KEINDAHAN semestinya ada di mana-mana. Pameran kerajinan dari
Jepang, 16-24 Maret ini di Taman Ismail Marzuki, memenuhi selera
mereka vang ingin melihat keindahan terserak di sekitar kita.
Ada sekitar 200 karya dari kertas, bambu, kayu, logam, tanah
liat, kaca, dan lak dari 60 pengrajin.
Sebuah kap lampu berbentuk mirip piring terbang, dibuat dari
anyaman bambu. Di sebuah sisi anyaman itu rapat. Di sisi yang
lain agak renggang. Hanya dengan cara itu ternyata sinar lampu
bisa menJadi indak: ada nuansa terang-gelap, enak dipandang.
Lalu jambangan-jambangan bunga, juga dan anyaman bambu yang
dilapisi kertas kedap air. Dicat warna-warni, berbentuk tak
keruan - mirip rumah kerang atau apa saja - jambangan itu
memberi suasana lain pada sekitar meja.
Dipamerkan pula sejumlah kerajinan dari kaca, satu materi baru
dibandingkan dengan kayu, bambu, tanah liat, logam, lak
(pernis), dan kertas bagi orang Jepang. Toh, kaca pun bisa
diajak bersahabat - ditekuk, dilipat, digosok - hingga muncul
barang-barang yang berharga. Ada beberapa potlot besar terbuat
dari kaca. 'Tentu saja tak bisa untuk menulis, ini sekadar
hiasan. Dengan warna putih bening, sinar-sinar yang datang dari
lampu atau matahari akan dibiaskan dan dipantulkan menjadi
warna-warna pelangi.
Bentuk-bentuk formal dari gelas, bila harus bulat, atau
silinder, atau cekung-bulat seperti piring, maka bentuk itu
bulat sepenuhnya, silinder sepenuhnya dan seterusnya. Dan tidak
kaku. Tapi bila ide mengimbau untuk membuat piring yang agak
meleyot, misalnya, maka itu memang tampak disengaja. Bukan
karena pengrajinnya tidak becus membuat bentuk. Dan karena itu
memberikan makna yang lain. Misalnya piring-piring meleyot dari
kaca yang dipamerkan ini, tak lagi mengundang asosiasi sebagai
tempat makanan. Fungsi praktis lantas berhenti, digantikan
fungsi estetik.
Sejarah kerajinan rakyat Jepang memang panjang. Kala
industrialisasi belum menjamah Jepang, hasil kerajinan menjadi
barang-barang keperluan sehari-hari. Ketika barang keperluan
sehari-hari muncul dari pabrik-pabrik, dengan demikian daya
pakainya lebih kuat dan harganya jauh bisa lebih murah, mulailah
hasil karya tangan para pengrajin tersisih. "Sebagian besar
keranjang dan tas yang dipakai sehari-hari oleh orang Jepang
kini bikinan Eropa dan Amerika," kata Ono Masakatsu, 38 tahun,
pengrajin bambu.
Di masa sesudah Perang Dunia II peranan pengrajin Jepang memang
surut. Dan ketika pabrik-pabrik berdiri, sama sekali nasib
mereka terpukul. Tapi mereka tak menolak perubahan itu,
sekaligus mereka juga tak ingin meninggalkan kerajinan yang
telah turun-temurun. Sejumlah pengrajin terus mencari kesempatan
untuk tetap hadir di tengah gebrakan modernisasi Jepang.
Sementara itu diam-diam sekolah-sekolah kesenian menaruh
perhatian pula pada disain kerajinan rakyat, agar keterampilan
itu tak lenyap diterjang mesin-mesin.
Perjuangan panjang itu baru memperoleh hasil sekitar lima tahun
yang lalu, tutur Mori Masahiro, 55 tahun, keramikus yang tekun.
Ono Masakatsu yang pada hari-hari pertama pameran di TIM
mendemonstrasikan keterampilannya menganyam bambu, membenarkan
rekannya tersebut. Ketika lulus dari sekolah disain bambu, 1974,
untuk sekitar 5 tahun hidup Ono kembang kempis. Karya kerajinan
waktu itu belum dicari orang. Baru 3 tahun terakhir ini ia bisa
mempunyai penghasilan sekitar 200 ribu yen (Rp 600 ribu) per
bulan. Keranjang-keranjang anyamannya kini laku 18 ribu yen (Rp
54 ribu) sebiji, dan tiap hari ia bisa menghasilkan sebuah
keranjang.
Menangnya perjuangan kaum pengrajin sesungguhnya didukung pula
oleh perkembangan sosial. Masyarakat Jepang yang kini makmur,
telah meningkatkan kebutuhannya dari sekadar kebutuhan primer.
Kini mereka tak lagi membeli kap lampu sekadar sebagai alat
pencegah silau tapi juga untuk keindahan. Dan meski mereKa
tetap menggunakan gelas dan mangkuk buatan pabrik untuk makan
dan minum sehari-hari, gelas dan piring karya pengrajin dibeli
juga untuk hiasan. "Kini karya kami laku, dibeli orang kami
sendiri," kata Mori Masahiro. "Untuk ekspor, tak lagi tersisa."
Tapi tantangan untuk mempertahankan pasaran bukannya mudah. Para
pengrajin dituntut selalu melahirkan disain-disain baru yang
bagus. Siapa yang tak lagi kreatif, akan tersisih. "Tiap tahun
para pengrajin mengadakan pameran, dan ada tim juri yang menilai
disain terbaik. Selain memperoeh hadiah, yang terpilih otomatis
akan menjadi favorit publik - karyanya akan laris.
Pameran terakhir, tahun lalu, diikuti 1.900 pengrajin dari
seluruh Jepang. Para pengraiin percaya bahwa hidup makin tinggi
kualitasnya bila manusia tak sekadar memenuhi fungsi jasmani.
Tak sekadar memilih perkakas karena fungsinya, tapi juga karena
keindahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini