Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lahirnya kembali keindahan

Pameran kerajinan dari jepang di tim. (sr)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINDAHAN semestinya ada di mana-mana. Pameran kerajinan dari Jepang, 16-24 Maret ini di Taman Ismail Marzuki, memenuhi selera mereka vang ingin melihat keindahan terserak di sekitar kita. Ada sekitar 200 karya dari kertas, bambu, kayu, logam, tanah liat, kaca, dan lak dari 60 pengrajin. Sebuah kap lampu berbentuk mirip piring terbang, dibuat dari anyaman bambu. Di sebuah sisi anyaman itu rapat. Di sisi yang lain agak renggang. Hanya dengan cara itu ternyata sinar lampu bisa menJadi indak: ada nuansa terang-gelap, enak dipandang. Lalu jambangan-jambangan bunga, juga dan anyaman bambu yang dilapisi kertas kedap air. Dicat warna-warni, berbentuk tak keruan - mirip rumah kerang atau apa saja - jambangan itu memberi suasana lain pada sekitar meja. Dipamerkan pula sejumlah kerajinan dari kaca, satu materi baru dibandingkan dengan kayu, bambu, tanah liat, logam, lak (pernis), dan kertas bagi orang Jepang. Toh, kaca pun bisa diajak bersahabat - ditekuk, dilipat, digosok - hingga muncul barang-barang yang berharga. Ada beberapa potlot besar terbuat dari kaca. 'Tentu saja tak bisa untuk menulis, ini sekadar hiasan. Dengan warna putih bening, sinar-sinar yang datang dari lampu atau matahari akan dibiaskan dan dipantulkan menjadi warna-warna pelangi. Bentuk-bentuk formal dari gelas, bila harus bulat, atau silinder, atau cekung-bulat seperti piring, maka bentuk itu bulat sepenuhnya, silinder sepenuhnya dan seterusnya. Dan tidak kaku. Tapi bila ide mengimbau untuk membuat piring yang agak meleyot, misalnya, maka itu memang tampak disengaja. Bukan karena pengrajinnya tidak becus membuat bentuk. Dan karena itu memberikan makna yang lain. Misalnya piring-piring meleyot dari kaca yang dipamerkan ini, tak lagi mengundang asosiasi sebagai tempat makanan. Fungsi praktis lantas berhenti, digantikan fungsi estetik. Sejarah kerajinan rakyat Jepang memang panjang. Kala industrialisasi belum menjamah Jepang, hasil kerajinan menjadi barang-barang keperluan sehari-hari. Ketika barang keperluan sehari-hari muncul dari pabrik-pabrik, dengan demikian daya pakainya lebih kuat dan harganya jauh bisa lebih murah, mulailah hasil karya tangan para pengrajin tersisih. "Sebagian besar keranjang dan tas yang dipakai sehari-hari oleh orang Jepang kini bikinan Eropa dan Amerika," kata Ono Masakatsu, 38 tahun, pengrajin bambu. Di masa sesudah Perang Dunia II peranan pengrajin Jepang memang surut. Dan ketika pabrik-pabrik berdiri, sama sekali nasib mereka terpukul. Tapi mereka tak menolak perubahan itu, sekaligus mereka juga tak ingin meninggalkan kerajinan yang telah turun-temurun. Sejumlah pengrajin terus mencari kesempatan untuk tetap hadir di tengah gebrakan modernisasi Jepang. Sementara itu diam-diam sekolah-sekolah kesenian menaruh perhatian pula pada disain kerajinan rakyat, agar keterampilan itu tak lenyap diterjang mesin-mesin. Perjuangan panjang itu baru memperoleh hasil sekitar lima tahun yang lalu, tutur Mori Masahiro, 55 tahun, keramikus yang tekun. Ono Masakatsu yang pada hari-hari pertama pameran di TIM mendemonstrasikan keterampilannya menganyam bambu, membenarkan rekannya tersebut. Ketika lulus dari sekolah disain bambu, 1974, untuk sekitar 5 tahun hidup Ono kembang kempis. Karya kerajinan waktu itu belum dicari orang. Baru 3 tahun terakhir ini ia bisa mempunyai penghasilan sekitar 200 ribu yen (Rp 600 ribu) per bulan. Keranjang-keranjang anyamannya kini laku 18 ribu yen (Rp 54 ribu) sebiji, dan tiap hari ia bisa menghasilkan sebuah keranjang. Menangnya perjuangan kaum pengrajin sesungguhnya didukung pula oleh perkembangan sosial. Masyarakat Jepang yang kini makmur, telah meningkatkan kebutuhannya dari sekadar kebutuhan primer. Kini mereka tak lagi membeli kap lampu sekadar sebagai alat pencegah silau tapi juga untuk keindahan. Dan meski mereKa tetap menggunakan gelas dan mangkuk buatan pabrik untuk makan dan minum sehari-hari, gelas dan piring karya pengrajin dibeli juga untuk hiasan. "Kini karya kami laku, dibeli orang kami sendiri," kata Mori Masahiro. "Untuk ekspor, tak lagi tersisa." Tapi tantangan untuk mempertahankan pasaran bukannya mudah. Para pengrajin dituntut selalu melahirkan disain-disain baru yang bagus. Siapa yang tak lagi kreatif, akan tersisih. "Tiap tahun para pengrajin mengadakan pameran, dan ada tim juri yang menilai disain terbaik. Selain memperoeh hadiah, yang terpilih otomatis akan menjadi favorit publik - karyanya akan laris. Pameran terakhir, tahun lalu, diikuti 1.900 pengrajin dari seluruh Jepang. Para pengraiin percaya bahwa hidup makin tinggi kualitasnya bila manusia tak sekadar memenuhi fungsi jasmani. Tak sekadar memilih perkakas karena fungsinya, tapi juga karena keindahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus