Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku telah melihat wajah purbaku yang sebenarnya tidak ingin aku lihat," perempuan berkain panjang itu meratap. Di atas batu dia berdiri. Gerakannya lemah dan tertata. Jauh di seberang kirinya, seorang perempuan lain menatapnya dengan sinis. Sambil duduk di tepi bathtub, dengan penuh percaya diri dia berkata, "Peradaban batu, kau hanyalah peradaban yang berjalan di masa lalu. Akulah dedes yang terlahir kembali. Darah keperawananku membawaku pada singgasana prameswari."
Sebuah kalimat yang membuat geram perempuan berkain panjang itu. "Tanpa kain panjang, dirimu tak mampu menghapus jejak masa lalu," katanya tak mau kalah. Dua perempuan itu kemudian saling menyalahkan. Sebuah perdebatan antara masa lalu dan masa kini.
Ken Dedes adalah sebuah sejarah dan legenda. Dia digambarkan sebagai sosok istimewa. Seorang perempuan yang dari rahimnya lahir raja-raja Jawa. Kehidupannya yang penuh intrik menarik untuk diulik. Ini pulalah yang mendorong Dadang Badoet, sutradara dan penulis naskah lulusan Sekolah Tinggi Seni Bandung, mencoba mengeksplorasi Ken Dedes dengan caranya yang lain. Bersama Stage Corner Community, sebuah kelompok yang pernah meraih penghargaan grup terbaik dalam Festival Teater Jakarta 2010, dia menghadirkan sosok Ken Dedes dalam beragam rupa di atas panggung Gedung Kesenian Jakarta, 18-19 Oktober lalu.
Perempuan bersetagen dan berkain panjang dengan rambut digelung itu adalah Ken Dedes purba, yang datang dari masa lampau. Sedangkan perempuan lainnya adalah Ken Dedes masa kini, Ken Dedes yang techno, yang percaya diri dan tak membutuhkan sejarah. Dedes masa kini tak lagi berkain panjang. Tubuhnya mengenakan kaus dan celana ketat yang berbalut kemeja jas panjang. Ia bersepatu hak tinggi. Rambut panjangnya dibiarkan berkibar.
Lewat pementasan berjudul Techno Ken Dedes ini, Ken Dedes muncul dalam beragam wajah: Ken Dedes yang purba, Ken Dedes techno, Ken Dedes yang tidak pernah keluar dari rahimnya, Ken Dedes yang telanjang di ruang kedap suara, Ken Dedes yang terbentur dua sisi peradaban. Di panggung tak cuma Dedes Purba dan Dedes Techno yang muncul, tapi juga Dedes Rahim yang selalu menyesali diri.
Naskah cerita ini menjadi pemenang Hibah Seni Kelola, sebuah program yang dibuat oleh Yayasan Kelola. Eksplorasi terhadap sejarah Ken Dedes itu dilengkapi visual digital di latar belakang panggung. Peleburan antara ranah kontemporer dan tradisi disajikan lewat gerakan-gerakan tari dan paduan musik etnis dan techno. Perdebatan antara Dedes Purba (Sintya Syakaraw) dan Dedes Techno (Y.G. Threnov) menjadi menu pembuka. Keduanya kemudian menunjukkan sifat masing-masing. Dedes Purba adalah potret perempuan tradisional yang menganggap seks sebagai sesuatu yang sakral dan tabu dibicarakan.
"Kau harus diruwat, tubuhmu harus diruwat, kepalamu harus diruwat, jiwamu harus diruwat, kelaminmu harus diruwat, rahimmu harus diruwat," kata Dedes Purba prihatin melihat Dedes Techno yang terlalu mengumbar nafsu. Dedes Techno kemudian mengalami proses kelahiran kembali. Di panggung dia digambarkan berbaring di dalam bathtub. Satu per satu pakaiannya dilepas. Menyisakan tubuh yang berbalut kaus ketat sewarna kulit dengan lukisan payudara dan rahim. Dia tak malu-malu memamerkan kemolekan tubuhnya, menggeliat-geliat dan mendesah-desah dan menggoda Ken Arok.
Dialog dalam pementasan ini, sayangnya, hanya berputar di persoalan rahim dan kelamin, yang di sana-sini terasa verbal. Kadang berpretensi intelektual. Sesuai dengan judulnya, tubuh Dedes Techno belakangan terbalut lampu-lampu berkelap-kelip membentuk siluet bikini. Entah apa maksudnya, mungkin untuk menegaskan ke-techno-annya itu. Penonton pun mungkin tak sadar bahwa pertunjukan yang berlangsung satu jam itu sudah selesai.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo