Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“ABANG diundang petani Dairi. Naik mobil dari Medan enam jam, enggak pakai AC. Sopirnya buka jendela, kayaknya itu yang bikin Abang masuk angin,” Bang Ical—sapaan saya kepada Faisal Basri, kakak saya—bercerita saat saya membesuknya di ruang unit perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin malam, 2 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Abang makan durian?” tanya saya. Semasa bujangan, Bang Ical menjalani operasi usus buntu di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat, setelah pulang dari riset untuk Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Medan, Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak, Dan. Ada festival durian di sana,” jawabnya seraya tertawa dan kemudian membuka penutup slang kecil di hidungnya yang membantu pernapasannya.
Bang Ical memang penikmat durian Medan. Ia tak begitu peduli terhadap penyakit diabetesnya kalau melihat makanan atau minuman yang menggoda, termasuk es podeng gerobak keliling di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan, ketika kami sekeluarga menziarahi makam ayah, abang, dan anak pertamanya yang meninggal karena keguguran.
Saya cepat pamit karena Bang Ical terus hendak bercakap. Dokter di rumah sakit itu sudah mengingatkan kami agar tidak berlama-lama membesuknya supaya dia dapat beristirahat untuk menstabilkan kondisi ginjal dan gula darahnya. Dokter mensyaratkan kedua hal itu agar Bang Ical bisa dipasangi kateter karena menduga ada sumbatan di jantungnya.
Kesehatan Bang Ical menurun sejak dia pulang dari Medan pada 31 Agustus 2024. Wajahnya pucat dan keluar keringat dingin. Tubuhnya lemas sesudah berkunjung ke Dairi, Sumatera Utara, tiga hari sebelumnya. Di sana dia mendukung petani Dairi yang sedang berjuang menolak aktivitas tambang seng PT Dairi Prima Mineral karena membuka kawasan hutan lindung dan mencemari lingkungan.
Abang akhirnya bersedia diperiksa di rumah sakit setelah dibujuk Siti Nabila Azuraa Basri, putrinya satu-satunya. Dua anaknya yang lain adalah Anwar Ibrahim Basri dan Muhammad Attar Basri.
Faisal Basri (kedua kanan) bersama HS Dillon (kiri) dan Arief Budiman saat protes menolak pemberian abolisi untuk mantan presiden Soeharto di Bundaran HI, Jakarta, 3 Januari 2002. Dok. Tempo/Rendra
Selama ini penyakit Abang hanya diabetes dan darah rendah. Ia tidak pernah menderita penyakit jantung. Ketika saya membesuknya terakhir kali pada Rabu malam, 4 September 2024, Bang Ical tertidur. Saya tak tega membangunkannya. Toh, besok pagi rencananya Abang akan dikateterisasi karena kondisi ginjal dan gula darahnya sudah stabil. Tapi, pada Kamis dinihari, 5 September 2024, Tuhan berkehendak lain. Pada pukul 03.50, roh Abang kembali kepada Sang Maha, meninggalkan raganya yang terbujur tenang dalam tidur panjangnya. Saya cium keningnya di ruang ICU setelah sempat dipasangi kateter dan satu ring jantung dalam operasi di ruang sebelah selama sekitar dua jam.
Subuh itu, saya teringat Bang Ical pernah mengutip tiga kata terakhir Nabi Muhammad sewaktu sakratulmaut itu: “Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).” Ia mengatakannya sambil menahan tangis di auditorium Dewan Pers pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikuyo-kuyo. Bagi dia, pemakzulan Gus Dur adalah pertaruhan demokrasi.
Bang Ical termasuk pendiri Majelis Amanat Rakyat, cikal bakal Partai Amanat Nasional, pada 1998 sebelum Presiden Soeharto lengser. Dia juga menjadi Sekretaris Jenderal PAN pertama selama 1998-2000. Di awal 2001, ia mundur dari partai itu. Perubahan PAN, dari partai plural menjadi berasas iman dan takwa, membuatnya hengkang. Apalagi PAN, dalam koalisi Poros Tengah, termasuk yang menggadang-gadang Gus Dur sebagai presiden tapi kemudian turut menjatuhkannya.
Setelah meninggalkan perjuangan politik lewat partai, yang membuat istrinya, Syafitrie Nasution, sampai berjualan di Senayan karena tidak ada pemasukan, Abang sempat menjajal jalur independen dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Dia maju sebagai calon gubernur bersama Biem Benjamin, putra seniman Betawi serba bisa Benyamin Sueb, yang menjadi kandidat wakil gubernur. Walaupun dia gagal menjadi gubernur, saat itu jumlah suaranya mengalahkan Alex Noerdin, calon gubernur dari Partai Golkar yang kini dipenjara karena kasus korupsi.
Abang juga membentuk Pergerakan Indonesia sebagai tempat aktivis-aktivis muda berkumpul. Selain menjadi dosen studi pembangunan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)—kini Fakultas Ekonomi dan Bisnis—Bang Ical mendirikan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Indonesia Research and Strategic Analysis, dua anak rohaninya di bidang riset.
Di tengah situasi negara yang kian memprihatinkan belakangan ini, Bang Ical kian sering diundang mahasiswa, aktivis, wartawan, petani, dan lainnya untuk berbicara. Tak banyak memang ahli ekonomi politik yang kritis di negeri ini, apalagi dengan argumentasi data yang kuat. Yang banyak adalah orang-orang yang marah tapi asal bunyi.
Saya tidak tahu pasti apa yang membentuk Bang Ical secendekia, sekritis, dan seberani itu. Dia lahir di Bandung, 6 November 1959. Rapornya di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta dulu tak sebagus adiknya, yang wafat dalam sebuah kecelakaan saat berusia 17 tahun.
Faisal Basri (kanan) bersama Tim Formatur PAN (Partai Amanat Nasional) terdiri dari Amien Rais, Hatta Rajasa, AM Fatwa, dan Amin Azis pada Kongres PAN I di Yogyakarta, Februari 2000. Dok. Tempo/Bernard Chaniago
Ia pernah menyebut dosennya di FEUI, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Iwan Jaya Azis, sebagai dua orang yang banyak mempengaruhinya melalui pendekatan ekonomi-politik untuk menjelaskan kompleksitas perekonomian Indonesia. Sewaktu saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, ia memuji pula Dekan FISIP UI Juwono Sudarsono, yang punya kemiripan pendekatan untuk menganalisis politik internasional. Ia pun sempat mengajar mata kuliah ekonomi politik internasional di Jurusan Hubungan Internasional FISIP UI.
Keberanian dan aktivisme politiknya boleh jadi berasal dari Mayor Salim Batubara, abang Ayah yang gugur ditembak Belanda di Kepahiang, Bengkulu, pada 12 Februari 1949 dalam Agresi Militer II. Sedangkan ayah Mak, Arief Siddiq Nasution, adalah tokoh Partai Indonesia di Pekalongan, Jawa Tengah, yang merupakan guru politik pertama Adam Malik, adik ipar Kakek yang kemudian menjadi Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri, dan akhirnya wakil presiden.
Adapun empatinya terhadap korban ketidakadilan dan wong cilik barangkali terasah dari kesederhanaan hidup keluarga kami. Ayah, Hasan Basri Batubara, hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan swasta yang tak meninggalkan uang pensiun sesudah meninggal. Semasa kanak-kanak, saya menumpang tetangga untuk menonton televisi. Bila sore tiba, kami menyiapkan petromaks untuk penerangan rumah pada malam. Pernah suatu hari dinding tripleks kamar kami yang tiga bersaudara lelaki di lantai atas diterbangkan angin dan jatuh ke rumah tetangga belakang.
Mungkin, karena anak sulung, Bang Ical rajin menimba air sumur atau kemudian dengan pompa Dragon untuk mengisi air di bak mandi. Sewaktu kanak-kanak—kami berjarak sepuluh tahun—saya kerap diajak Abang berjalan kaki sekitar setengah jam dari rumah kami di Jalan Asem Baris, Kebon Baru, ke kediaman adik Mak di Jalan Kemajuan, Tebet Timur, di Jakarta Selatan untuk menyetrika baju dengan setrika listrik. Ayah tak sanggup berlangganan listrik PT Perusahaan Listrik Negara sehingga kami hanya punya setrika ayam berbahan bakar arang. Selesai menyetrika, dengan tas padat berisi pakaian kami sekeluarga, Bang Ical sering mengajak saya menonton pertandingan sepak bola di lapangan Persatuan Sepakbola Pasar Tebet di dekat Pasar Tebet Timur.
Karena hidup prihatin, Ayah dan Mak ingin Bang Ical kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang punya ikatan dinas dari Departemen Keuangan ketimbang di FEUI. Selagi mahasiswa saja sudah dikasih honor dan setelah lulus langsung bekerja. Tapi dia berkeras kuliah di FEUI karena ingin belajar kepada Dorodjatun dan Iwan yang ia kagumi tulisannya di jurnal Prisma. “Ical jalan kaki aja dari Kebon Baru, Tebet, ke kampus UI Salemba asalkan bisa kuliah di sana,” katanya kepada orang tua kami.
Melihat tekad anak sulungnya, Ayah sempat mengajak seorang pengemudi bajaj mampir ke rumah. Ayah ingin membeli bajaj yang bisa mengantar putranya kuliah dan sang sopir kemudian dapat berkeliling mencari penumpang sampai Abang dijemput lagi seusai kuliah.
Bang Ical, yang pendiam, menolak tawaran Ayah, seperti juga saat ia menampik tawaran berbagai posisi, dari komisaris perusahaan hingga jabatan di Istana Negara. Seorang menteri sampai pernah menelepon ke rumah Mak untuk mengontaknya. Karena Abang tak ada, menteri yang orang Batak itu diajak mengobrol ngalor-ngidul oleh Mak, yang berasal dari Mandailing, Sumatera Utara.
Mak yang sudah tua itu sempat pula kecewa ketika banyak minyak goreng dikirim ke rumah Bang Ical tapi akhirnya ia kembalikan. “Buat Mak, lah, satu-dua botol, Cal,” tutur Mak. “Enggak boleh, Mak, itu biar Ical enggak ngomong keras,” Abang menjawab.
Pada hari ketiga takziah, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti bercerita bahwa Bang Ical pernah mengganti satu rim kertas yang ia pakai bukan untuk pekerjaan kantor. Saya teringat novel Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, yang mengisahkan seorang pegawai kecil yang mulai melakukan korupsi dengan mencuri kertas di kantornya.
Bagi saya, Bang Ical bukan sekadar abang, melainkan juga figur pengganti Ayah, yang meninggal ketika saya masih duduk di kelas V sekolah dasar, sekaligus guru. Saat dia kuliah di Vanderbilt University, Amerika Serikat, pada 1988, kami berkirim surat setiap bulan. Dalam korespondensi itu, ia menanyakan banyak hal, dari kondisi Mak hingga pembaruan pemikiran Islam yang menghangat lagi. Secara rutin ia mengirim uang dolar kepada kami, yang saya tukar di tempat penukaran uang di Toko Buku Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat. Ia mempercepat studinya menjadi setahun dengan tesis tentang ekonomi Indonesia pada masa bonanza minyak atau oil boom. Mak dan kedua adik yang ia tinggalkan menjadi pertimbangan utamanya.
Pada suatu hari menjelang Lebaran, ia memberikan uang kepada saya dan kakak perempuan untuk membeli baju baru. Setelah kami berdua berbelanja di Blok M, Jakarta Selatan, Bang Ical bertanya, “Dapat apa, Dan, dengan uang segitu?” Saya tunjukkan kemeja kotak-kotak berwarna-warni yang memang kutaksir ketika melewati sebuah toko di Blok M. Bang Ical memandang kami dengan haru.
Setelah mampir sejam di Mahkamah Konstitusi di tengah demonstrasi besar pada 22 Agustus 2024, saya bilang kepada Abang bahwa saya bertemu dengan Mbak Omi Komariah Madjid, istri mendiang Nurcholish Madjid. “Ramai, Dan? Banyak yang nelepon Abang, nih!” ujarnya sambil memegang mikrofon. Saat itu Bang Ical hendak berpidato untuk melepas jenazah ibu mertuanya dari rumah duka yang nantinya juga menjadi tempat persemayaman jenazahnya.
Dua kematian berturut-turut dalam dua pekan ini sungguh terasa berat bagi kami. Apalagi banyak hoaks di tengah kedukaan itu.
“‘Jangan berhenti berjuang,’ pesan Faisal Basri. Ini kehilangan besar buat kami,” ucap Mas Erros Djarot seusai pemakaman Bang Ical di TPU Menteng Pulo. Sepuluh hari sebelum kepergian Abang, mereka masih bersua di kantor Mas Erros di Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Seorang teman yang naik ojek dari Stasiun Tebet ke rumah duka di Gudang Peluru, Jakarta Selatan, mengulang pertanyaan pengemudi ojeknya setelah tahu ia akan melayat Bang Ical: “Kok, orang baik mati dulu ya, Mas, bukan para koruptor itu?”
Pada malam ketiga takziah, Rainim Purba, perempuan petani dari Desa Pandiangan, Dairi, berbicara melalui Zoom. Dalam bahasa Batak yang diterjemahkan, dia mengatakan, “Sungguh kami sangat bersedih atas kepergian Bapak Faisal Basri. Beliau orang yang sangat gigih membantu kami melawan kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan tambang. Kami sebenarnya berharap beliau terus mendampingi kami sampai menang. Tapi takdir berkata lain.”
Saya tak kuasa menahan tangis. Bang Ical menjadi voice of the voiceless hingga perjalanan terakhirnya di Sumatera Utara. Saya tidak sanggup merapal dua bait terakhir sajak Sapardi Djoko Damono, “Dalam Doaku”, untuk menutup acara takziah tersebut: “Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku/Aku mencintaimu/Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo