Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lanskap Mooi Indie Kontemporer

Perupa Samuel Indratma memamerkan karya kolaborasinya dengan pelukis kampung. Ia memasukkan elemen fungsional.

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Lanskap Mooi Indie Kontemporer
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wajahnya sekilas mirip Yesus. Bentuknya tirus, dengan garis tulang wajah yang kuat dan ceruk mata yang dalam sehingga menyisakan bayangan gelap di sekitar matanya. Rambutnya yang panjang menjurai dibuat bergaya gimbal pada ujungujungnya.

Nama depan laki-laki ini pun erat dengan ”tradisi” kristiani: Samuel. Lengkapnya: Samuel Indratma. Ia memang pemeluk Kristen, lahir di Gombong, Jawa Tengah, 38 tahun lalu. Tapi ia mengaku sebagai pemeluk Kristen yang gagal menjalankan syariat.

Toh jejak citraan Yesus ada dalam kehidupannya sebagai seniman. Lihat­lah karya lukis yang ia buat di atas pelat logam berbentuk bulat. Ada lan­skap air terjun yang dilukis dengan gaya lukisan pinggir jalan dengan warna dominan hijau dan cokelat. Di depannya berdiri seorang lelaki mengenakan celana dalam dengan handuk melingkari lehernya.

Tubuh lelaki itu berotot dengan hiasan tato bertulisan ”peace”, ”love”, dan simbol berbentuk hati. Rambutnya panjang tergerai ke belakang. Jambang, jenggot, dan kumis menghias wajahnya. Dan lihatlah jidatnya yang botak berhiaskan citraan mahkota berduri—yang mengingatkan pada Yesus. Karya ini ditutup dengan dua teks di atas dan bawah lukisan: Libur Panjang, Murah dan Enjoy.

Sam menggabungkan rasa estetika masa lalu berupa lukisan lanskap bergaya Mooi Indie (Hindia Molek) dengan citraan pria bertubuh macho yang mengandung citraan estetika kontemporer nan kuat. Corak ini dalam aplikasi desain komunikasi visual dikenal sebagai fenomena retro.

Gabungan unsur estetika kampu­ng­an dan estetika kontemporer itu merata pada karya dengan materi yang sama dalam pameran bertajuk Agro Metal. Pameran di Galeri Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta, ini berlangsung pada 1231 Mei.

Sam bukanlah sosok seniman pemuja individualitas. Dalam proses kreatif ia tak bekerja sendiri. Ia dikenal sebagai seniman aktivis yang lebih banyak muncul dalam kerja kelompok di ranah seni rupa publik ketimbang menggelar pameran tunggal di galeri.

Ia pernah mendirikan kelompok Apotik Komik pada 1997 bersama tiga perupa lainnya (Ary Diyanto, Bambang Toko, Popok Tri Wahyudi) yang menggedor jagat kesenian Yogyakarta dengan karya mural di berbagai ruang publik. Ketika Apotik bubar pada awal 2005, Sam mendirikan Jogja Mural Forum pada akhir 2005.

Ia dan Jogja Mural Forum mengge­rakkan semangat berkesenian pendu­duk 12 kampung di Yogyakarta lewat proyek pemberian tanda yang dibuat secara artistik (sign art). Maka, muncullah gambar pisang yang disarungi kondom dengan teks yang mengingatkan pelanggan pekerja seks komersial agar mengenakan kondom, di Kampung Bong Suwung.

Kehadiran pelukis kampung dalam karya kolaborasi itulah yang menghasilkan karya bercorak retro. Sam menyediakan berbagai bentuk pelat yang kemudian direspons oleh pelukis kampung semacam Nursaman, penduduk Ledok Code, yang suka melukis pemandangan alam. Sam menimpalinya dengan figur fantasi berhiaskan ragam bentuk dekoratif, berupa susunan garis pendek melengkung, kumpulan titik, dengan cat enamel yang mengkilat dalam warna yang biasa dipakai pada lukisan tradisi: hijau, merah, kuning, dan hitam. ”Kesan ndesitnya menonjol,” ujar Sam.

Pada karya tunggal Samuel, corak ”dekoraretro” makin kental pada bentuk fantasi berupa topeng atau badut me­ngenakan topi yang lucu berwujud tubuh burung atau ikan. Pada bagian tubuh dibuat cantolan bulat yang bisa di­fungsikan sebagai tempat gantung­an kunci. ”Ini karya fungsional,” ujar Sam.

Samuel selalu melekatkan aspek fungsi pada karya komunalnya. Ada seri nomor rumah berupa susunan nomor rumah dalam warna kuning, biru, dan hitam. Ada pula plang berisi nama dan nomor telepon fasilitas gawat da­rurat, juga plang berisi nama dan nomor telepon pelayanan jasa seniman. Menurut dia, pemerintah kota bisa memanfaatkan bentuk informasi yang artistik di area publik.

Baginya, sebagian besar karya dalam pameran ini merupakan sketsa gagasan proyek seni rupa publik yang suatu ketika akan dia garap berkelompok dengan memanfaatkan barang rongsok­an. ”Ini merupakan rongsokan pikiran saya,” katanya.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus