Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Orang-orang munafik

Sutradara: chaerul umam, skenario: asrul sani pemain: el manik, dewi irawan produksi: koperasi film nasional resensi oleh: bambang bujono. (fl)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH Cerita skenario: Asrul Sani Pemain utama: El Manik, Dewi Irawan Sutradara: Chaerul Umam Produksi: Koperasi Film Nasional GURU mengaji Ibrahim duduk terpuruk di kamarnya, dan dengan tubuh gemetaran ia membaca Ayat Kursi. Diluar rumah, laki-laki seluruh kampung berteriak-teriak menyuruhnya keluar. "Guru munafik, uru munafik," teriak mereka sambil merempari rumah dan mendobrak pintu. Adegan yang sangat menesankan itu seperti menjadi penentu: apakah film ini akan jadi vulgar atau tidak. Ternyata tidak. Ibrahim, di situ, ditunjukkan dalam wajah manusiawi. Ia, ternyata juga kecut bukan kepalang menghadapi amukan orang kampung - tidak seperti Nabi Muhammad saw. menghadapi orang Kurais sebagaimana diceritakannya kepada murid-muridnya. Padahal ia tahu dirinya tak bersalah. Tapi dengan begitu film ini jadi menyentuh bila dibanding, misalnya, si tokoh unjuk keberanian dan menjadi martir. Kisah yang ditulis, dan pernah difilmkan sendiri oleh Asrul Sani di tahun 1950-an bertolak dari cerita seorang guru mengaji muda pendatang di sebuah kampung yang "warganya seperti layang-layang putus". Di kampung itu, sebagaimana dikisahkan penulis, semua kehidupan sudah banyak menyimpang dari jalan agama. Di situ ada Harun (Soekarno M. Noor), orang kaya tukang judi, menjadi penguasa kampung yang ditakuti. Ke mana pergi ia selalu ditemani bujang lelakinya yang cantik - Harun memang homo. Lalu ada Arsad (Soultan Saladin), lelaki licik yang tak pernah memikirkan anak Istrinya. Kegemarannya mengganggu istri orang. Dan ada Halimah (Dewi Irawan), gadis yang tersingkir dari pergaulan karena difitnah telah berzina dengan pacarnya. Di kampung itu berdiam pula seorang guru mengaji senior: Sulaiman (Rachmat Hidayat). Tapi sang guru telah "berdamai" dengan tingkah laku orang kampung. Maka lengkaplah kekacauan itu. Mulanya Ibrahim tak menyadari semua itu. Ia mulai terlibat ketika memergoki Arsad hendak memperkosa Halimah. Malu dan takut perbuatannya terbongkar, Arsad pun menyebar fitnah bahwa Halimah telah sampai ke puncak kegilaannya. Sebab gadis itu telah mencakar pipinya. Ia mengusulkan agar Halimah dipasung saja. Dan memang itulah yang terjadi. Lagi-lagi sutradara haerul Umam, yang sehari-hari dipanggil Mamang, memperlihatkan kebolehan. Adegan Halimah diambil secara paksa dari rumahnya oleh orang-orang kampung yang dipimpin Arsad dibuat dengan bagus. Ada orang-orang yang berpakaian hitam, obor-obor, dan ratap tangis orangtua Halimah. Ada pula guru muda yang tak berdaya menyaksikan kezaliman itu. Sementara Sulaiman yang diharapkan (oleh si guru muda) bisa menolong, ternyata berdiri di luar pagar. Yang terasa agak berlebihan: Mamang menambahkan hujan dan petir dalam adegan ini. Akhir cerita memang sesuai dengan judulnya. Orang yang beriman selamat meniti jembatan serambut dibelah tujuh. Arsad mati terjatuh sewaktu hendak melarikan diri dari gerebekan orang kampung lain gara-gara kepergok hendak memperkosa seorang wanita kampung tersebut. Halimah sehat kembali. Dan Ibrahim, yang hampir mati konyol karena fitnah istri Harun, diselamatkan oleh seorang musafir - yang entah dari mana munculnya. Film ini memang sedikit menyimpang dari skenario Asrul. Tokoh musafir yang muncul di awal dan akhir kisah, versi Chaerul, adalah tokoh yang santai. Sebaliknya dalam skenario. Yang hendak dicapai Mamang dengan menyantaikan tokoh itu, agar musafir tampak wajar - sekalipun akhirnya mirip tokoh pengembara dalam film silat. Tokoh Ibrahim, diperankan oleh El Manik, aktor yang pernah duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru, agaknya tak akan mendapat tepukan tangan sebagaimana tokoh dalam Al Kautsar - film Mamang terdahulu. Tapi itulah yang membuat film ini berharga, di tengah sepinya film-film lokal bermutu saat ini. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus