Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abduction
Sutradara: John Singleton
Naskah: Shawn Christensen
Pemain: Taylor Lautner, Lily Collins, Jason Isaacs, Maria Bello, Alfred Molina, Michael Nyqvist, Dermot Mulroney
Nathan Price adalah seorang pelajar sekolah menengah atas yang hidupnya tak berbeda dengan kebanyakan remaja seusianya. Hobi kebut-kebutan dengan teman satu geng, berpesta sampai mabuk, kurang akrab dengan orang tua, dan diam-diam jatuh cinta kepada gadis cantik teman sekelas yang juga tetangga rumahnya, Karen (Lily Collins). Tapi, di balik sikapnya yang santai, Nathan sesungguhnya memiliki kegelisahan. Hampir setiap malam, selama bertahun-tahun, dia selalu dihantui mimpi yang sama, melihat seorang perempuan dibunuh. Nathan juga kerap tak bisa menahan hasrat melakukan kekerasan. Inilah alasan mengapa setiap pekan dia harus mengunjungi Geraldine Bennett (Sigourney Weaver), psikiaternya.
Pada suatu hari, ketika sedang mengerjakan tugas sekolah bersama Karen, secara tak sengaja Nathan menemukan foto masa kecilnya di sebuah situs anak hilang di Internet. Nathan terguncang. Dia lantas mencoba menghubungi situs tersebut untuk mencari tahu siapa dia sesungguhnya. Dia juga bertanya kepada ibunya, yang menyodorkan fakta mengejutkan bahwa ayah dan ibu yang membesarkannya itu bukan orang tua kandungnya. Sayang, belum tuntas semua pertanyaan itu terjawab, dua orang tak dikenal membunuh ayah dan ibu angkatnya itu dan membakar habis rumahnya.
Situs anak hilang itu ternyata hanya jebakan dari orang-orang yang selama ini mengincarnya. Nathan sesungguhnya anak seorang agen CIA, Martin Price (Dermot Mulroney), yang sedang dikejar sekelompok teroris Rusia pimpinan Viktor Kozlow (Michael Nyqvist) karena mencuri daftar nama agen CIA yang diduga terlibat dalam praktek kejahatan. Sambil berusaha mengurai teka-teki yang menyelimuti hidupnya, Nathan, ditemani Karen, yang tak sengaja melihat pembunuhan itu, harus bersembunyi dari kejaran orang-orang tak dikenal. Tidak hanya diburu oleh gerombolan teroris, beberapa agen CIA yang menduga namanya berada dalam daftar tersebut juga memburu Nathan.
Tidak seperti film sejenis yang memulai segalanya dengan cepat, Abduction baru memberi ketegangan setelah lebih dari seperempat jam pertama berlalu. Tampaknya penulis skenario Shawn Christensen ingin mengajak penonton terlebih dulu menyelami kehidupan Nathan. Sayangnya, semuanya dijelaskan secara sekilas saja. Kita hanya tahu Nathan punya kecenderungan melakukan kekerasan dan tidak bisa mengontrol emosi lewat perbincangannya dengan psikiater. Tanpa ada penjelasan berarti. Selebihnya adalah kegilaan Nathan bersama teman-teman sekolahnya, termasuk adegan buka baju yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh penggemar Taylor Lautner. Juga bagaimana usaha Nathan menarik perhatian Karen, yang membuat film ini lebih seperti film drama percintaan ketimbang film laga.
Disutradarai oleh John Singleton, yang menggarap Four Brothers dan  2 Fast 2 Furious, film ini digembar-gemborkan sebagai versi remaja dari kisah petualangan Jason Bourne dalam The Bourne Trilogy (2002-2007), dengan premis tentang identitas yang hilang. Sayangnya, meskipun menawarkan jalan cerita yang lumayan menjanjikan, film ini tidak didukung oleh kedalaman cerita dan karakter yang kuat seperti dalam trilogi yang dibintangi Matt Damon tersebut. Dialog yang dihadirkan sangat terbatas demi memberi ruang yang lebih luas bagi kehadiran plot cerita yang nantinya akan memicu sebuah adegan laga yang, sayangnya, diselesaikan dengan serba mudah dan serba kebetulan.
Tema yang sesungguhnya bagus itu jadi terasa membosankan. Abduction lebih seperti sekadar memanfaatkan ketenaran pemeran Jacob Black dalam The Twilight Saga. Selain karakter Nathan, karakter lainnya terkesan hadir agar jalan cerita terlihat lebih kompleks daripada yang sebenarnya ingin disampaikan. Selain itu, sebagai sutradara, Singleton sepertinya gagal mengeluarkan potensi akting Taylor Lautner. Tidak seperti dua rekannya di Twilight, Robert Pattinson dan Kristen Stewart, yang sukses berakting di film lain, aktor muda ini kurang bisa menunjukkan kemampuan akting yang membuat karakternya terlihat menarik.
Ekspresi wajahnya tak mampu menunjukkan permainan emosi, baik ketika marah, takut, jengkel, maupun sedih. Lihatlah bagaimana ekspresinya saat melihat orang tuanya dibantai di depan matanya. Sama sekali tidak mampu mengaduk-aduk perasaan penonton. Ia juga kelihatan kesulitan menampilkan emosi seorang remaja yang jatuh cinta manakala menatap wajah pujaan hatinya. Wajah dingin Lautner baru terasa pas ketika dia beradegan laga, yang memang mendapat porsi lumayan banyak.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo