Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bahasa Inggris yang tidak begitu lancar, Takashi Kuribayashi mengantar peÂngunjung menuju Galeri B Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, tempat dia berpameran. "Kita mulai dari sini," ujarnya. "Di sini kita tidak melihat apa-apa. Tapi, kalau ada yang mengintip dari sana, kita menjadi sesuatu, sebagai obyek yang dilihat." Bagi Takashi, agaknya "melihat" juga menciptakan sekat dengan apa yang "di sana", sasaran yang kita lihat. Namun, "berada di sana" juga memungkinkan kita memiliki gambaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi "di sini".
Memang di ruangan itu kita tidak menjumpai obyek seni, hanya dinding putih kosong dengan lubang intip—lebih-kurang sebesar kepala—yang diberi bingkai. Dari celah itu, orang mengalami pelintasan di antara kehadiran karya-karya Takashi, pengalaman melihat dan dilihat. Amsal untuk itu adalah karya instalasinya berupa susunan cermin berbagai ukuran, yang, lagi-lagi, hanya dapat kita saksikan melalui celah sempit (Faces, 2013).
Cermin-cermin itu dipinjam sang seniman dari penduduk kampung di sekitar Selasar. Kita melihat puluhan pantulan wajah kita dari berbagai sisi melalui cermin di ruang gelap. "Cermin adalah sekat atau batas," kata Takashi, "yakni batas (dari diri) saya yang menerobos ke dalam cermin. Kita mengira pantulan itu benar, tapi sebenarnya keliru, karena citra wajah kita terbalik." Dengan begitu, posisi melihat selalu mengandung masalah sekat bagi Takashi.
Dalam pameran tunggalnya, "Ambang", di Selasar pada 27 Juli-25 Agustus 2013, Takashi mempermasalahkan sekat dalam kaitannya dengan pelihat. Terlampau percaya pada sekat baginya adalah sesuatu yang banal. Secara intuitif ia selalu ingin keluar dari batasan. Ketika usai belajar seni lukis di Musashino Art University (1993), ia bosan dengan tradisi seni dwimatra di sana dan ingin pergi dari rasa-merasa orang Jepang, yang cenderung menyukai permukaan yang njelimet. Pengalaman baru mengenai kebebasan seni didapatnya ketika belajar di University of Kassel, Kassel, dan Kunst Akademie, Dusseldorf, Jerman (1993-2002). Apa saja yang dipikirkan oleh seniman bisa menjadi seni. Itulah pengalaman yang melintasi berbagai sekat. Tugas seniman bagi perupa kelahiran Nagasaki pada 1968 itu bukanlah menciptakan batasan, melainkan menciptakan dasar pijak yang baru, suatu neoplane.
Setelah program residensinya selama dua bulan di Selasar, Takashi menunjukkan kepada kita upayanya untuk mempertimbangkan kembali isu mengenai sekat yang telanjur dianggap alamiah. Karya video multimedianya, Tornado 2012—ÂFukusÂhima 20 km New Border (2012; 14' 09") merepresentasikan kegalauannya akan "batas" yang diciptakan pemerintah Jepang, yang mengungsikan penduduk pada radius 20-30 kilometer dari pusat reaktor nuklir Fukushima yang bocor setelah gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011. Video itu menunjukkan kenekatan Takashi, yang mengenakan baju pengaman berselancar dan papan buatan sendiri, di kawasan darurat nuklir yang ditengarai sarat kandungan radioaktif. Pusaran, gelombang, dan ketakpastian permukaan laut yang seakan-akan mengambang pada suntingan video hitam-putihnya terasa merepresentasikan berbagai cara melihat batas teritori yang terguncang.
Di depan tayangan video, di atas lantai galeri yang berkilau digenangi air, Takashi meletakkan sebuah tetrapod, penyekat yang selama ini dipercaya mampu menahan empasan tsunami. Nyatanya, benda seberat 2-8 ton itu malah memperparah bencana ketika tsunami setinggi 14 meter datang menggulung. Obyek tetrapod (Tornado IDN No.001, 2013) adalah simbol keniscayaan bahwa Jepang adalah sebuah negeri kepulauan yang dilihat dari darat. Di ruang pameran yang temaram, penahan gelombang berkaki empat itu tampak seperti torso pengawas pantai sebagai teritori asing dan berbahaya.
"Setelah peristiwa 11 Maret, orang-orang di Jepang kembali berpikir tentang air," ujar Takashi. "Kalau kondisi air berubah, dunia juga akan berubah." Perspektif melihat daratan dari dunia perairan, bagi Takashi, justru ditunjukkan oleh situasi binatang yang mampu bertahan hidup di dua dunia, seperti anjing laut dan penguin.
Dalam Birds Cage (2013), Takashi memain-mainkan kepastian kita sebagai pelihat yang hegemonik. Ia mengandangkan lima ekor kutilang—lengkap dengan habitat lokalnya yang terbatas—sebagai karya instalasi hidup di ruang pameran. Pada sisi dindingnya ditaruh dua kurungan burung sebagai celah pelintasan. Kurator Agung Hujatnikajennong menyebut karya seniman ini sebagai "ambang", yakni kesadaran spasio-temporal tentang suatu transisi (atas-bawah, luar-dalam, darat-laut, hidup-mati, dan seterusnya).
Foto-foto hitam-putih tentang perbatasan, pantai, atau semenanjung yang diimbuhi gambaran pepohonan dan kecambah hidup serta biji-bijian merepresentasikan semangat baru cara melihat batas (New Boundary I-IX; 2013). Pada seri karya itu, Takashi bertubi-tubi membubuhkan tulisan sayup-sayup, "new boundary", "Âjustice", "threshold". Pada seri foto-gambar New Chapter (2013, 3 buah), ia membayangkan tetrapodnya menjadi semacam tunas-tunas raksasa yang menjanjikan alam baru, sebuah pelintasan simbolik yang bukan darat dan bukan laut. Lanskap yang terpapar melalui foto-gambar-kolase ini memberi kesan sesuatu yang traumatik. Trauma yang bangkit bukan semata oleh pengalaman masa lalu, melainkan akan janji kebahagiaan di masa depan yang diniscayakan oleh kemodernan.
Inilah kritik yang tersirat pada karyanya. Menilik konfigurasi karya-karyanya, terkesan Takashi sudah membebaskan diri sepenuhnya dari rasa-merasa ke-Jepang-an yang njelimet, dan lebih menampilkan sebuah pesan yang lebih lugas, barangkali saja, sudah "lebih Jerman".
Di Ruang Sayap, ia menampilkan karya instalasi dengan medium dedaunan yang diperoleh dari lingkungan sekitar Selasar. Ratusan lembar daun ketapang disusun menjadi sebuah lanskap atau dataran kehijauan tembus pandang yang melayang di atas lantai, hampir menutupi seluruh ruangan. Gagasan karya ini mengingatkan akan karya instalasinya, Wald aus Wald (Forest from Forest), yang pernah dipamerkan di Mori Art Museum, Tokyo (2010). Inilah kiranya ambang atau pelintasan atas-bawah, yang merelatifkan posisi kita di atas bumi. Konstruksi yang memisahkan ruang alamiah dan ruang artifisial itu justru artifisial, kata Takashi. Di beberapa bagian instalasi yang puitis mengambang ini, peÂngunjung bisa melongokkan kepalanya, seakan mengatasi sekat yang dibuatnya sendiri dan berada di dunia antara (Underground Sound of Rain, 2013).
Proyek Takashi yang sederhana tapi kritis dan menggugah adalah obyek-instalasi berjalan yang dijuluki Proyek Yatai, selama 2008-2009. Ia menciptakan ruang komunikasi publik dengan merancang gerobak bakso yang disulap sebagai tempat pertemuan. Yatai tampakya adalah simbol ruang publik-politis yang menjanjikan kesetaraan komunikasi antarwarga. Yatai adalah gagasan seni mengenai toleransi yang mendalam, yang terasa tidak dibuat-buat.
Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo