Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA seperti sebuah lentera bagi keadilan. Di tangan Faisal Basri, demokrasi menemukan suaranya yang lantang dan ketidakadilan menemukan musuh yang tak kenal gentar. Saya selalu ingat penampilannya: berkemeja biru muda dengan lengan digulung, bercelana warna khaki, bersepatu sandal, dengan ransel di punggung, juga rambut yang sedari muda tak lagi penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir 1980 dan awal 1990-an, tak banyak ekonom di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang bergelut dalam ekonomi politik. Mungkin hanya Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan ekonom muda Faisal Basri. Cengkeraman pemerintah Orde Baru begitu kuat dan membungkam berbagai suara. Ekonomi politik adalah tema yang sensitif. Ia dibahas terbatas dan kadang dengan desas-desus, sindiran, atau lelucon. Mungkin ini yang oleh antropolog James C. Scott disebut sebagai senjata kaum lemah atau weapons of the weak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1989, saya bersama teman-teman di FEUI menyelenggarakan Seminar Nasional Mahasiswa Ekonomi se-Indonesia. Di zaman media sosial belum eksis dan komunikasi tak selalu mudah, acara semacam itu kerap dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi mahasiswa. Kami mengundang ekonom yang kritis, seperti Sjahrir, Rizal Ramli, dan Faisal Basri. Ketika merencanakan seminar itu, saya banyak berdiskusi dengan Sjahrir, ekonom dan mantan tokoh mahasiswa yang ditahan pemerintah Orde Baru dalam peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari 1974. Saat itu saya menjadi asisten Sjahrir untuk mata kuliah perekonomian Indonesia. “Lu minta Faisal ngomong di acara itu, De,” kata Sjahrir.
Dalam diskusi malam itu, Faisal lugas berbicara tentang rapuhnya pemerintahan Presiden Soeharto akibat tumbuh suburnya korupsi, kronisme, dan ekonomi rente. Di tahun itu, tak banyak orang berani menuding Soeharto secara langsung dalam diskusi terbuka. Kritik lebih banyak disampaikan dengan senjata kaum lemahnya Scott. Namun Faisal adalah pengecualian. Mendengar dia berbicara, mahasiswa menjadi bersemangat. Namun kami, panitia penyelenggara, menjadi kecut dan khawatir aparat keamanan masuk dan menghentikan seminar itu.
Sejak saat itu, saya menjadi akrab dengan Bang Faisal—begitu saya memanggil Faisal Basri. Saya berutang intelektual kepadanya. Bagi saya, Bang Faisal bukan hanya seorang kawan, senior, dan guru dalam ilmu ekonomi, melainkan juga teladan tentang integritas, keteguhan sikap, dan keberanian. Kadang dia memang terkesan emosional. Namun dia tak hanya kerap marah dan berani, tapi juga ekonom yang membaca data dengan baik.
Faisal banyak belajar kepada Mohammad Arsjad Anwar (MAA), mantan Dekan FEUI. Hal ini diakui oleh Faisal sendiri. Dalam obituarinya tentang MAA, Faisal bertutur tentang bagaimana dia banyak belajar kepada MAA. “Instingnya yang kuat dengan mudah mendeteksi kekeliruan dan kecerobohan saya.... Kemampuan itulah yang bakal didapat jika kita mengikuti cara Prof. MAA. Sebatas pengetahuan saya, Prof. Mohamad Ikhsan dan Dr. M. Chatib Basri yang paling intens belajar dari Prof. MAA,” tulis Faisal.
Faisal benar. Kami bertiga memang termasuk yang kerap belajar kepada MAA saat disuruh mengumpulkan data dan melakukan perhitungan. Faisal punya pemikiran yang cemerlang. Dia memahami konsep ekonomi dengan sangat baik dan pandangannya segar.
Tak mudah sebenarnya mengelompokkan Faisal dalam dikotomi kuno ideologi ekonomi tentang pasar atau intervensi pemerintah. Faisal bisa lantang mengkritik kebijakan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang menguntungkan kelas menengah-atas. Dengan lugas dia berbicara bahwa intervensi pemerintah melalui lisensi dan kuota menimbulkan ekonomi rente. Lisensi dan kuota memungkinkan—dalam istilah Faisal—berkelindannya politik dan bisnis. Dia berbicara seperti ekonom dari Chicago School.
Di sisi lain, Faisal bisa dengan berapi-api berbicara soal keadilan. Dia berteriak lantang mengenai perlunya perlindungan sosial dan perlunya intervensi pemerintah untuk menjamin keadilan bagi masyarakat atau penduduk rentan. Mereka yang menggemari simplifikasi atau pelabelan “pasar atau pemerintah” akan kesulitan menjelaskan pemikiran Faisal. Tapi justru di sini dia menarik. Dia tidak dogmatis. Tidak final. Dia tak terlalu gegabah untuk percaya kepada satu jawaban tunggal dalam kehidupan. Itu sebabnya Faisal begitu terbuka melihat persoalan kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar.
Faisal Basri (tengah) dan M. Chatib Basri (kedua kanan) saat menyambut 900 mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 16 Agustus. 2024. X @ChatibBasri
Walaupun usianya cukup jauh di atas saya, dia tak pernah memandang hubungan kami seperti senior dan junior. Dia bisa dengan rendah hati bertanya kepada kami yang lebih muda. Satu kelemahan Faisal adalah dia kurang mengindahkan kesehatan. Pada Februari 2024, atas permintaan istrinya, Mbak Titik—sapaan untuk Syafitrie Nasution—saya mengirim voice note yang mengingatkan Faisal agar pergi memeriksakan diri ke dokter. Dia punya problem pada matanya. Tanpa bermaksud menasihati, saya menyampaikan, jika dia jatuh sakit, kami bisa kehilangan kesempatan makan nasi kapau.
Faisal seorang ekonom. Dia paham arti opportunity cost atau biaya kebatalan. Dia paham bahwa kenikmatan makan nasi kapau akan hilang bila dia tidak sehat. Melalui pesan WhatsApp, dengan salah tik di sana-sini, dia menjawab: “Mata belum sepenuhnya pulih. Tapi sudah mulai bisa baca sedikit. Sudah periksa darah dan ke dokter. Insyaallah segera checkup secara menyeluruh.” Di ujung pesan, dia menulis: “Pengin segera menyantap nasi kapau.”
Tanggal 16 Agustus 2024 terakhir kali kami bertemu. Kami berbicara bersama untuk menyambut 900 mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Depok, Jawa Barat. Topiknya mengenai kelas menengah. Faisal, seperti biasa, begitu lugas, begitu berapi-api, begitu berani.
Kami memang cukup dekat sebagai kawan, tapi hal itu tak mengurangi sikap kritisnya kepada saya. Saat saya menjadi Menteri Keuangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dengan lantang dia menyampaikan kritiknya yang pedas.
Kadang kami berbeda pandangan. Saat Indonesia harus mengatasi taper tantrum 2013, Faisal memberikan kritik tajam terhadap kebijakan yang diambil pemerintah—saat itu saya menjabat Menteri Keuangan. Taper tantrum itu terjadi ketika The Federal Reserve atau The Fed, bank sentral Amerika Serikat, mengurangi stimulus moneter yang mendorong investor asing menarik investasinya dari pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia yang kemudian menekan nilai tukar rupiah.
Uniknya, pada 2018, ketika Indonesia menghadapi tekanan kenaikan suku bunga acuan The Fed, Faisal menganjurkan pemerintah dan Bank Indonesia belajar dari pengalaman mengatasi taper tantrum 2013.
Mengelola kebijakan ekonomi kerap tak semudah dan seideal dalam buku teks. Namun saya tahu, sikap kritis Faisal amat dibutuhkan untuk perbaikan negeri ini. Kritiknya menyelamatkan pembangunan. Sebab, terkadang, demi kepentingan ekonomi, aspek sosial-politik dipinggirkan, represi dibenarkan, dan kritik dibungkam atas nama pembangunan.
Hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi memang tak selalu seiring. “Walau tak ada hubungan yang pasti antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, sejarah menunjukkan, kelaparan yang dahsyat tak pernah terjadi di negara merdeka, demokratis, dan memiliki pers yang bebas,” ujar pemenang Hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen.
Sen benar. Demokrasi memang gaduh dan mungkin menyebalkan. Tapi kegaduhannya—setidaknya—tidak membiarkan manusia berbuat sewenang-wenang. Di sini saya teringat teolog dan filsuf Amerika Serikat, Reinhold Niebuhr, yang menulis, “Kapasitas manusia untuk berbuat adil membuat demokrasi menjadi mungkin. Dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu.”
Faisal dengan suara serak meneriakkan pesan tua itu. Dia mengingatkan kekuasaan agar tak sewenang-wenang. Kematian memang mengakhiri kehidupan seorang manusia, tapi tidak dengan ide dan pemikirannya. Selamat jalan, Bang Faisal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo