TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH
Cerita skenario: Asrul Sani
Pemain utama: El Manik, Dewi Irawan
Sutradara: Chaerul Umam
Produksi: Koperasi Film Nasional
GURU mengaji Ibrahim duduk terpuruk di kamarnya, dan dengan
tubuh gemetaran ia membaca Ayat Kursi. Diluar rumah, laki-laki
seluruh kampung berteriak-teriak menyuruhnya keluar. "Guru
munafik, uru munafik," teriak mereka sambil merempari rumah dan
mendobrak pintu.
Adegan yang sangat menesankan itu seperti menjadi penentu:
apakah film ini akan jadi vulgar atau tidak. Ternyata tidak.
Ibrahim, di situ, ditunjukkan dalam wajah manusiawi. Ia,
ternyata juga kecut bukan kepalang menghadapi amukan orang
kampung - tidak seperti Nabi Muhammad saw. menghadapi orang
Kurais sebagaimana diceritakannya kepada murid-muridnya. Padahal
ia tahu dirinya tak bersalah. Tapi dengan begitu film ini jadi
menyentuh bila dibanding, misalnya, si tokoh unjuk keberanian
dan menjadi martir.
Kisah yang ditulis, dan pernah difilmkan sendiri oleh Asrul Sani
di tahun 1950-an bertolak dari cerita seorang guru mengaji muda
pendatang di sebuah kampung yang "warganya seperti layang-layang
putus". Di kampung itu, sebagaimana dikisahkan penulis, semua
kehidupan sudah banyak menyimpang dari jalan agama. Di situ ada
Harun (Soekarno M. Noor), orang kaya tukang judi, menjadi
penguasa kampung yang ditakuti. Ke mana pergi ia selalu ditemani
bujang lelakinya yang cantik - Harun memang homo.
Lalu ada Arsad (Soultan Saladin), lelaki licik yang tak pernah
memikirkan anak Istrinya. Kegemarannya mengganggu istri orang.
Dan ada Halimah (Dewi Irawan), gadis yang tersingkir dari
pergaulan karena difitnah telah berzina dengan pacarnya.
Di kampung itu berdiam pula seorang guru mengaji senior:
Sulaiman (Rachmat Hidayat). Tapi sang guru telah "berdamai"
dengan tingkah laku orang kampung. Maka lengkaplah kekacauan
itu.
Mulanya Ibrahim tak menyadari semua itu. Ia mulai terlibat
ketika memergoki Arsad hendak memperkosa Halimah. Malu dan takut
perbuatannya terbongkar, Arsad pun menyebar fitnah bahwa Halimah
telah sampai ke puncak kegilaannya. Sebab gadis itu telah
mencakar pipinya. Ia mengusulkan agar Halimah dipasung saja. Dan
memang itulah yang terjadi.
Lagi-lagi sutradara haerul Umam, yang sehari-hari dipanggil
Mamang, memperlihatkan kebolehan. Adegan Halimah diambil secara
paksa dari rumahnya oleh orang-orang kampung yang dipimpin Arsad
dibuat dengan bagus. Ada orang-orang yang berpakaian hitam,
obor-obor, dan ratap tangis orangtua Halimah. Ada pula guru muda
yang tak berdaya menyaksikan kezaliman itu. Sementara Sulaiman
yang diharapkan (oleh si guru muda) bisa menolong, ternyata
berdiri di luar pagar. Yang terasa agak berlebihan: Mamang
menambahkan hujan dan petir dalam adegan ini.
Akhir cerita memang sesuai dengan judulnya. Orang yang beriman
selamat meniti jembatan serambut dibelah tujuh. Arsad mati
terjatuh sewaktu hendak melarikan diri dari gerebekan orang
kampung lain gara-gara kepergok hendak memperkosa seorang wanita
kampung tersebut. Halimah sehat kembali. Dan Ibrahim, yang
hampir mati konyol karena fitnah istri Harun, diselamatkan oleh
seorang musafir - yang entah dari mana munculnya.
Film ini memang sedikit menyimpang dari skenario Asrul. Tokoh
musafir yang muncul di awal dan akhir kisah, versi Chaerul,
adalah tokoh yang santai. Sebaliknya dalam skenario. Yang hendak
dicapai Mamang dengan menyantaikan tokoh itu, agar musafir
tampak wajar - sekalipun akhirnya mirip tokoh pengembara dalam
film silat.
Tokoh Ibrahim, diperankan oleh El Manik, aktor yang pernah duduk
di bangku Sekolah Pendidikan Guru, agaknya tak akan mendapat
tepukan tangan sebagaimana tokoh dalam Al Kautsar - film Mamang
terdahulu. Tapi itulah yang membuat film ini berharga, di tengah
sepinya film-film lokal bermutu saat ini.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini