. "Sangat menyakitkan, ya. Saya bisa merasakannya," kata dia.
Gambaran setan di mata para penderita skizofrenia ditunjukkan oleh Ariandy dengan lukisan akrilik bergambar orang berwajah kuning, mata terbelalak, dua taring mencuat dari mulutnya dan berambut riap-riap. Ada pula gambar tangan tergores dan sebuah pisau dalam lingkaran disilang. Lukisan ini diberi judul Stop Bunuh Diri.
Suara di Telingaku karya Rifa Ruslan menggambarkan tiga wajah dengan tiga lingkaran dan garis gelombang. Adapun Mr Seretony & Ms Dopamina karya Arie Dabo-Suhari Bunadi menggambarkan obat-obatan, dan judulnya merupakan pelesetan dari nama obat penenang. Tifa mengungkap pengalamannya putus cinta lewat Deserved to be Loved, yang berlatar abstrak berupa semburat warna biru, putih, dan merah, yang ditimpa dengan coretan-coretan tulisan seperti "I deserved to be loved" dan simbol perempuan, laki-laki, dan hati.
Eat The World karya Freddy Adreas menggambarkan sepotong kepala yang baru mencabik sebagian bola bumi. Kepala itu dikelilingi berbagai tanda panah yang menunjuk ke berbagai arah dan berbagai kata yang menjadi kata kunci di dunia skizofrenia, seperti "paranoid", "halusinasi", "galau", "bingung", dan "takut".
Dua psikiater, Dr Nova Riyanti Yusuf  dan Dr Hervita Diatri, menyambut baik pameran ini. Bagi Nova, acara ini menjadi pembuktian untuk penderita skizofrenia dan membuka mata masyarakat tentang penyakit kejiwaan ini. Apalagi selama ini ada kesan pembiaran dari masyarakat. "Mereka tak paham dan membiarkan terjadi," ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini.
Pembiaran itu juga sering dilakukan pada seniman yang menderita skizofrenia. Karya mereka justru disanjung saat dalam kondisi "gila", karena harus nyentrik dan lain daripada yang lain. Padahal, kata dia, mereka juga butuh waktu dan dukungan saat terpuruk, tertekan karena arus pasar dan tak bisa lagi idealis.
Bagi Hervita, lukisan ini mampu menjembatani terapi pasiennya. Melalui lukisan, penderita bisa menuangkan energi berlebih mereka dan mencurahkan apa yang dipikirkannya. "Dari lukisan pula mereka bisa diajak bicara. Misalnya, kenapa gambar ini, mengapa pilih warna ini, sedang merasakan apa, atau apa tujuan hidupnya," kata dia.
Nova bahkan jatuh hati dan berminat mengoleksi sketsa Kurt Cobain karya Agus. "Sketsa Kurt Cobain-nya buat aku, ya? Gambarnya bagus," kata dia. Agus mengiyakan sambil tersenyum.
Dian Yuliastuti, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo