Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko Widodo
Perjumpaan pertama saya dengan musik keras terjadi saat remaja, pada 1977. Saat itu saya bersekolah di SMP Negeri 1 Solo, yang letaknya dekat Stadion ÂManahan. Setiap pulang sekolah, saya melewati rumah yang menghadap stadion dan dari garasinya terdengar suara musik kencang. Pemainnya anak-anak muda dengan rambut gondrong. Mereka adalah band rock Terenchem. Musikus dan pengusaha Setiawan Djody pernah menjadi pemain pengganti di band tersebut.
Setiap hari saya berhenti untuk menonton mereka memainkan musik rock. Dari situlah kecintaan saya terhadap musik rock—bahkan kemudian musik metal, yang lebih kencang—muncul. Saya mencintai semua musik yang keras karena di situ ada semangat, pendobrakan, dan lirik-liriknya luas, tidak hanya soal cinta, tapi juga mengenai lingkungan, antikorupsi, serta peperangan. Grup Black Sabbath dan Led Zeppelin, yang merupakan akar dari musik metal, masuk kelompok 1970-an yang saya sukai.
Musik metal selalu menemani hari-hari saya selanjutnya. Saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, saya tidak bisa belajar kalau tidak mendengarkan musik keras. Bahkan lagu-lagu itu sudah saya putar sejak membuka hari, setelah salat subuh. Saya juga kemudian rajin menonton konser rock, termasuk saat Ucok AKA makan ayam di atas panggung. Saya menyukai musik keras, tapi kurang tertarik melihat aksi panggung seperti itu. Dua puluh tahun lalu, ketika Metallica manggung di Lebak Bulus, saya menonton konser hari pertama. Karena itu, saya tidak sempat melihat kerusuhan yang terjadi di hari kedua.
Awalnya saya menyangka kesukaan saya pada musik rock dan metal ini hanya sesaat, cuma kesenangan anak muda yang akan hilang di hari tua. Ternyata tidak. Semangat metal itu telah masuk ke dalam diri saya dan tak bisa hilang begitu saja. Saya masih mengoleksi banyak album musik ini. Untuk Metallica, saya memiliki hampir semua albumnya, yang saya dengarkan di mobil, bergantian dengan kelompok musik cadas lainnya.
Menonton konser musik rock juga tak bisa saya tinggalkan. Tentu, setelah menjadi gubernur, saya tidak bisa lagi moshing atau headbang, tapi saya menolak duduk manis di bangku kelas VIP. Bagi saya, menonton metal itu ya harus di kelas festival, berdiri bersama ribuan penonton lain. Di sanalah suasana konser terasa. Itulah yang saya pilih saat menonton konser Iron Maiden di Jakarta dua tahun lalu.
Konser metal terbaik yang pernah saya tonton adalah konser Judas Priest di Singapura pada Februari 2012. Penampilan band heavy metal asal Inggris itu dibuka oleh band bergenre sama asal Amerika Serikat, Lamb of God. Berbeda generasi, memang. Judas Priest dibentuk pada 1969, sedangkan Lamb of God baru pada 1990. Saya memang lebih menyukai musik keras yang datang dari 1970-an akhir hingga 1980-an. Meski demikian, saya masih bisa menyukai sejumlah lagu Lamb of God. Tapi, untuk musik nu-metal yang lahir pada akhir 1990-an, seperti yang dinyanyikan Linkin Park, saya sama sekali tidak bisa menikmatinya.
Saya terkagum-kagum pada aksi panggung Judas Priest kala itu. Salah satunya ketika lampu panggung mati dan pengunjung mendengarkan suara musik yang diiringi suara lain yang lebih garang. Deruman itu mengiringi dentuman drum. Bersahut-sahutan. Saat lampu dinyalakan, penonton tahu deruman itu berasal dari suara sepeda motor besar Harley-Davidson yang gasnya diputar-putar oleh sang vokalis, Rob Halford. Luar biasa, karena suara knalpot bisa menjadi bagian dari musiknya.
Konser itu berlangsung di Fort Canning Park. Ini adalah arena konser dengan lantai miring, sehingga penonton di bagian belakang lebih tinggi posisinya daripada penonton di depan. Biasanya konser rock di Singapura berlangsung di arena konser berkapasitas 10 ribu orang ini. Saya berharap Jakarta segera memiliki arena konser yang layak seperti Fort Canning Park dan sejumlah arena konser lain yang dimiliki Singapura. Sebenarnya, sejak 1960-an, Bung Karno sudah merencanakan pembangunannya, tapi tak kunjung terlaksana.
Saat ini pemerintah DKI Jakarta merenÂcanakan pembangunan sebuah Âopera Âhouse berkapasitas lebih dari 9.000 penonÂton. Saat tak ada konser besar, tempat itu bisa disekat-sekat untuk pertunjukan di panggung-panggung yang lebih kecil. Kami awalnya merencanakan pembangunannya di kawasan Marunda—yang nanti akan ditata ulang hingga lebih baik. Tapi banyak kalangan menyarankan tempatnya dipindahkan, karena Marunda terlalu jauh dari pusat kota. Saya yakin bisnis pertunjukan musik di Indonesia masih sangat menjanjikan dan, karena itu, perlu fasilitas yang baik.
— Artikel ini disarikan dari perbincangan dengan Gubernur Jakarta Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo